Kehidupan akhirat merupakan salah satu inti utama ajaran Islam, yang mencakup keyakinan terhadap hari kebangkitan, pengadilan terakhir, dan pembalasan berdasarkan amal manusia. Dalam ilmu kalam, kehidupan akhirat dipandang sebagai bagian integral dari diskusi teologis tentang keesaan Tuhan, keadilan ilahi, dan tanggung jawab manusia. Namun, pendekatan terhadap konsep ini berbeda antara mazhab Sunni dan Mu'tazilah. Sunni menekankan kepastian wahyu dan takdir Tuhan, sedangkan Mu'tazilah mengedepankan kebebasan manusia dan prinsip keadilan.
Perspektif Sunni terhadap Kehidupan Akhirat
Dalam pandangan Sunni, kehidupan akhirat adalah realitas yang mutlak, berlandaskan dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis. Perspektif ini menggambarkan kehidupan akhirat sebagai tempat pembalasan yang pasti. Surga adalah anugerah Allah bagi orang yang beriman dan beramal saleh, sedangkan neraka menjadi balasan bagi mereka yang kufur dan bermaksiat.
Sunni mengacu pada sejumlah ayat Al-Qur'an, seperti Surah Al-Zalzalah (99:6-8), yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik kecil maupun besar, akan diperhitungkan. Hadis-hadis juga mempertegas sifat kekal surga dan neraka. Misalnya, hadis sahih menggambarkan surga sebagai tempat penuh kenikmatan, dengan sungai-sungai dan pohon-pohon yang abadi, sedangkan neraka penuh dengan siksaan bagi mereka yang mendustakan Tuhan.
Pandangan Sunni sangat dipengaruhi oleh konsep takdir (qadar). Mereka percaya bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, termasuk nasib manusia di akhirat, tanpa menghilangkan tanggung jawab individu atas amalnya. Konsep ini sering kali dirangkum dalam istilah kasb, yang berarti bahwa manusia memiliki kebebasan terbatas untuk bertindak, tetapi hasil akhir tetap berada dalam kehendak Tuhan. Dengan demikian, Sunni mencoba menyeimbangkan antara kebebasan manusia dan kekuasaan mutlak Tuhan.
Pendekatan Rasionalis Mu'tazilah
Sebagai mazhab rasionalis dalam Islam, Mu'tazilah mendasarkan pandangan mereka pada prinsip kebebasan kehendak manusia dan keadilan Tuhan. Dalam teologi Mu'tazilah, manusia bertanggung jawab penuh atas perbuatannya, karena Tuhan tidak akan bertindak tidak adil dengan menghukum seseorang tanpa alasan yang sah.
Konsep keadilan (al-'Adl) menjadi landasan utama dalam pemikiran Mu'tazilah tentang kehidupan akhirat. Mereka menolak gagasan takdir absolut yang mendahului kebebasan manusia. Bagi mereka, kebebasan manusia adalah syarat mutlak untuk menjustifikasi keadilan Tuhan. Jika manusia tidak bebas, maka penghukuman atau ganjaran di akhirat menjadi tidak adil, karena manusia tidak memiliki kontrol atas tindakannya.
Mu'tazilah juga memanfaatkan logika untuk mendukung pandangan mereka. Mereka menggunakan analogi moral untuk menunjukkan bahwa Tuhan yang Maha Adil tidak mungkin bersikap zalim. Surga dan neraka, dalam pandangan mereka, adalah hasil alami dari pilihan manusia, bukan sesuatu yang dipaksakan oleh takdir ilahi.
Perbandingan Perspektif Sunni dan Mu'tazilah
Hubungan Takdir dan Kebebasan