Esai ini dibuat untuk menyelesaikan tugas mata kuliah landasan pendidikan dengan dosen pengampu  Bapak Drs. Bahruddin, M.Pd. dan Ibu Citra Ashri Maulidina, M.Pd.
Wajib belajar telah ditetapkan pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 6 ayat (1) yang dapat diartikan bahwa berpendidikan adalah wajib hukumnya bagi warga negara Indonesia selama sembilan tahun, yakni dari usia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Dengan adanya kewajiban belajar, diharapkan setiap warga negara dapat menggunakan haknya dalam berpendidikan sebaik mungkin. Namun, nyatanya masih banyak warga negara yang tidak berkesempatan untuk belajar. Putus sekolah adalah terlantarnya siswa dari suatu lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya ialah faktor ekonomi.
      Putus sekolah bukanlah permasalahan baru dalam sejarah pendidikan. Masalah ini telah menjamur dan sulit untuk diselesaikan,karena ketika membicarakan solusi, tidak ada opsi lain selain meningkatkan ekonomi keluarga. Ketika membicarakan mengenai bagaimana memperbaiki sumber daya manusianya. sedangkan semua solusi yang diinginkan tidak terlepas dari kondisi ekonomi nasional secara menyeluruh, sehingga kebijakan dari pemerintah ikut andil dalam mengatasi semua permasalahan termasuk peningkatan kondisi masyarakat.
Menurut Badan Pusat Statistik, sesuai dengan Survey Ekonomi Nasional 2021, (76%) keluarga mengaku bahwa anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. (67,0%) di antaranya tidak dapat membiayai anaknya untuk sekolah, dan sisanya (8,7%) harus mencari nafkah. Berdasarkan survey tersebut, angka yang ditunjukkan sangatlah memprihatinkan, dengan angka sebesar itu dapat ditarik kesimpulan bahwa hanya sebagian kecil bahkan dibawah (25%) keluarga yang anaknya dapat merasakan bangku sekolah.
Berdasarkan undang-undang, pemerintah bertanggung jawab penuh membiayai anak-anak usia sekolah dalam menempuh pendidikan dasar. Dalam UUD 1945 Pasal 31 (2) ditegaskan tentang kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar setiap warga negara. Kita tentu melihat ketidakpatuhan Pemerintah terhadap undang-undang. Jika merujuk pada UUD 1945 Pasal 31 (2), anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa biaya. Lalu muncul pertanyaan, atas dasar apa pihak sekolah sering kali meminta biaya keperluan kepada orang tua siswa. Pentingnya biaya memiliki pengaruh untuk tingkat efisiensi dan efektifitas kegiatan dalam rangka mencapai tujuan. UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional pun menegaskan agar pemerintah menjamin terlaksananya wajib belajar setidaknya pada pendidikan dasar tanpa dipungut biaya.
Salah satu kisah anak yang putus sekolah karena ekonomi ialah Fikhri
Dilansir dari kompas.com (2017). Fikhri Ramadan (13) kelahiran 5 November 2004 adalah seorang anak yang berjualan empek-empek di sekitar parkir Mal Taman Palem, Cengkareng. Ia mengaku tak lagi menempuh pendidikan. Bocah itu mengaku tak ingin lagi meneruskan sekolah karena dirinya pernah tinggal kelas di kelas 5 SD. Ia mengaku bahwa ia malu untuk bersekolah karena pernah mendapat nilai yang rendah dan tidak memiliki biaya untuk sekolah. Padahal, Fikhri duduk di kelas 1 SMP jika masih bersekolah. Fikhri mengaku kini ingin sekali melanjutkan sekolah, namun ia menuturkan bahwa uang hasil dagangannya hanya cukup untuk bantu bantu orang tuanya. Ia menuturkan, saat ini ia tinggal di sebuah rumah kontrakan di Cengkareng dengan Bapak, Ibu dan tiga saudara kandungnya. Ia mengatakan bahwa Bapaknya adalah seorang penjual batu akik, Ibunya tidak bekerja, kakak pertama bekerja sebagai cleaning service, dan kakak kedua masih duduk di kelas 3 SMP.
Menurut saya, ekonomi seharusnya bukanlah menjadi masalah besar apabila pemerintah mau membuka matanya dan sadar akan keterbatasan warga negaranya dalam menempuh pendidikan. Dengan kewajiban berpendidikan yang diwajibkan kepada warga negara, seharusnya pemerintah mau mendukung dan memfasilitasi segala sesuatu yang membatasi warga negaranya dalam berpendidikan. Salah satu wujud kepedulian tersebut adalah diadakannya program Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Jakarta Pintar (bagi warga Jakarta). Meski sudah difasilitasi pemerintah, nyatanya ekonomi masih menjadi alasan banyak anak yang putus sekolah karena program-program tersebut tidaklah sepenuhnya tepat sasaran. Banyak warga yang berkecukupan namun tetap menerima bantuan tersebut, sehingga warga yang benar benar membutuhkan bantuan justru tidak mendapatkan bantuan tersebut. Saran saya, pemerintah dapat memperketat seleksi penerima bantuan, serta melakukan pemantauan bagi penerima-penerima bantuan agar penerima yang berbohong dalam tahap seleksi dapat dihapus namanya dalam daftar penerima.
Daftar Pustaka
Adminplpp. (2022, September 29) fakta pip mampu turunkan angka putus sekolah. Diperoleh dari https://puslapdik.kemdikbud.go.id/fakta-pip-mampu-turunkan-angka-putus-sekolah/
Mujiati, Nasir, Ayu Ashari.(2018). FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB SISWA PUTUS SEKOLAH, Jurnal Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan, (18), 276. https://journal.um-surabaya.ac.id