Mohon tunggu...
Lukman Bin Saleh
Lukman Bin Saleh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Madrasah Aliyah NW Sambelia- Lombok Timur FB:www.facebook.com/lukmanhadi.binsaleh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dahlan Iskan, Dosamukah Ini?

23 Oktober 2012   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:28 9587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari belakangan saya bingung mendengar berita, pada tahun 2009 dan 2010 katanya PLN rugi 37 triliun. Padahal beberapa waktu yang lalu saya kebetulan juga membaca berita, tahun 2009 laba bersih PLN 10,35 triliun, dan tahun 2010 labanya 10,086 triliun. Saya buru-buru browsing apa waktu itu saya salah baca. Tapi tidak beritanya tetap, pada tahun 2009 dan 2010 PLN mencatat laba. Saya garuk-garuk kepala, mana yang benar ini?.

Browsing saya lanjutkan untuk mengetahui informasi sebenarnya. Ternyata ada pemelintiran berita, fakta diungkap setengah-setengah. Masyarakat menjadi salah paham.

DPR menyatakan PLN rugi 37 trilun pada tahun 2009 dan 2010 berdasar `audit BPK. Padahal BPK hanya melaporkan telah terjadi kehilangan potensi penghematan anggaran, lantaran pembangkit listrik tenaga gas tidak beroperasi optimal. Pembangkit bertenaga disel yang menggunakan BBM bersubsidilah yang digunakan PLN sehingga terjadi pemborosan.

Salahkah PLN yang tidak mau mengoptimalkan pemakaian gas?. Ternyata PLN bukannya senang memakai BBM tapi terpaksa. Yang mengatur kuota pembelian gas adalah BP Migas berdasar `keputusan Menteri ESDM. Kuota untuk PLN dibatasi sedemikian rupa hingga tidak mencukupi kebutuhan. Gas lebih diprioritaskan untuk meningkatkan produksi sumur minyak dan pabrik pupuk. Lalu kenapa PLN yang disalahkan?. Kenapa tidak DPR saja menyalahkan diri-sendiri karena tidak bisa membuat undang-undang tata niaga gas yang baik. Lagian sama saja negara akan rugi jika kuota PLN ditambah tapi kuota untuk kebutuhan sumur minyak dan pabrik pupuk dikurangi?. Produksi minyak akan menurun dan pupuk mejadi langka. Impor BBM akan semakin tinggi dan gagal panen segera terjadi.

Kalaulah logika DPR kita pakai bukan saja 37 triliun kerugian PLN tapi ratusan triliun. Sekalian saja kita tuduh PLN tidak mengoptimalkan pembangkit listrik tenaga panas bumi, tenaga air, tenaga nuklir, tenaga angin, tenaga pasang air laut, dan sebagainya.

Atau kita tuduh juga sekalian menteri Perhubungan dan Pemprop DKI melakukan pemborosan subsidi BBM triliunan rupiah karena tidak berhasil mengatasi kemacetan Jakarta. Kemacetan telah mengakibatkan jutaan kilo liter BBM terbuang percuma. Kita tuduh Menteri Pertanian dan Menteri Kelautan merugikan negara karena tidak berhasil melakukan suasembada beras, daging, kedelai, gula, dan garam sehingga devisa negara habis untuk impor. Kita tuduh Menteri PAN dan RB melakukan pemborosan karena lambat menuntaskan reformasi birokrasi sehingga APBN habis tersedot untuk belanja pegawai.

Bahkan kita tuduhjuga DPR merugikan negara triliunan rupiah. Dengan gaji besar dan fasilitas wah produktivitasnya dalam mengesahkan undang-undang jauh dari target. Ini jelas-jelas pemborosan, gaji tinggi tetapi kinerja kerdil. Bila perlu kita bubarkan DPR yang berjumalah 550 orang itu, betapa besar` uang negara dapat kita hemat. Untuk apa ada DPR?, mereka penyalur aspirasi masyarakat tetapi selama ini mereka sulit mengerti aspirasi masyarakat, selalu bertentangan dengan keinginan masyarakat. Toh masyarakat bisa menyalurkan aspirasinya langsung dengan demonstrasi. Tidak perlu DPR yang banyak, bergaji tinggi, pasilitas wah, dan mendapat pensiun seumur hidup.

Kenapa juga kerugian PLN yang dipersoalkan hanya tahun 2009 dan 2010, kenapa tidak sekalian dari tahun 1945?. Bukankah sejak merdeka Indonesia bergaya memakai BBM padahal kta tau minyak mahal dan cadangannya tidak seberapa?,  sedangkan di sisi lain gas murah dan melimpah. Begitu sakit hatikah DPR kepada sosok yang bernama Dahlan Iskan, yang kebetulan menjabat sebagaiDirut PLN pada tahun tersebut?. Atau memang Dahlan Iskan pantas menanggung dosa pemborosan PLN. Menurut ajaran agama orang boros adalah saudara setan. Saudara setan memang harus ditimpakan dosa sebesar-besarnya. Entahlah.

Yang pasti bahasa politik tidak sama dengan bahasa rakyat sehari-hari. Rugi yang dimaksud DPR tidak sama dengan rugi yang kita pahami. Pemborosan yang dimaksud tidak sesederhana pemborosan yang kita pahami.

Teringat juga kasus Telkomsel yang dinyatakan bangkrut. Laba Telkomsel puluhan triliun pertahun, asetnya mencapai 120 triliun. Bagaimana bisa dikatakan bangkrut dengan hutang yang hanya 5 miliar?. Ternyata bahasa elit hukum juga tidak bisa dipahami oleh masyarakat kebanyakan.

Bahasa yang mereka gunakan mungkin bahasa tingkat tinggi, diluar jangkauan pemikiran kita. Tidak cukup hanya diterjemahkan tapi perlu ditafsirkan agar bisa dimengerti. Mudah-mudahan Dahlan Iskan dilain waktu bisa menerjemahkan dan menafsirkan bahasa mereka lewat catatan-catatan kecilnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun