Oleh: Lukman Hamarong, Pranata Humas Diskominfo-SP Luwu Utara
Dalam pandangan islam, perbedaan adalah rahmat, sepanjang perbedaan itu berdasarkan dalil dan hukum syariat yang bisa dipertanggungjawabkan. Perbedaan seharusnya tidak dijadikan sebagai ajang perpecahan dan perselisihan. Apalagi sampai menonjolkan diri yang paling benar. Kalau sudah ada yang merasa benar, sudah pasti ada upaya untuk saling menyalahkan.
Sejatinya perbedaan itu harus dijadikan sebagai wahana untuk saling melengkapi, sekaligus saling menghargai, bukan ajang untuk saling menyalahkan dan saling menjatuhkan. Perbedaan itu harusnya makin mempererat persatuan, karena perbedaan sejatinya adalah anugerah dari Allah SWT. Perbedaan adalah kekuatan untuk merajut persatuan, bukan perselisihan.
Nah, Idulfitri tahun ini kembali dirayakan dengan segenap sukacita, setelah sebulan penuh umat muslim ditempa di bulan suci Ramadan. Ibarat "kawah candradimuka", umat muslim ditempa dalam ritual bulan suci untuk memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu. Namun, lagi-lagi umat muslim diperhadapkan pada sebuah persoalan pelik di pengujung Ramadan.
Penentuan 1 Syawal 1444 H kembali berbeda. Pemerintah Indonesia bersama NU menetapkan 1 Syawal 1444 H jatuh pada Sabtu 22 April 2023 melalui metode rukyat atau melihat hilal. Â Sementara Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal sehari sebelumnya, yakni Jumat 21 April 2023, melalui metode hisab atau perhitungan melalui ilmu falak atau ilmu astronomi.
Dua metodologi ini digunakan oleh dua ormas islam terbesar di Indonesia dan pastinya memiliki dasar argumentasi yang jelas atau memiliki dalil yang bisa dipertanggungjawabkan karena keduanya adalah petunjuk dari Al AQur'an dan Hadist. Di mana Al Qur'an memberi petunjuk, dan Hadist memberikan isyarat. Jadi, keduanya adalah metodologi yang diperkenankan.
Ketika dua metodologi yang digunakan ini memiliki hasil penentuan yang berbeda, maka respon kita seharusnya tidak berlebihan menyikapinya dengan mengatakan ini yang benar, itu yang salah. Pun sebaliknya. Sebagai manusia yang diberikan akal untuk berpikir jernih, seharusnya perbedaan itu kita jadikan sebagai wadah diskursus untuk lebih bijak melihat perbedaan.
Beberapa waktu lalu, saya mendengar ceramah ustaz Adi Hidayat. Beliau mengatakan bahwa metode rukyat dan hisab adalah dua metode yang memiliki dalil yang sama-sama kuat. Jadi, untuk apa kita perdebatkan, karena memang metodologi yang digunakan oleh keduanya pada dasarnya adalah untuk menetapkan awal bulan baru, bukan untuk diperselisihkan.
"Intinya, jika ada yang menggunakan rukyat, hormati, karena niatnya tulus ingin mengawali Idulfitri dengan cara Nabi Muhammad SAW. Kalau ada yang menggunakan cara hisab, hormati, karena niatnya pun ingin mempraktekkan isyarat-isyarat dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Dua-duanya ibadah. Pakai hisab ibadah, pakai rukyat ibadah," ucap Adi Hidayat.
Pernyataan ustaz Adi Hidayat ini tentu menyejukkan dan mencerahkan, sekaligus memberikan inspirasi kepada kita semua bahwa sejatinya perbedaan metodologi yang digunakan, baik oleh Muhammadiyah maupun NU, sesungguhnya memiliki dalil yang sama-sama kuat. Lalu, untuk apa kita berdebat kusir, sementara kedua metodologi ini sama-sama diperkenankan.