Mohon tunggu...
LUKMAN AL HAKIM
LUKMAN AL HAKIM Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Semester 4 UIN Sunan Ampel Surabata

suka membaca buku, tertarik dengan isu sosial konflik, dan mencintai perdamaian dan menjunjung tinggi kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerakan Ekopopulasi Samin Melawan Perusahaan Semen (di Film Samin Vs Semen)

29 Juni 2023   17:17 Diperbarui: 29 Juni 2023   17:19 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Film Samin Vs Semen

Film dokumenter Samin vs Semen merupakan film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono yang juga sebagai founder wathdoc.co.id. Film Samin vs Semen berlatarbelakang di tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Pati dan Rembang, Jawa Tengah, serta di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Film ini berdurasi 39 menit 26 detik menampilkan bentuk gerakan penolakan masyarakat sekitar Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah terhadap pembangunan pabrik semen terbesar di Indonesia yaitu Semen Gresik dan Indocement Group. Penolakan ini diprakarsai oleh masyarakat Samin yang biasa dikenal dengan sebutan Sedulur Sikep.

Dalam hal ini, film dan realita masyarakat memiliki hubungan yang linear yang artinya, film selalu mempengaruhi masyarakat dan membentuk masyarakat tersebut berdasarkan pesan yang tersirat maupun tersurat didalamnya. Didalam penolakan samin memicu konflik karena upaya penjagaan dan pengawasan dari apparat di sekitar area pembangunan pabrik tersebut. Disini suku samin mengumpulkan masa untuk menyuarakan kebebasan berekspresi guna mempertahankan tanah mereka. Artikel ini menggambarkan perlawanan suku samin dalam Gerakan ekopopulasi guna menggagalkan perusakan alam yang mengancam profesi Mereka sebagai petani.

Ideologi Suku Samin

Suku Samin merupakan salah satu Suku yang masih bertahan dengan tetap memegang kearifan lokal secara turun-temurun. Suku Samin menyebut kelompok mereka dengan sebutan sedulur sikep. Sikep memiliki dua makna: sikep (sikap) yang berarti bakohing kalbu yaitu keteguhan hati atau kekuatan penentu diri, yang kedua sikep (memeluk) yang berarti persatuan hati. Sedulur sikep memilki arti sedulur atau wong sikep yang memiliki makna saudara atau orang bertabiat baik serta jujur. Nilai -nilai kearifan lokal yang dimiliki kelompok sedulur sikep yaitu rukun dan sumeleh, memberi teladan sikap baik, memiliki prinsip harapan hidup, prinsip dalam berinteraksi, pantang untuk memfitnah, pantang mencuri, dan berpegangan pada ajaran sikep.

Suku Samin dengan ajaran sedulur sikep atau wong sikep adalah kelompok masyarakat yang mempercayai dan menganut ajaran dari pemimpin suku Samin yaitu Samin Surosentiko. Kata Samin sendiri berarti sami-sami amin. Ajaran Saminisme bermula dari kegelisahan Raden Surowijoyo yang tidak menyukai perilaku pemerintah Kolonial Belanda sebagai penjajah. Raden Surowijoyo kemudian melakukan sebuah gerakan moral dengan mengubah nama menjadi Samin (Sami-sami Amin yang berarti sama rata, sama sejahtera). Perubahan nama inimencerminkan beliau sebagai wong cilik, dan dikemudian hari beliau terkenal dengan julukkan sebagai Samin Sepuh atau tetua adat dari masyarakat Samin. Saminisme sebenarnya merupakan sebuah paham dari sejarah perlawanan terhadap kekuasaan Kolonial Belanda yang telah diubah menjadi deskripsi kebudayaan. Perlawanan terhadap Belanda dengan cara halus inilah yang dipakai oleh masyarakat Samin yaitu dengan menyebut mereka dengan sebutan sedulur sikep, hal ini menghapus anggapan buruk sebutan Samin di kalangan masyarakat yang belum mengetahui artinya, sedangkan sedulur sikep berasal dari kata sedulur atau wong yang berarti saudara atau orang sikep yang berarti tabiat atau watak yang jujur, baik, sehingga sedulur sikep berarti masyarakat atau saudara yang bertabiat baik serta jujur

Suku Samin tidak menyukai pendidikan formal atau sekolah formal, di mana hal ini sering dianggap tidak lazim dalam pandangan masyarakat di luar warga Samin, apalagi di tengah kondisi seperti sekarang ini tidak menyekolahkan anak melalui lembaga formal adalah suatu hal yang aneh. Padahal menurut paham masyarakat Samin tidak menyukai pendidikan formal karena adanya kekhawatiran jika mendidik anak atau menyekolahkan anak pada pendidikan formal, maka anak akan belajar budaya lain dan meninggalkan komunitasnya atau masyarakatnya sehingga mengurangi kemurnian ajaran sedulur sikep. Mayoritas suku ini adalah petani yang mana mereka menganggap bahwa tanah adalah aset yang paling berharga. Dimana tanah bisa diturunkan kepada anak cucu mereka. Yang mana artinya pantang bagi mereka berprofesi selain mereka seperti berdagang, pekerja pabrik, maupun kantor. Tetapi mereka mengklaim bahwa dengan tidak menyelam ke Pendidikan formal dan tetap melestarikan budaya mereka dengan tetap Bertani ekonomi mereka tetap stabil dan bahkan mereka menganggap bahwa mereka sudah sejahtera. Tanpa pembangunan dari pemerintah pun asset mereka sudah cukup untuk makan sehari-hari. Hal inilah yang mendasari mereka tidak mau ada pembangunan semen diwilayah mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun