Selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir bathin, yuk kita kembali ke fitrah
Sering kali kata-kata diatas terucap saat saling mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, Tapi apakah benar bahwa Idul Fitri berarti kembali ke fitrah? mari kita analisa bersama setidaknya dengan dua pendekatan yaitu pendekatan gramatika bahasa Arab dan pendekatan filosofis.
Gramatika bahasa Arab
Kata idul fitri merupakan gabungan dari kata id dan fitri.
Kata id dalam bahasa Arab artinya adalah merayakan, bukan kembali. Lalu, kata apa dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti kembali? Ialah kata “aud” atau “audah”. Meski asal kata atau kata dasarnya sama dengan id, yakni dari huruf 'ain, alif, dan dal, penggunaannya dalam kalimat memiliki makna yang berbeda.
Kata fitri berasal dari bahasa Arab, “al-fithr”, yang artinya berbuka. Kata berbuka di sini merujuk pada aktivitas umat Islam yang berbuka setelah berpuasa seharian. Adapun fitrah dalam pengertian kesucian atau kebersihan dalam bahasa Arabnya juga disebut al-fitrah (dengan ta’ marbuthah)
Dengan demikian, dari sisi gramatika bahasa Arab, frasa ‘idul fitri lebih tepat diartikan dengan “merayakan berbuka”. Bahwa setelah umat Islam berpuasa selama kurang lebih satu bulan, tidak makan dan minum, pada hari Idul Fitri mereka diperbolehkan untuk makan dan minum seperti biasanya.
Filosofis
Fitrah diartikan sebagai sifat asal, kesucian atau keadaan diri yang belum dipengaruhi oleh apa pun, baik pemikiran, ideologi atau apa saja. bisa dikatakan bahwa Tidak akan ada manusia yang benar-benar bisa kembali ke fitrah seperti saat masih bayi.
Tujuan ibadah puasa sendiri sama sekali tidak berbicara tentang manusia yang kembali ke fitrahnya. Ayat yang mewajibkan puasa secara tegas menyebut tujuan puasa adalah “agar kalian bertakwa” (la’allakum tattaqun). Demikian pula di dalam hadits tentang hari id, tidak ada penjelasan tentang fitrah, hal yang selalu ditekankan adalah ketakwaan.
Keyakinan bahwa semua orang yang menjalankan puasa ramadhan, dosanya diampuni dan menjadi suci, sama dengan memastikan bahwa seluruh amal puasa kaum muslimin telah diterima oleh Allah, dan menjadi kaffarah (penghapus) terhadap semua dosa yang mereka lakukan, baik dosa besar maupun dosa kecil. Padahal tidak ada orang yang bisa memastikan hal ini, karena tidak ada satupun makhluk yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah ataukah tidak.