Momentum berakhirnya bulan Ramadhan disambut dengan meriah para pemudik. Seakan-akan hal ini sudah menjadi ritual wajib tahunan yang tak terhindarkan. Arus pemudik pun semakin padat, utamanya jalur jawa-sumatera.
Satu bagian yang menarik dari hilir-mudiknya para pemudik adanya pengguna sepeda motor yang kian bertambah. Meski angka musibah kendaraan roda dua pada saat mudik meningkat hal ini sepertinya tidak menimbulkan jera. Dan ini patut menjadi bahan pemikiran bagi kita semua, terutama pemerintah.
Beberapa kali saya pun mencoba menyempatkan menyimak tayangan info jalur mudik hingga pembahasan khusus tentang pemudik motor. Sebagian diantara nara sumber seolah-olah lebih menitik beratkan kesalahan yang menyebabkan musibah kendaraan roda dua pada para pemudik. Secara teknik bisa jadi kesalahan itu pada pemudik. Namun barangkali kita bisa mencari titik temu yang bijak mengenai hal ini.
Pertama, Berat di Ongkos (BO). Hal ini tidak bisa kita nafikan. Pemerintah belum bisa mengendalikan harga tiket transportasi secara merata. Bahkan di beberapa daerah meski pemerintah daerah setempat menyatakan tidak ada kenaikan tuslah, tetapi kenyataan di lapangan harga tiket naik meroket tajam. Daripada menuruti nafsu para preman tiket bisa jadi mudik motor akan terus menjadi alternative terbaik bagi masyarakat kita.
Kedua, tidak adanya kekuatan pemerintah dalam mengatur harga tiket. Harga tiket di saat mudik lebaran bisa jadi dinaikkan dengan semena-mena. Ada atau tidaknya kebijakan tuslah tidak berlaku harga tetap melambung. Dan nahasnya, meski harga meroket naik tetap tidak sebanding dengan kualitas layanan yang sangat jauh dari harga yang dipatok. Dan ini tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Oleh karena itu mari kita sama-sama mendudukkan masalah ini dalam porsi yang bijaksana. Para pengamat arus mudik, entah itu dari kalangan pemerintah atau pengamat lepas jangan terburu-buru menyalahkan warga pemudik. Penghasilan masyarakat kita masih pas-pasan. Jika harus menuruti nafsu para preman tiket tentu mereka tidak akan punya uang lagi untuk balik ke tempatnya semula. Bisa mudik ga bisa balik. Apalagi jika berada di sarana transportasi masal kelas ekonomi, kondisi berjejal, buang air pun harus ditahan. Resikonya, kesehatan jadi tergadaikan.
Demikian, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H