Draf terbaru RKUHP yang pada tanggal 6 Desember kemarin disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai banyak kontroversi di berbagai lapisan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masih banyak ditemukannya pasal yang dianggap karet dan justru mengkerdilkan peran rakyat sebagai agen kontrol setiap kebijakan publik.Â
Salah satu tanggapan dari Divitri Susanti selaku pakar Hukum Tata Negara, beliau menyampaikan bahwa "Perjalanan RKUHP ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, terburu-buru dan minim keterlibatan publik di dalamnya. Divitri juga menambahkan bahwa terjadi simpang siur informasi mengenai draf terbaru yang dipublikasikan, sehingga banyak lapisan masyarakat yang bias akan informasi lebih lanjut terkait dengan perkembangan perubahan nya." Apa yang disampaikan oleh Divitri bukan omong kosong belaka, DPR selalu tertutup dengan sidang yang hanya dilakukan semalam suntuk, merancang atas dasar kepentingan kelompok tanpa mengadopsi kepentingan-kepentingan negara yang majemuk.
Ada beberapa pasal dalam draf terbaru RKUHP yang dalam hal ini masih menyudutkan masyarakat seperti yang tertera pada pasal 240 ayat 1 yang berisi tentang aturan bagi siapa saja yang menghina pemerintah dan atau lembaga pemerintah maka akan dipidana minimal 1 tahun 6 bulan atau dengan denda kategori II yakni denda 10 juta rupiah.Â
Berangkat dari Undang-Undang pasal 28 UUD NRI 1945 yang kemudian dipertegas oleh pasal 28 E berkenaan dengan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat, maka yng tertera pada pasal 240 ayat 1 tersebut bertolak belakang dengan dasar aturan dalam UUD NRI 1945. Hal itu bukan tidak mungkin nantinya kan melemahkan setiap usaha masyarakat dalam mengkritik setiap kebijakan yang diterapkan oleh elite dikarenakan kritik dan penghinaan sulit untuk dibedakan. Selain itu masyarakat dalam hal ini juga akan kehilangan fungsi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara sebab ada aspek yang dibatasi.
Selain pasal karet mengenai penghinaan terhadap pemerintah, isi yang tertuang pada pasal lain yakni pada pasal 408 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang secara terang-terangan menunjukkan, menawarkan, bahkan menuliskan dan atau menujukan kepada anak mengenai alat pencegah kehamilan akan didenda dengan Rp. 1 Juta. Hal tersebut secara tidak langsung juga mengkerdilkan peran dan fungsi bagi setiap orang yang bekerja sebagai mediator dan atau penyuluh kesehatan dan lain sebagainya yang selaras. Sehingga dirasa pasal ini mengarah pada upaya yang setralistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H