Mohon tunggu...
Lukman Solihin
Lukman Solihin Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bayang-bayang Delik Pers pada Kebebasan Pers

26 September 2012   01:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:41 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap bangsa yang merdeka dari situasi jajahan memiliki kekuatan untuk mendorong negaranya menjadi benar-benar merdeka selain dengan militer dan diplomasi. Kekuatan yang bisa mendorong negara merdeka dan lepas dari penjajahan itu adalah kekuatan pers atau peran media. Begitupun dengan indonesia yang memiliki sejarah tersendiri dengan pers-nya yang ikut berada di garda depan mengetuk setiap hati dan pikiran masyarakat Indonesia dan Dunia untuk meyadari bahwa Indonesia mesti benar-benar merdeka dengan hingga pada hati yang merdeka.

Medan Prijaji, Bintang Timur, Java Bode itulah sebagian dari beberapa surat kabar yang menjadi corong-corong kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia memegang kemerdekaan, kebebasan pers menjadi buah manis yang dapat dinikmati bersama. Kebebasan berpendapat menjadi kudapan yang dapat dinikmati siapa saja, semua berpendapat, demi kemajuan bangsa. Pers dalam fungsinya sebagai pendidik dan kontrol bagi setiap gerak langkah bangsa tidak selalu menemui jalan mulus dalam praktiknya. Kebebasan yang didapat dari kemerdekaan bangsa Indonesia ternyata tidak selamanya menjadi “bebas”.

Diera Orde Lama, pers masih memiliki ruang yang cukup luas untuk bergerak, berbanding terbalik dan drastis saat ordebaru, pers jadi seperti hilang taring dan cakar. Fakta lain tentang cerita kebebasan pers Indonesia  seperti diungkapkan dari sebuah kalimat P.K. Ojong, Kompas, 31 Juli 1967, “Dulu, (Zaman Orde Lama), pemerintah berbuat entah benar entah salah, rakyat ‘setuju’ saja. Sekarang, (Orde Baru) pemerintah berbuat sesuatu rakyat tidak setuju, tapi pemerintah jalan terus. Jadi perbedaanya hanyalah kalau dulu kita bungkam, maka sekarang setelah kita sudah boleh menyatakan tidak setuju, tetapi belum ada hasilnya...”. sebuah ketimpangan dari masa kemasa dimana kebebasan pers memberikan ruang bicara dan terkadang tak bisa bicara dan bahkan berbicarapun tak ada gunanya.

Muncul istilah delik Pers. Di Tahun 1966 sebelum diadakan undang-undang pokok pers 966, atas permintaan PWI, diadakan suatu tanggapan mengenai “kemerdekaan pers dan fungsinyadalam membina orde baru” yang sekarang disebut dengan pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Runtuhnya rezim orde baru merupakan peluang kebebasan pers di Indonesia. Setelah pemerintah Indonesia mengesahkan UU no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Kebebasan pers seperti mendapatkan legitimasinya dengan disahkannya dua undang-undang tersebut. Kemudian ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 2 UU no.40 tahun 1999, tidak lagi diperbolehkan adanya pembredelan, penyensoran, dan pelarangan terhadap media. Namun yang menjadi pertanyaan apakah jaminan kebebasan pers di Indonesia berpindah pada keadaan yang lebih baik?

Faktanya ada banyak yang buruk pada jaminan terhadap kebebasan pers di Indonesia. Jaminan “bebas pers” tidak bisa diberikan sepenuhnya, karena istilah delik pers di dalam KUHP maupun undang-undang dibawahnya. Dengan kondisi itu, maka setiap orang dapat melaporkan pers atas tindak pidana yang dilakukan.

Pada konsepnya, suatu pers yang bebas dan bertanggung jawab bertambah menjadi pers yang bebas dan bertanggung jawab sosial (social responsibility), maka khususnya pengertian mengenai pers berujung pada kode etik Jurnalistik. Kebebasan pers biasanya senada dengan kebebasan berpendapat atau kebebasa bersuara dan terlebih selalu di sangkutkan dengan hak asasi manusia.

Sejak sebelum merdeka Indonesia memiliki kebebasan pers yang selalu naik turun bahkan pernah berada di posisi paling krusial. Sebelum masa kemerdekaan di tanah Indonesia terdapat berbagai surat kabar yang menyuarakan rakyat Indonesia harus merdeka, bahkan ada beberapa surat kabar yang menyerukan hal yang sama dan terbit di negeri Belanda. Menandakan saat itu ada ruang untuk bersuara, meski terbatas. Dan keterbatasan gerak pers saat itu menunjukan kebebasan masih belum berkata bebas.

Dimasa awal indonesia merdeka mulailah kebebasan pers terasa. Pers pada awal orde baru, 1966-1974 dapat digambarkan dengan kuantitatif dari hasil penelitian Judith B. Agassi (1969). Penelitian itu menggambarkan ada peningkatan jumlah surat kabar yang diterbitkan hampir di berbagai daerah dengan produksi cetak (tiras) yang meningkat setiap bulannya. Di Tahun 1966 terdapat 132 harian di Indonesia dengan total tiras 2 juta eksemplar dan terbitan mingguan sebanyak 114 buah dengan total tiras 1.542.200 eksemplar.

Beranjak ke tahun berikutnya ada langkah penurunan pada jumlah surat kabar harian dan mingguan, serta penurunan tiras. Kenaikan tiras harian dan mingguan di Tahun 1966 merupakan wujud dari munculnya kembali surat kabar – surat kabar yang di masa demokrasi terpimpin pernah dibredel.

Suramnya gambaran pers dan kebebasan pers di Indonesia, terkait dengan statisnya dan kadang-kadang jauh turun perkembangan kuantitas pers, bahkan untuk tahun – tahun berikutnya tidak banyak yang berubah. Mulai dari Tahun 1970 – 1974. Bahkan pers menghadapi titik krusial pada peformanya di Tahun 1974 saat terjadinya pristiwa MALARI.

Menggutip tulisan Mochtar Lubis (1978) yang ada dalam buku 1966 Kisah Pers Indonesia 1974 karya Akhmad Zaini Abar :

“Tahun-tahun pertama orde baru membawa harapan bagi penemuan etonya. Orientasi media kembali pada kepentingan umum, kepentingan rakyat, kepentingan si kecil dalam masyarakat, dan media masa memperjuangkan keadilan dan tegaknya hukum, serta pula tegaknya hak-hak asasi, kemuliaan martabat dan kebebasan manusia.

Semua ini sejalan pula dengan perjuangan orde baruyang didalamnya kita melihat mahasiswa, pelajar, cendikiawan dan ABRI sedangkan parpol-parpol dari masa orde lama kebingungan.

Akan tetapi ‘bulan madu’ hanya berlangsung beberapa tahun saja. Penguasa bertambah ‘peka’ terhadap kritik-kritik dalam media massa.”

Masa bulan madu yang di sebut oleh Mochtar Lubis ini akhirnya berujung pada peristiwa Malari. Duabelas koran dibredel bahkan lebih, termasuk harian Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis sendiri. Maka setelah Januari 1974 tak ada lagi ‘mulut’ pers yang bisa mengeluarkan kata-kata kritik terhadap pemerintah.

Hingga sebelum masa reformasi, Indonesia hanya memiliki pers yang biasa dan tak bisa berbuat banyak. Penonggakan delik pers salah satunya telah ada di Tahun 1966, sebelum diadakan Undang – Undang Pokok Pers 1966, atas permintaan PWI, diadakan suatu tanggapan mengenai “kemerdekaan pers dan fungsinya dalam membina Orde Baru “ yang sekarang muncul pers yang bebas dan bertanggung jawab.

Adanya emokrasi setelah runtuhnya Orde Baru memenjadi bagian kebebasan pada pers di Indonesia setelah sekian lama terkungkung dan ketakutan akan pembredelan. Kemudian pemerintah Indonesia mengesahkanUU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Kebebasan pers mendapatkan legitimasi setelah disahkannya dua undang-undang tersebut. Ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 2 UU No.40 Tahun 1999, “tidak lagi diperbolehkan adanya pembredelan, penyensoran, dan pelarangan terhadap media. Dan ini menjadikan banyak media menjamur setelah masa reformasi, seperti orang yang sedang menghirup udara bebas sebanyak-banyaknya karena telah tersesak sekian lama. Namun yang menjadi pertanyaan apakah jaminan kebebasan pers di Indonesia menjadi lebih baik? Fakta di lapangan menunjukan buruknya jaminan terhadap kebebasan pers di Indonesia.Jaminan kebebasan pers tak bisa penuh diberikan, karena terdapat delik pers di dalam KUHP maupun undang-undang. Dengan begitu, maka setiap orang dapat melaporkan pers atas tindak pidana yang dilakukannya.

Esensi dari kebebasan pers atau pers bebas adalah tidak diperkenankannya langkah ataupun tindakan preventif dalam kehidupan hukum. Larangan sensor, pembredelan pers adalah beberapa hal terkait bebas pers. Fakta dalam pidana pers (delik pers) disamping larangan preventif, ada pula peraturan pidana sebagai repressive justitial terhadap pers yang disebut-sebut sebagai penciptaan delik - delik pers yang dapat menghadapkan pers pada hakim pidana, apabila ada penggaran terhadap aturan-aturan pidana tersebut.

Pada tingkat ketentuan pemakaian delik pers, haruslah yang berkaitan dengan publik atau pidana yang dilakukan pers di muka umum, sehingga tidak ada masalah pribadi yang dijadikan objek pemidanaan yang terdapat pada pasal 154 dan 156 KUHP beserta “delik”, penyiarannya dalam pasal 155 dan 157 KUHP ).

Dalam sebuah berita berjudul “Kemerdekaan Pers Terancam” yang diterbitkan harian KOMPAS yang terbit tanggal 29 Mei 2011, terdapat bagan kasus-kasus yang menjerat pers dan diberi nama bagan “ranjau” kebebasan pers. Setidaknya ada 6 kasus yang di angkat dalam bagan sejak 2003.

Media Tergugat

Kasus

Harian Kompas

Gugatan pencemaran nama baik Marimutu Sinivasan terkait pemberitaan sejak tahun 1999 hingga April 2003

Majalah Tempo

Pimpinan redaksi dan dua wartawan Majalah Tempo

Gugatan pencemaran nama baik pengusaha Tommy Winata Terkait Pemberitaan di Majalah Tempo terbitan 3-9 Maret 2003 yang berjudul “Ada Tommy di Tanabang?”

Jupriadi Asmaradana, Wartawan Metro TV

Gugatan POLDA Sulawesi Selatan dan Barat Sisno Adiwinoto atas pemberitaan yang dinilai memfitnah

Majalah Tempo

Gugatan pencemaran nama baik Asian Agri Group terkait pemberitaan tentang penggelapan pajak yang dimuat edisi 47/XXXV tanggal 15 – 21 Januari 2007

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun