Mohon tunggu...
Lukman Bin Saleh
Lukman Bin Saleh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Madrasah Aliyah NW Sambelia- Lombok Timur FB:www.facebook.com/lukmanhadi.binsaleh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pertamina yang Teraniaya

5 Januari 2014   07:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:08 5801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13888809301673074212

[caption id="attachment_288387" align="alignnone" width="300" caption="Ilustrasi. Sumber: republika.com"][/caption]

Menjadi Pesakitan BPK

Pria setengah baya itu nampak gelisah. Raut wajahnya tegang. Orang yang mengajaknya bicara ditanggapi seperlunya. Hanya bibirnya yang bergerak, entahlah dengan fikirannya.

Di balik baju lelaki itu terselip keris kecil. Bukan untuk dijadikan senjata apalagi berniat menikam orang. Konon keris itu dapat memberi ketenangan dan menolak kesialan. Menurut keyakinannya.

Lelaki yang bekerja sebagai bendahara di sebuah instansi pemerintahan di Lombok tersebut akan menerima tamu istimewa. Tamunya adalah petugas dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Itulah yang menyebabkannya tidak tenang. Dan setau saya, rata-rata semua instansi pemerintahan yang akan diperiksa BPK kurang lebih keadaan psikologisnya seperti itu.

Begitu juga dengan Pertamina. Lebih-lebih harga gas 12 Kg yang dijual terlalu murah. Berdampak pada keluarnya rekomendasi BPK. Yang menyebutkan kerugian bisnis elpiji nonsubsidi pada tahun 2011 hingga 2012 sebesar Rp 7,7 triliun sebagai kerugian negara. Bagi aparatur negara atau BUMN. Alangkah mengerikannya rekomendasi seperti itu. Merugikan negara. Alias korupsi.

Rekomendasi seperti di atas. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Bertahun-tahun. Karena kerugian terus berlanjut. Pada tahun 2013 saja Pertamina mengalami kerugian dalam penjualan gas 12 Kg  ini sebesar 5,7 triliun. Jika diakumulasikan dari tahun  2009 sampai 2013 ini Pertamina mengalami kerugian sekitar 22 triliun.

Bayangkan. Orang yang belum ditemukan kesalahannya oleh BPK saja bisa nervous jika diperiksa. Bagaimana dengan Pertamina yang jelas-jelas sudah ditemukan kesalahannya? Sudah diperingatkan 4 tahun berturut-turut? Dikatakan merugikan negara?

Maka bisa dimaklumi jika akhirnya pertahanan Pertamina jebol. Kesabaran Pertamina habis karena dikatakan merugikan negara bertriliun-triliun pertahun.

Tepat 1 Januari 2014 Pertamina menaikkan harga gas 12 Kg. Kenaikannya pun tidak sampai membuat Pertamina impas apalagi untung. Pertamina hanya mengurangi besaran kerugian pada tahun 2014 ini. Dari Rp 6 triliun menjadi 2 triliun.

Tentu dengan resiko, dianggap merugikan negara lagi oleh BPK. Tapi paling tidak Pertamina masih bisa menjawab. Bahwa mereka sudah menjalankan rekomendasi BPK pada tahun sebelumnya. Rekomendasi tidak didiamkan begitu saja. Yang memancing BPK  membawa rekomendasi itu kepada penegak hukum. Seperti kejaksaan atau KPK.

Sebagai masyarakat awam mungkin kita berfikir. Bukankah kerugian Pertamina dalam menjual gas 12 Kg tidak sebanding dengan keuntungan Pertamina secara keseluruhan? Kenapa keuntungan Pertamina pada sektor lainnya tidak diikhlaskan untuk menutupi kerugian pada gas 12 Kg?

Di sini bukan masalah ikhlas tidak ikhlas. Sebagai negara hukum. Semua tindakan masyarakat lebih-lebih penyelenggara negara atau BUMN harus berdasar hukum.

Kalau Pertamina menjual gas 12 Kg di bawah harga keekonomian. Berarti Pertamina telah memberi subsidi langsung ke masyarakat. Pertamina tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan itu. Tidak ada undang-undangnya. Tidak ada Perpresnya. Bahkan Permen –nya pun tidak ada. Artinya Pertamina bertindak melawan hukum. Wajar bila disalahkan oleh BPK.

Maka salah alamat jika kita menghujat Pertamina. Lebih-lebih mengingat pengorbanan Pertamina yang selama 4 tahun rela dikatakan merugikan negara oleh BPK. Rela menerima kemungkinan resiko terburuk. Pertamina dipermasalahkan secara hukum.

Kalau kita berpandangan gas 12 Kg tidak boleh dijual mahal. Kita berpandangan masyarakat menengah ke atas pemakai gas 12 Kg harus mendapatkan harga kurang lebih sama dengan masyarakat tidak mampu pemakai gas 3 Kg.

Maka gas 12 Kg harus menjadi barang yang disubsidi oleh pemerintah. Dalam hal ini. Pemerintah dan DPR lah yang berwenang memutuskannya. Bukan Pertamina.  Pemerintah dan DPR lah yang berwenang membuat aturan atau undang-undang. Masukkan tabung gas 12 Kg menjadi barang subsidi. Ambil dana subsidinya dari laba Pertamina. Dianggarkan melalui APBN. Habis Perkara. Tidak ada masalah bagi Pertamina. Tidak ada hukum yang dilanggar.

Menjadi sesuatu yang lucu dan tidak masuk akal jika ada orang. Khususnya DPR dan pejabat pemerintah yang menyalahkan aksi Pertamina. Karena itu sama saja mereka mendorong Pertamina melawan hukum. Melawan BPK.

Gonggongan Politis

Jika ada yang berkomentar. Pertamina seharusnya tidak hanya memikirkan laba. Saya katakan. Orang yang berfikir seperti ini otaknya otak komunis. Yang seharusnya sudah punah pada tahun 60-an. Mereka penghianat bangsa. Sekilas nampak perkataan mereka peduli kepada rakyat. Tapi dampak jangka panjangnya akan mengerikan.

Pertamina itu harus untung. Untung sebesar-besarnya. Darimana Pertamina mendapat dana, untuk mencari ladang gas dan minyak yang baru? Darimana Pertamina mendapat dana untuk mengelola ladang minyak dan gasnya? Darimana Pertamina mendapat dana untuk membangun kilang? Investasi untuk hal-hal seperti ini sangat mahal. Tidak bisa dengan uang miliaran. Butuh uang berpuluh-puluh triliun. Butuh uang beratus-ratus triliun. Memangnya Pemerintah dan DPR mau menganggarkan dana-dana seperti itu untuk Pertamina dalam APBN?

Ah... jangankan menganggarkan biaya seperti itu. Dana subsidi saja Pemerintah menonggak kepada Pertamina sebesar Rp 25 triliun. Bandingkan dengan pemerintah Malaysia. Yang memberikan Petronas belanja modal sampai Rp 1000 triliun dalam 5 tahun. Pemerintah kita hanya memberi sepersepuluhnya dari itu. Jika dikurangi dengan kerugian Pertamina pada gas 12 Kg dan tonggakan dana subsidi. Nyaris Pertamina tidak mendapat dana investasi dari pemerintah. Malaysia 1000, Indonesia 0.

Percuma Indonesia kaya akan gas. Percuma Indonesia memiliki sumber minyak. Kalau Pertamina tidak mampu mengelolanya. Karena Pertamina digembosi oleh bangsa sendiri.

Maka jangan heran. Untuk memenuhi kebutuhan gas dan BBM Indonesia, kita sangat tergantung pada impor. Kita sangat tergantung kepada investasi asing.

Jadilah Pertamina yang sekarang. 53 % kebutuhan gas diambil dari luar negeri. 30 % dibeli kepada perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia tapi menggunakan dolar. Hanya 13 % kebutuhan gas yang diproduksi sendiri oleh Pertamina.

Sudah sejak zaman Orba sampai zaman Megawati pemerintah kita ingin hidup enak dan santai. Tidak perlu keluar keringat untuk mendapat uang banyak. Ladang-ladang gas dan minyak diserahkan pengelolaannya ke asing. Malah dijual ke asing seperti ladang gas Tangguh oleh Megawati. Oleh sebab itu mereka tidak merasa terlalu penting membesarkan Pertamina.

Kalau DPR dan pemerintah merasa keberatan rakyat membeli gas 12 Kg dengan harga pasar. Seharusnya tabung gas 12 Kg itu dibuat menjadi barang subsidi. Subsidinya dianggarkan dalam APBN. Bukan dengan cara politis begini. Berteriak dan menggonggong Pertamina untuk mendapat simpati masyarakat.

Sekarang Pertamina sudah mulai berkembang. Bahkan sudah menjadi perusahaan berkelas Internasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah. Berhasil masuk Fortune 500 pada tahun 2013. Fortune 500 merupakan urutan 500 perusahaan top dunia yang diukur berdasarkan pendapatan tahunan. Tidak tanggung-tanggung, Pertamina langsung berhasil menempati peringkat 122. Peringkat yang sangat membanggakan. Menjadi incaran semua perusahaan multinasional.

Jangan lagi digerogoti dari kiri kanan. Diperas menyetor deviden sebesar-besarnya, tanpa memikirkan pengembangan  investasi. Dibelenggu dengan menahan dana subsidi. Diracuni dengan cara dipaksa menelan rugi. Sudah cukup lama Pertamina dianiaya seperti itu.

Sudah bukan zamannya lagi kita memikirkan kesenangan sesaat dan instan. Mengedepankan kepentingan politik.

Masuk akal yang dikatakan ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Kenaikan harga gas 12 Kg tidak masalah. Karena pada umumnya yang memakai adalah kalangan menengah atas.

Kita menghujat mobil mewah menggunakan BBM bersubsidi. Tapi kenapa kita memaksa Pertamina mensubsidi orang berada? Subsidinya ilegal lagi. Tanpa dasar hukum.

Sangat logis yang dikatakan pengamat Energi,  Darmawan Prasodjo. Cara membesarkan Pertamina ialah dengan memberikan dukungan modal. Tapi sikap pemerintah saat ini terkait kenaikan gas 12 Kg tidak pro rakyat, tidak memberikan subsidi, malah menyulitkan Pertamina.

Saya salut dengan komentar Jusuf Kalla. Yang mengatakan keputusan Pertamina sudah tepat, untuk mengurangi kerugian. Kalau ada masyarakat yang merasa tidak mampu dengan harga gas 12 Kg setelah dinaikkan. Pindah saja menggunakan gas 3 Kg. Namanya saja tidak mampu. Mereka berhak menggunakan tabung bersubsidi. Pemerintah wajib menambah kuota subsidi. Sambil meningkatkan pengawasan.

Bagaimana dengan beberapa daerah yang belum terjangkau dengan tabung gas 3 Kg? Ya tidak usah memakai gas dulu. Pakailah minyak tanah. Karena setahu saya. Daerah yang belum terjangkau dengan tabung gas 3 Kg masih menerima subsidi minyak tanah. Seperti pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Kalau keberatan memakai minyak tanah? Tuntut kementerian ESDM untuk segera menuntaskan pendistribusian tabung gas subsidi 3 Kg.

Disinilah diperlukan kevokalan DPR dan pengamat. Bukan menggonggong  Pertamina yang sudah teraniaya dan dijadikan pesakitan BPK. Dengan maksud pencitraan dan cari muka. Terkesan membela rakyat. Tapi sejatinya menjadikan bangsa ini kerdil selamanya. Bergantung pada asing.

Membodohi rakyat. Mengajak rakyat mempraktikkan prilaku bar-bar. Bertindak semaunya sesuai kepentingan. Mengajak rakyat ramai-ramai  menginjak-injak konstitusi negara sendiri.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun