[caption id="attachment_380242" align="aligncenter" width="358" caption="(Foto Dok.Pribadi)"][/caption]
Menyusuri sungai Kayan
Riak-riak kecil mendatangkan isyarat
Perahu-perahu nelayan dan kebiasaan air mengalir
Dapatlah kumaknai sebagai cinta
Atau ukuran seberapa berharganya ini avonturir
Aku tahu di dalam sungai
Mungkin ada ikan-ikan yang mulutnya sakit
Tercemar merkuri. Batu-batu pun ingin berontak
Juga rawa-rawa di sebelah kanan dan rerumpun nipah
Di sebelah kiri. Saling pekik bersahutan dalam angin
dan cuaca
Aku membaca puisi lagi
Seperti membaca ingatan pada pamflet bulan
Di atas sungai Kayan-Mentarang
Bulan yang tampak wajahnya pada malam-malam
Bosankah ia duduk-duduk sambil menggerutu waktu?
Aku hanya membaca kata-kata dari manusia
Yang rindu-cemburu, katanya
Asal kau tahu, kata-kata rindu-cemburu merasuk sampai subuh
Sampai setiap kabut menyentuh kalbu
Menggetarkan segala nyala, jadi hidup lagi pucuk ini
Dari yang asalnya pun akar-akar mati
Aku membaca sungai Kayan
Hingga kutemukan puisi tak pergi
Dan cintaku di pulau ini
Adalah ujung kesimpulan perahu
tambatan jiwaku pada titik temu:
Cintaku tertuju, tertanam di Apo Kayan
In, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H