Jogjakarta dikenal sebagai kota Pelajar, kota Budaya, kota Gudek dengan sejuta inspirasi yang menjadikan semua orang gampang betah di tanah Kerajaan Mataram tersebut. Hal ini dikarenakan penularan sifat Sultan yang berkuasa di Mataram yaitu Sultan Hamengkubuono yang terbuka kepada rakyat asli maupun pendatang.
Bukti adanya keterbukaan itu adalah dengan dibebaskannya semua warga Jogja menempati daerah komplek kraton untuk dijadikan pemukiman penduduk. Dapat dilihat bahwa Taman Sari yang menjadi tempat pemandian raja-raja Mataram hingga sekarang beberapa menjadi kawasan pemukiman penduduk dan banyak dari rumah penduduk yang menyatu dengan tembok pemandian.
Bukti lainnya adalah memberikan keleluasaan kepada masyarakat pendatang dalam mengekspresikan seni, budaya, ekonomi, sosial dan apa saja yang menyangkut hidup di Indonesia sehingga banyak karakteristik yang tercipta karnanya.
Segala kegiatan masyarakat di Jogja tidak seutuhnya berasal dari Jogja sendiri, banyak pula dari pendatang yang mengindahkan Jogja dengan ekspresi di bidang yang dikuasainya. Bahkan tak sedikit pemuda luar Jogja ikut mengharumkan nama Jogja di kanca Internasional, hingga Pemda Jogja tak tanggung-tanggung untuk membiayai pembelajaran dari anak daerah lain. Hal ini merupakan komitmen Jogja dalam membangun karakter Bangsa Indonesia. Meskipun memiliki otonomi sendiri, namun memiliki keterbukaan yang sangat diperlukan oleh masyarakat luas.
Terkenalnya orang Indonesia secara Internasional karena orangnya ramah. Pada saat Candi Borobudur masih dalam 7 keajaiban dunia, salah satu penilaian faktornya adalah unggah-ungguh yang baik. Sejalan dengan perkembangan jaman yang serba mahal, orangpun harus memenuhi kebutuhan tersebut. Candi Borobudur banyak pedagang kerajinan, awal bermunculannya menjadi konsep baru untuk mencari nafkah yang sesuai. Karena banyaknya pedagang yang bermunculan timbulah persaingan hingga menjadikan persaingan yang kadang mengganggu pengunjung saat masih berjalan-jalan di objek wisata. Hal inilah yang menjadi image orang Indonesia cacat. Padahal Indonesia dikenal karena keramahannya.
Pemimpinan yang tengah berjalan di Senayan, sepertinya tidak jauh dari cerita Borobudur di atas. Foto saat di surat suara pemilihan tampak jelas murah senyum, tegas, berwibawa, dapat dipercaya, keterbukaan, dsb. Kini mereka seakan bungkam dengan foto dan janjinya masing-masing. Banyak keputusan yang tidak tepat hingga masyarakat menelan ludahnya sendiri dikarenakan harapan yang besar sirna. Bahkan banyak putusan yang hanya berfungsi untuk para pemimpin saja.
Masyarakat butuh sosok pemimpin yang dekat, yang mau melihat, mendengar, dan berbicara untuk melakukan keputusan yang tepat. Jogja sebagai kota yang memiliki keterbukaan dan Solo yang menginspirasi yang juga merupakan satu darah dengan Mataram pilihan yang tepat sebagai sistem perbaikan moral bangsa. Karena keduanya telah terbukti dapat bersama rakyat untuk maju bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H