Mohon tunggu...
Lukman Bin Saleh
Lukman Bin Saleh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Madrasah Aliyah NW Sambelia- Lombok Timur FB:www.facebook.com/lukmanhadi.binsaleh

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jalan Panjang Menuju Pelukan Dahlan Iskan (Catatan pribadi)

9 September 2013   12:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:08 876
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1378702766131603330

[caption id="attachment_264754" align="alignnone" width="300" caption="Buku Ganti Hati Sumber: Dok. pribadi"][/caption] Penulis itu  Jadi Tersangka

Mading kaca berbingkai kayu ini setiap hari ku datangi. Mading yang di dalamnya dipanjang Koran Lombok Post. Berpuluh-puluh menit aku berdiri. Membaca berita demi berita. Tentu saja aku tidak sendiri. Kami membaca beramai-ramai bahkan kalau sedang ada perhelatan sepak bola akbar seperti Liga Champions. Membaca di mading ini tak ubahnya seperti ikut berkerumun di depan Kantor Pos saat pembagian BLSM.

Itu terjadi sekitar 12  tahun yang lalu. Saat aku masih di bangku kuliah IAIN Mataram. Kalau teman-teman heboh membicarakan sepak bola aku malah hampir tidak pernah membaca kolom olah raga. Sama dengan kolom kriminal, aku kurang tertarik. Aku lebih tertarik pada berita-berita ekonomi, sosial, dan politik.

Selain berita-berita  tadi ada salah satu kolom yang sangat menarik perhatianku. Setiap ke mading selalu itu saja yang pertama aku cari. Tentu saja tidak selalu kutemui. Karena tidak dimuat tiap hari. Sesekali waktu saja bahkan tidak terjadwal. Dan aku tidak ingat sejak kapan aku tertarik membaca kolom itu.

Kolom itu sejenis artikel tapi ditaruh di halaman muka. Ada poto kecil penulisnya. Hitam putih seperti lukisan siluet. Hanya kepalanya saja. Biarpun sangat tertarik dengan tulisan-tulisannya aku tidak pernah begitu memperhatikan nama penulis tersebut. Namanya aku baca hanya dengan sepintas lalu. Tidak pernah benar-benar aku hafal. Aku hanya membayangkan bahwa dia adalah seorang pejabat di Lombok.

Di suatu hari kira-kira tahun 2006, adik tingkatku memberi kabar. Bahwa wakil bupati Lombok Barat, ditetapkan sebagai tersangka ijazah palsu. Aku terkejut dan tidak percaya. Bukan lantaran aku ada hubungan dengan wakil bupati tersebut. Tapi karena dialah yang menurutku penulis artikel-artikel di halaman depan Lombok Post. Selama ini aku terkesan. Dalam benakku tercipta seorang sosok yang baik, cerdas, sederhana, dermawan, soleh, dan sederet sifat baik lainnya. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi tersangka? Ini sulit dipercaya.

“Tidak salah berita yang kamu bawa?” Tanyaku pada teman tersebut. “Tidak, itu betul. Wakil bupati Lombok Barat, Izzul Islam menjadi tersangka” jawabnya mantap. “Izzul Islam yang selalu menulis di Lombok Pos?” Aku memburu. “Menulis? Dia tidak pernah menulis” Sanggahnya sambil kebingungan. Aku jelaskan artikel-artikel yang selama ini aku baca. Tapi sekali lagi dia membantah bahwa sang wakil bupati tidak pernah menulis. Dalam mengenal tokoh-tokoh politik lokal aku akui dia lebih hebat. Tapi di sisi lain aku sulit mempercayai bahwa penulis yang artikel-artikelnya aku kagumi selama ini bisa menjadi tersangka.

Hingga beberapa bulan kemudian aku baru menyadari. Setelah artikel di halaman muka lengkap dengan poto kecil penulisnya muncul lagi. Ternyata namanya Dahlan Iskan bukan Izzul Islam. Saking tidak pedulinya aku dengan nama sang penulis artikel, sehingga aku tidak bisa membedakan antara Dahlan Iskan dan Izzul Islam. Namun disaat aku sadar temanku tersebut sudah wisuda. Aku tidak dapat menjelaskan persoalan salah nama kepadanya.

Dari Koran Bekas, Buku Bajakan Hingga HP Pinjaman

Pada tahun 2007 aku wisuda. Seharusnya sudah dua tahun yang lalu. Tapi tak apa, daripada terlambat sekali kan lebih baik terlambat. Keluar dari kampus pulang ke kampung halaman. Tidak ada lagi tempatku membaca koran. Tidak bisa lagi membaca artikel-artikel Dahlan Iskan di halaman muka Lombok Post. Padahal saat itu sudah mulai diterbitkan setiap hari, artikel-artikel Dahlan Iskan Serial Ganti Hati.

Untunglah kantor tempat mertua dan istriku bekerja berlangganan koran Lombok Post. (Aku menikah seminggu sebelum wisuda). Sering aku dibawakan koran bekas dari kantornya. Karena aku berpesan kepada mereka. Kalau ada artikel Dahlan Iskan tolong dibawakan, walau hanya halaman itu saja.

Kadang sore harinya aku ajak dia jalan-jalan sambil mencari koran bekas di kantornya. Apalagi kalau dia sudah bercerita bahwa hari itu ada artikel Dahlan Iskan tapi lupa atau masih dibaca oleh teman-temannya. Tentu saja tidak selamanya berhasil. Karena yang suka membawa koran ke rumahnya bukan istriku saja tapi ada beberapa teman kantornya yang lain. Oleh sebab itu aku tidak bisa membaca artikel seri ganti hati seutuhnya secara berurutan.

Beberapa bulan kemudian secara tidak sengaja aku menemukan buku bersampul coklat disebuah toko buku. Ada lukisan  wajah yang sudah aku kenal. “Ganti Hati” itulah judul buku tersebut. Aku periksa isinya, persis seperti yang sudah aku baca di Koran Lombok Post. Tapi yang ini lengkap, sekitar 300-an halaman. Tanpa pikir panjang aku membelinya.

Di rumah buku itu aku lalap habis. Tidak lebih dari 24 jam. Aku semakin kagum dengan kepribadian Dahlan Iskan. Aku semakin mengidolakannya. Terlebih membaca lampiran buku tersebut yang memuat SMS dan e-mail pembaca sekaligus jawaban Dahlan Iskan.

Berbagai pujian, hujatan, dan cacian dilontarkan ke Dahlan Iskan. Tapi semuanya dijawab dengan riang dan jenaka. Persis seperti caranya menjawab puji dan caci di Twitter sekarang ini. Salah satu yang aku ingat kira-kira seperti ini: “Mentang-mentang pemilik koran, setiap hari tulisannya saja yang dimuat.” Dahlan Iskan menjawab: “Saya hawatir kalau menulis di koran anda tulisan saya gak bakalan dimuat, he..he.. “

Saya tidak habis fikir dengan kesabaran orang ini. Hinaan dibalas dengan canda. Dimuat lagi dibukunya. Aku semakin terjatuh ke rasa kekaguman.

Tentu tidak seru mengidolakan seseorang seorang diri. Tidak ada teman berbagi cerita. Buku itu mulai aku promosikan. Kupinjami adik ipar karena kebetulan dia juga rajin membaca. Diapun jatuh hati kepada Dahlan Iskan.

Secara tidak sengaja dan tanpa sepengetahuanku karena buku itu aku geletakkan di ruang keluarga, mertua ikut membaca. Diapun jatuh hati kepada Dahlan Iskan. Sudah ada teman berbagi cerita sekarang. Saatnya ekspansi ke luar. Maka jadilah buku itu pinjaman bergulir sampai aku kehilangan jejaknya.

Pada tahun 2009 untuk pertama kalinya aku memegang HP yang bisa mengakses internet. Sony W Series. Punya tetangga yang baru pulang dari Malaysia. HP nya rusak dan dijual ke adikku sekaligus disuruh memperbaiki sendiri. Aku pinjam HP itu. Saat browsing, secara tidak sengaja aku menemukan blog yang memuat Catatan Dahlan Iskan lengkap. Lebih dari apa yang sudah aku baca di koran dan Buku Ganti Hati. Memuat catatan Dahlan Iskan sejak tahun 2003. Nama blog itu adalah: dahlaniskan.wordpress.com

Aku girang bukan kepalang. Bagaimana tidak? Ratusan artikel yang membuat aku keranjingan selama ini ada digenggaman, terpampang di depan mata. Tidak perlu mencari koran bekas. Artikel demi artikel aku baca. Tidak peduli di mana dan kapanpun. Aku pernah sampai jatuh terpelanting gara-gara tersandung  ranting pohon saat berjalan dikebun sambil membaca.

Melihat Idola di Layar Kaca

Pada suatu hari di penghujung tahun 2009. Aku membaca berita bahwa Dahlan Iskan diangkat menjadi Dirut PLN. Aku tidak heran karena beberapa waktu sebelumnya Dahlan Iskan banyak menulis tentang listrik khususnya PLN. Dia begitu mahir menceritakan keadaan listrik tanah air. Mulai dari masalahnya sampai solusinya. Begitu detail penjelasan teknisnya, tapi sangat mudah dipahami oleh pembaca. Nampaknya Dahlan Iskan sangat menguasai teknis pelistrikan melebihi orang PLN sekalipun. Mungkin SBY juga membaca artikel-artikel ini sehingga menunjuk Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN pikirku.

Ada rasa bangga, sang idola menjadi pejabat. Setengah berteriak aku mengabari adik ipar. Kamipun tersenyum bahagia. Saat itulah aku melihat wajah dan penampilan Dahlan Iskan secara langsung di TV untuk pertama kalinya. Selama ini aku hanya melihat poto-potonya.

Di samping bangga ada juga rasa khawatir. Apakah Dahlan Iskan bisa menyelesaikan masalah listrik yang sedang mendera negara ini. Karena saat itu Indonesia benar-benar mengalami krisis listrik yang sangat akut. Jangankan di daerah,  Jakarta-pun mendapat pemadaman bergilir karena PLN kekurangan daya.  Belum lagi jutaan daftar tunggu pemasangan Kwh baru.

Beberapa waktu kemudian timbul lagi khawatir yang lain. Sejak menjadi Dirut PLN catatan Dahlan Iskan tidak pernah muncul lagi. Apakah Dahlan Iskan tidak lagi menulis artikel? Malangnya nasibku kalau begini. Tidak bisa lagi membaca tulisan sang idola.

Hari demi hari ku tunggu kemunculan Catatan Dahlan Iskan. Blog dahlaniskan.wordpress.com aku periksa setiap hari. Hingga suatu hari tulisan yang baru, muncul. Ada rasa lega, tapi hanya sementara. Karena setelah aku baca isinya Dahlan Iskan menulis tentang keraguannya. Apakah tetap akan melanjutkan hobinya menulis setelah menjadi pejabat atau tidak. Dahlan Iskan belum memutuskan secara pasti.

Dia hanya memberi gambaran. Seorang pejabat yang hobi main golf boleh menjalankan hobinya yang mahal itu. Masak aku yang hanya hobi menulis tidak boleh? Dan aku lega beberapa hari kemudian Dahlan Iskan menetapkan hati untuk terus menulis. Kali ini tulisannya dibuat secara teratur dan 99% isinya tentang PLN. Istilah artikelnya adalah Ceo Notes. Cerdas: hobi bisa dibuat alat penunjang pekerjaan.

Dua tahun berlalu, dengan setia aku membaca Ceo Notes. Tidak ada yang berubah. Kecuali rasa kagumku yang semakin mendalam. Bagaimana Dahlan Iskan menggambarkan dengan jelas masalah-masalah pelistrikan dari Pegunungan bukit Barisan Sumatera, pulau-pulau terpencil NTT, pedalaman Kalimantan,  sampai Pedalaman Lembah Baliem Papua. Dahlan Iskan melaporkan langsung dari lokasi. Sehingga kita merasa ikut bersamanya keliling Indonesia.  Dahlan Iskan tidak hanya pandai menggambarkan kondisi pelistrikan suatu daerah. Lebih dari itu, Dahlan Iskan memberi solusi-solusi yang amat luar biasa (Bersambung). ***

*Tapi saya mungkin tidak akan menulis sambungannya. Karena hanya catatan pribadi. Ini saya tulis sekitar 4 bulan lalu saat Pak Dahlan berkunjung ke Lombok. Tidak pernah saya publish. Sampai tadi malam tiba-tiba teman FB di grup https://www.facebook.com/groups/DahlanIskanPresidenku/, Mbak Hera Halimah menanyakan: “Sejak kapan Mas LBS mengagumi Pak Dahlan?” Kemudian saya  teringat tulisan ini dan mempostingnya hari ini .....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun