Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dari ketiadaan itu, kita menemukan sepenggal harapan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Saling Tulang Saling Totang Ke’ Saling Tulung (ST3)

16 Januari 2015   01:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:03 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sepertinya semangat baru dari kabinet kerja Jokowi-JK mengingatkanku pada philosofis dasar-dasar atau tagline kampung halaman di desaku, desa Rempung ‘saling tulang saling totang ke’ saling tulung’. Tapi tentu saja tulisan ini tidak akan menjelaskan secara melebar tentang kabinet Kerja model Jokowi-JK. Tulisan ini lebih khusus ditujukan kepada khalayak secara umum tentang prinsif-prinsip kebersamaan Sebuah semangat kebersamaan dalam setiap setiap kondisi apa pun. Jika secara leksikon kata-kata tersebut diterjemahkan menjadi: saling tulang artinya saling lihat, melihat dengan mata telanjang; saling totang artinya saling mengingatkan; dan saling tulung artinya saling tolong menolong. Tanpa memerlukan penjelasan panjang, orang akan menangkap makna yang dibalik kata-kata tersebut.

ST3 Sebuah Tradisi Luhur

Sebagai makhluk sosial, seseorang tidak akan pernah melupakan manusia lain dalam kehidupan pribadinya. Bantuan dan pertolongan orang lain menjadi keniscayaan. Entah itu orang-orang terdekatnya, ibu, bapak, kakak atau sanak famili atau pun orang yang bukan hubungan kekeluargaan. Sebagai pribadi misalnya, masalah-masalah privasi pun terkadang menjadi konsumsi orang tertentu yang dianggap paling dekat yang dapat memahami dirinya dan ia yakini dengan berbagi dengannya akan merasakan ketenangan, kenyamanan mesti itu tidak ditemukan jalan penyelesaian (curhatan). Pada intinya, orang lain akan menjadi kepastian yang hidup dalam menghadapi ujian kehidupan.

Saling tulang/saling tele’ (saling lihat) dapat dikatan bagian dari kegiatan fisik karena melibatkan indra penglihatan untuk melihat kondisi saudara atau orang lain. Memang terlihat lebih pada kegiatan fisik, tetapi secara philosofis saling tulang/saling tele’ merupakan langkah awal untuk menumpahkan kepedulian sosial. Dimensi sosialnya terlihat pada misalanya pada seseorang untuk mengerti bagaimana orang lain; satu sama lain dapat memahami kehidupan tetangganya, memahami kekurangannya dan mau berbagi (saling tulung) terhadap keluarga/tetangga yang kehidupannya dalam kondisi ‘kekurangan’. Dengan memerhatikan tradisi saling tele’ akan terciptalah lingkungan yang sehat, tidak yang kaya dengan kekayaan sendiri, tidak ada seseorang ketika sakit tidak bisa berobat atau kebutuhan untuk makan masih dapat saling memberi. Hidup dalam suasana saling ‘pengertian’ dan sangat simpatik.

Saling Totang sebagai rasa kepedulian yang sangat mendalam dari seseorang untuk mengingat dan mengingatkan siapa pun yang telah berkenal dengan diri kita. Totang untuk nama-nama keluarga. Totang untuk kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan kepada kita. Totang untuk orang-orang sedang dalam keadaan lupa diri untuk diingatkan. Totang untuk islah bagi mereka yang terpecah. Totang dalam setiap pristiwa dan kejadian masa lalu dan masa sekarang. Dengan saling totang akan terjauh dari sifat dengki dan cela, jauh dari perpecahan dan permusuhan, dan tentu saja akan mendatangkan kenyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi saling totang bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan saling totang adalah proses untuk mengingat hal-hal yang baik dari diri seseorang dan melupakan keburukan yang telah dilakukan. Masa lalu dan masa kini adalah pristiwa yang seyogyanya menjadi muara kebaikan yang hidup ditengah masyarakat.

Seperti hal saling tulang dan saling totang, saling tulung sebagai dimensi kepekaan sosial dan tingkat religiusitas seseorang. Agama menyebutkan dengan istilah ‘taawuun’: tolong menolong. Sifat saling tulung/taawuun ini sebagai tingkatan ke tiga setelah seseorang saling mengenal (taaruf), dan saling memahami (tafahum). Pada praktiknya, sifat ini semakin tergerus khususnya di kota-kota besar (metropolitan). Sifat individualis membuat seseorang enggan dan saling menjauhi, kurangnya komunikasi yang pada akhirnya serba individu. Kegiatan-kegiatan yang seharusnya terselesaikan secara bermasyarakat menjadi kepentingan diri sendiri. Pada akhirnya, dasar-dasar philosofis ‘saling tulang saling totang & saling tulung’ mudahan terus terjelmakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara [Maman Abdullah [02/11/2014].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun