Mohon tunggu...
Lukman Bin Saleh
Lukman Bin Saleh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru Madrasah Aliyah NW Sambelia- Lombok Timur FB:www.facebook.com/lukmanhadi.binsaleh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lelang Kursi Menteri Jokowi

26 Juli 2014   15:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:07 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14063383031134142578

Dari Suku Sampai Perguruan Tinggi

Salah satu agenda Jokowi yang pernah diucapkannya ketika maju sebagai calon presiden beberapa waktu yang lalu adalah ini: Lelang Jabatan Menteri. Dapatkah Jokowi menjalankan agendanya ini? Atau terbentur masalah-masalah yang tidak dia bayangkan sebelumnya? Masalah yang tidak dia dapatkan saat lelang jabatan lurah dan camat DKI Jakarta?

Tulisan Dahlan Iskan pada tahun 2009 saat SBY menyusun Kabinet Indonesia Bersatu jilid II mungkin bisa memberi sedikit gambaran. Bagaimana susahnya seorang presiden menyusun kabinet, karena begitu banyaknya pihak-pihak yang meminta jatah:

“............Begitu banyak pihak yang merasa harus mendapat jatah. Sampai-sampai mereka harus merebut, mengancam, mencela, menyikut, dan menyindir. Bayangkan betapa sulitnya Presiden SBY ketika menyusun kabinet baru. Harus ada jatah untuk partai-partai. Untuk suku-suku besar. Untuk agama-agama. Untuk gender (jatah laki-laki dan jatah wanita). Untuk pegawai karir. Untuk jatah profesional. Jatah untuk tentara dengan subjatah angkatan darat, laut, udara dan polisi. Jatah untuk universitas: untuk ITB-IPB-UI-UGM-ITS-Unair dan perwakilan universitas kecil. Jatah untuk menteri lama agar ada kesan terjadi kontinuitas. Masih ada lagi jatah untuk sebuah pertimbangan khusus.

Sedikit saja penjatahan itu kurang merata, bisa-bisa negara kurang harmonis. Misalnya saja sekarang ini. Belum apa-apa golongan tertentu di Ambon sudah mengancam memisahkan diri dari Indonesia hanya karena tidak ada orang Ambon dalam kabinet. Padahal, bisa saja sebentar lagi orang Ambon yang sangat hebat, yang sekarang sudah menjadi orang kunci di Sesneg seperti Lambock (Wakil Sekretris Kabinet Lambock V. Nathans), akan mendapat jatah sebagai sekretaris kabinet.

Memang, secara tradisional suku Ambon selalu terwakili dalam kabinet, sebagaimana suku Padang, Batak, Jawa, Manado, Bali, Palembang, dan Banjarmasin. Orang seperti Gusti Hatta yang menjadi menteri lingkungan hidup, misalnya, tidak hanya membuat kaget masyarakat, tapi juga mengagetkan dirinya sendiri. Ketika sudah dipanggil ke Jakarta pun dia masih mengira hanya akan diangkat menjadi rektor universitas setempat. Barangkali dia tidak tahu kalau sampai hari itu jatah untuk Kalimantan belum ada.

Rasa iri itu bukan hanya monopoli orang Ambon. Di kalangan universitas pun mulai ada guyon: IPB itu singkatan dari Institut Pejabat BUMN! Ini bermula karena pejabat-pejabat di BUMN, mulai menterinya sampai deputinya adalah lulusan Institut Pertanian Bogor. Atau kalau dalam kabinet kemarin ITB menjadi penguasa, kini direbut kembali oleh UI. Maka, ke depan, harus ada tekad bulat dari para alumni ITB Bandung untuk menggelorakan bait lagu “Mari Bung rebut kembali!”. Maksudnya untuk kabinet lima tahun ke depan........”

Kehingan Dua Kursi

Demikianlah rumitnya memilih menteri di Indonesia ini. Tidak sesederhana yang Jokowi bayangkan. Bagaimana kalau Jokowi tetap nekat. Mengabaikan semua realita di atas? Misalnya Jokowi mengabaikan Jatah untuk Parpol? Konsekwensinya akan sangat mahal sekali. Bisa-bisa Jokowi gagal menjadi presiden.

Seperti pendapat pemerhati pemilu Sinergi Masyarakat untuk Indonesia (SIGMA), Said Salahudin. Untuk bisa menjadi presiden terpilih, Jokowi masih harus melewati dua fase pertarungan lagi, yaitu pertarungan hukum dan pertarungan politik. Pertarungan hukum di MK sedangkan pertarungan politik di DPR. Untuk pertarungan hukum kemungkinan besar Jokowi akan menang, berhubung jumlah selisih suara yang mencapai delapan juta.

Yang terberat justru pertarungan politik. Dengan komposisi DPR yang lebih didominasi oleh partai-partai pendukung Prabowo, yaitu mencapai 353 kursi, maka tidak mudah bagi parpol pendukung Jokowi yang hanya memiliki 207 kursi menggelar sidang paripurna MPR untuk melantik Jokowi. Sebab pelantikan presiden harus dilakukan MPR.

Jika ini terjadi, maka PDIP, PKB, Nasdem, dan Hanura harus berjuang dengan cara lain, melantik Jokowi dengan sidang paripurna DPR. Kalau DPR juga tidak dapat bersidang karena parpol koalisi Prabowo tetap menolak, maka peluang terakhir untuk melantik Jokowi sebagai presiden adalah dengan menghadirkan pimpinan MPR. Pelantikan dilakukan di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA. Ini mekanisme pelantikan terburuk menurut pasal 162 ayat 3 UU Pilpres.

Jika pimpinan MPR nantinya didominasi oleh partai koalisi pendukung Prabowo yang lagi-lagi menolak untuk melantik Jokowi, maka terjadilah malapetaka politik. Kursi presiden Jokowi melayang hilang.

Itu permainan kasarnya. Mungkin agak sulit membayangkan itu terjadi. Tapi permainan halus parpol-parpol wajib Jokowi hadapi: penjegalan-penjegalan program pemerintah melalui DPR. SBY saja yang memerintah dengan koalisi jumbo dan telah membagikan mereka jatah menteri masih diusili, bagaimana dengan Jokowi jika benar-benar hanya didukung koalisi kurus? Belum lagi sakit hati parpol koalisi karena tidak diberikan jatah kursi menteri?

Dan saya rasa, parpol koalisi pendukung Prabowo sudah mulai menunjukkan taringnya mulai sekarang. Khususnya partai Golkar yang telah sangat berpengalaman melakukan intrik-intrik politik. Sebagai pesan untk Jokowi agar tidak macam-macam. Jangan meremehkan mereka. Terlihat dari sikap Akbar Tanjung yang menyarankan Prabowo agar menolak hasil Pemilu.

Maka beruntunglah Jokowi yang memiliki wakil berpengalaman seperti JK. Pernyataan JK saya rasa lebih realistis dan tidak membahayakan. Dengan tegas JK mengatakan, tidak ada lelang jabatan untuk kursi menteri.

Hendaknya Jokowi mengambil pelajaran dari kasus UU MD3 beberapa waktu yang lalu. Dimana PDIP sebagai pemenang Pemilu, seharusnya otomatis menduduki kursi pimpinan DPR seperti ketentuan selama ini. Tapi dijegal oleh Parpol-Parpol lainnya dengan merubah UU MD3. Jika Jokowi tetap mengabaikan pertimbangan-pertimbangan politik, maka tidak mustahil dia juga akan kehilangan kursi presiden. Atau paling tidak dia akan tertatih-tatih menjalankan programnya kelak.

Belum lagi kendala teknis. Misalnya kalau lelang jabatan lurah dan camat DKI Jakarta terbatas PNS dengan golongan tertentu. Bagaimana dengan lelang kursi menteri? Bagaimana membatasi mereka yang mendaftar? Dan belum tentu juga orang-orang terbaik akan mendaftar, taruhlah misalnya Chairul Tanjung, Mahfud MD, Anis Baswedan, Agus Marto Wardojo, Emirsyah Satar, dan lain sebagainya. Sedangkan ditawari saja belum tentu mereka mau.

Akhirnya ada baiknya Jokowi memikirkan ulang rencana lelang jabatan kursi menteri. Orang-orang hebat cukup memegang posisi-posisi strategis dalam kabinet. Orang-orang hebat cukup memegang pos-pos yang memerlukan kerja keras beneran di sektor riil. Dan Jokowi bersama JK harus benar-benar mencari mereka. Bukan mengharap mereka datang menyodorkan diri seperti layaknya para politisi. Dan jangan semua orang hebat masuk dalam kabinet. Biarlah kabinet dibagi-bagi untuk penjatahan apa saja.

Demi lancarnya pemerintahan Jokowi. Tidak tersendat oleh intrik-intrik politik orang-orang sejenis Akbar Tanjung di kemudian hari.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun