Sajak Jokowi
Saya gembira saat Jokowi dengan bersemangat mengatakan tol laut menjadi salah satu programnya jika menjadi presiden kelak. Hebat. Karena saya melihat pemerintahan sekarang setengah hati menjalankannya. Khususnya tol atas laut Pantura. Kementerian PU malah mencibir proyek yang diinisiasi BUMN ini.
Tapi saya mengerutkan kening saat Jokowi mengatakan akan membangun tol laut Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi bahkan Papua. Lho... ngapain Jokowi membangun tol laut di Sumatera bahkan Papua? Apa iya pembebasan lahan di wilayah itu sesulit pembebasan lahan di Pulau Jawa, sehingga jalan tol harus dibangun di atas laut? Dan apa iya Papua membutuhkan jalan tol, sedemikian padatnyakah jalan raya di sana?
Konsentrasi saya tingkatkan kembali. Penasaran dengan pemaparan Jokowi. Pada akhirnya saya manggut-manggut. Sedikit ada gambaran saat dia menyebut kapal-kapal besar pengangkut barang. Saat dia menyinggung harga semen di Papua. Bukan jalan tol maksud Jokowi. Tapi akan membangun pelabuhan-pelabuhan besar pada daerah-daerah yang dimaksud. Oalah Jokowi. Kenapa memaparkan visi misi seperti membaca sajak begitu? Tidak jelas.
Kalau membangun pelabuhan-pelabuhan besar, ini adalah program pemerintah yang sekarang. Sedang dijalankan. Namanya konsep Pendulum Nusantara. Akan dibangun 6 pelabuhan utama berjajar seperti pendulum. Menghubungkan kepulauan Nusantara: Belawan-Medan, Tanjung Perak-Surabaya, Batam, Makassar, dan Sorong-Papua. Pelabuhan-pelabuhan ini akan dibangun sehingga mampu disinggahi kapal dengan muatan 3.200 kontainer. Dengan pelabuhan New Tanjung Priok-Jakarta menjadi pusatnya, yang akan mampu disinggahi kapal dengan muatan 6.000 kontainer. Tujuan utamanya adalah menekan biaya logistik (sekarang ongkos kontainer dari Jakarta ke Hongkong lebih murah daripada ke Papua). Proyek yang diinisiasi oleh konsorsium BUMN ini merupakan salah satu program pemerintah yang dikenal dengan Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia (MP3EI).
Begitu jelas program ini tapi begitu rumit Jokowi memaparkannya. Sampai saya sempat salah paham. Pelabuhan saya kira tol beneran. Masalah “tol laut Jokowi” ini saya rasa persis dengan masalah Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Sebenarnya sudah ada dengan nama BOS dan BPJS. Tinggal dibenahi. Tapi Jokowi telah membuatnya rumit.
Kebocoran Prabowo
Lain lagi dengan Prabowo. Berkali-kali kita mendengar dia menyebut kebocoran kekayaan negara sampai 1.000 triliun. Luar biasa. Terdengar gagah berani ucapan ini. Saat debat Capres putaran kedua kemarin, saya senang Prabowo mengucapkannya kembali. Berharap kali ini dia menjelaskan dengan gamblang tentang kebocoran itu. Selanjutnya bagaimana gebrakan mengatasinya. Tapi sampai acara debat selesai. Prabowo belum menjelaskan kebocoran yang dimaksud. Hanya retorika. Bahkan membuat orang salah paham. Mengira kebocoran yang dimaksud Prabowo hanya korupsi. Seharusnya dia paparkan sekian triliun kebocoran pajak, sekian triliun kebocoran pajak dan royalti tambang, sekian triliun dari korupsi, dan lain sebagainya.
Sebenarnya kebocoran 1.000 triliun itu kecil. Angkanya bisa jauh lebih besar. Lihat saja. Pajak rakyat Indonesia sekitar 1.000 triliun. Sekitar 12% dari PDB. Padahal rata-rata pajak negara berkembang sampai 26% dari PDB. Seandainya Indonesia bisa seperti rata-rata negara berkembang lainnya. Maka bukan 1.000 triliun pajak yang terkumpul, tapi dua kali lipat: 2000 triliun. Atau Indonesia seperti Brazil yang bisa memungut pajak sampai 34% dari PDB. Maka Indonesia bisa mengumpulkan pajak sebesar 3.000 triliun.
Belum lagi pajak dan royalti tambang. Seperti yang disebutkan ketua KPK, Abraham Samad. Pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel setiap tahunnya dapat mencapai 20.000 triliun. Pendapatan ini tergerus karena pemerintah sekarang tidak tegas dalam regulasi dan kebijakan. Belum lagi kebocoran APBN karena korupsi. Seharusnya kebocoran-kebocoran ini dijelaskan oleh Prabowo. Setelah itu diberikan solusi konkrit. Agar kita bisa berharap.
Misalnya Prabowo dengan tegas mengatakan akan menaikkan PPh. Karena saat ini PPh di Indonesia 5-30%. Sedangkan negara yang sudah kuat sistem perpajakannya PPh mencapai 60%. Prabowo dengan tegas mengatakan akan menambah wajib pajak sekian juta orang. Karena rakyat Indonesia baru 20 juta orang yang memiliki NPWP. Bahkan anggota dewan (DPRD dan DPR) periode 2009-2014 hanya 40% yang memiliki NPWP. Prabowo dengan tegas mengatakan akan menyisir tambang yang belum taat menyetor pajak dan royalti, dan mengancam akan memberi hukuman keras jika mereka ketahuan membandel. Ketegasan-ketegasan kongkrit begini yang kita butuhkan untuk membuat Indonesia betul-betul menjadi Macan Asia. Bukan ketegasan yang hanya berupa orasi berapi-api.
Kalau hanya menyebutkan masalah, apalagi masalahnya tidak jelas. Semua pasti bisa. Bahkan saya sendiri bisa mengatakan kebocoran kekayaan negara sampai 100.000 ribu triliun. Tidak percaya? Hitung saja berapa ton per tahun ikan Indonesia yang dicuri asing? Berapa ton pupuk dan BBM yang diselundupkan? Berapa ton BBM impor yang kita bakar per tahun, padahal kita memiliki energi dari gas alam, geothermal terbesar dunia, batu bara, bio energi dan lain sebagainya.
Belum lagi potensi pajak yang kita bahas di atas, pajak dan royalti tambang yang disebut Abraham Samad, korupsi, dan lain sebagainya. Pasti akan melampaui 100.000 triliun.
Setelah mengikuti dua putaran debat Capres ini. Untuk sementara saya menyimpulkan. Kedua Capres tidak bisa terlalu kita harapkan memimpin perubahan yang signifikan. Lihat saja. Memetakan dan memaparkan masalah bangsa saja mereka kewalahan. Bagaimana kalau mereka dituntut memikirkan solusi kongkritnya? Belum lagi bagaimana eksekusinya?
Lihat saja debat Capres putaran pertama. Semua Capres mengatakan akan memberantas korupsi. Tapi saat membahas korupsi semuanya tumpul. Jangankan bicara hukuman mati bagi koruptor. Pemiskinan koruptor sedikit pun tidak mereka singgung. Mereka bicara layaknya memberi penyuluhan P4. Menegakkan hukum, hukum tidak pandang bulu, pemimpin memberi contoh, dan berbagai pernyataan normatif sejenis.
Tapi walau bagaimanapun. Salah satu dari mereka akan menjadi presiden kita kelak. Nampak sulit mengharap mereka membawa perubahan spektakuler untuk Indonesia. Kemungkinan besar Indonesia akan tumbuh biasa seperti saat sekarang ini. Tidak akan melompat. Tidak akan berlari kencang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H