Shell Eco-marathon Asia 2012
Berlomba Jadi yang Teririt dan Ramah Lingkungan
Berakhir sudah kompetisi internasional Shell Eco-marathon (SEM) Asia 2012. Selama tiga hari, 4-7 Juli, 119 tim pelajar dan mahasiswa dari 18 negara beradu kreativitas memodifikasi bodi dan mesin mobil menjadi yang paling hemat energi dan ramah lingkungan. Kerja keras tim Indonesia tidak sia-sia. Lima penghargaan berhasil dibawa pulang, masing-masing tropi dan 2.000 dollar AS untuk juara I dan 1.000 dollar AS untuk juara II.
Oleh : Luki Aulia
"Indonesia! Indonesia! Indonesia!" Teriakan dan tepuk tangan para peserta dari Indonesia terus terdengar seiring dengan dipanggilnya nama-nama tim yang menang, Sabtu (7/7) malam, di sirkuit internasional Sepang, Malaysia. Dengan semangat, semua anggota tim bergantian lari menuju panggung sambil membawa bendera Merah Putih.
Secara beruntun dipanggil tim Cikal Cakrasvarna dari Institut Teknologi Bandung (juara I kategori UrbanConcept bahan bakar bensin), tim ITS 2 (juara I UrbanConcept biodiesel), tim Cikal Cakrawala dari ITB (juara II UrbanConcept mobil listrik baterai litium), tim Sadewa dari Universitas Indonesia (juara II UrbanConcept bensin), dan tim Cikal Diesel dari ITB (juara II Urban Concept biodiesel). Dari tujuh jenis bahan bakar di UrbanConcept, lima diantaranya dikuasai Indonesia yang unggul di bahan bakar bensin dan biodiesel.
Untuk catatan jarak tempuh dan pemakaian bahan bakar, tim Cikal Cakrasvarna bisa mencapai jarak tempuh terjauh yakni 196,3 kilometer untuk satu liter bensin. Adapun untuk tim ITS 2 (166,9 kilometer per liter biodiesel), tim Sadewa (152,3 kilometer per liter bensin), tim Cikal Diesel (149,1 kilometer per liter biodiesel), dan tim Cikal Cakrawala (74,9 kilometer per kWh). Kategori yang diikuti tim Cikal Cakrawala yakni E-Mobility dengan baterai litium baru ada tahun ini.
Ketua tim Cikal Cakrawala Purwindro Setianto Tjokrodipo mengatakan perhitungan pemakaian energi di mobil listrik lebih rumit karena baterai litium 400 volt hanya bisa tahan sekitar dua jam. Untuk menghemat energi, beban dan gesekan mobil harus dikurangi. Bagian-bagian yang tidak penting harus dibuang agar lebih ringan tanpa mengurangi faktor keselamatan.
"Semua harus dihitung dulu. Kondisi track, seberapa panjang tanjakan dan turunannya. Harus tahu kapan dan dimana harus matikan mesin. Cara nyetir dan ngerem juga menentukan. Pengemudi harus sabar karena waktunya 28 menit untuk empat putaran, masing-masing putaran waktunya tujuh menit," kata Purwindro yang tahun lalu ikut membangun UrbanConcept bensin itu.
Empat dari lima penghargaan masuk dalam kategori UrbanConcept. Di kategori ini peserta harus merancangbangun mobil roda empat yang ekonomis dan mirip mobil berpenumpang jenis city car yang ada saat ini. Karena jago di bensin dan biodiesel juga baterai litium meski di tempat kedua, artinya kita sebenarnya mampu memroduksi mobil hemat energi secara massal.
"Tim Indonesia dari segi bentuk desain lebih bagus dan artistik. Ketat persaingan di bensin karena pesertanya banyak terutama di kategori Prototipe (kendaraan futuristik dengan bentuk aerodinamis) yang lebih diminati. Spesifikasi UrbanConcept lebih sulit karena harus bisa seperti mobil sungguhan. Mereka harus bisa jalan di saat hujan sehingga peserta harus pasang wiper dan ban khusus," kata Direktur Teknik SEM Eropa, Amerika Serikat, dan Asia Colin Chin Mun Hau.
Mesin mati
Setiap tim mendapat kesempatan turun ke sirkuit lima kali. Setiap kesempatan harus menyelesaikan empat putaran. Untuk UrbanConcept, setiap mobil harus berhenti di pit stop tiga kali masing-masing selama 10 detik. Batasan waktu yang ditetapkan 28 menit untuk UrbanConcept dan 23 menit untuk Prototipe. Upaya itu tidak selalu berhasil. Ada yang catatan perolehan jarak tempuhnya bertambah tetapi ada pula yang gagal karena mesin mati di tengah jalan.
Setelah menyelesaikan kesempatan keempat untuk turun berlaga di sirkuit, tim teknis Sadewa bergegas mendorong mobil kreasi mereka, Kalabia Evo-2, ke garasi untuk kembali diutak-atik. Mesin mobil UrbanConcept bensin itu sempat mati di tanjakan dengan kemiringan 20-30 derajat. Insiden ini juga terjadi pada kesempatan ketiga. Penyebabnya, sistem transmisi rasio tunggal atau satu percepatan yang mereka gunakan.
"Kami tidak menduga tanjakannya setinggi itu. Ini risiko pakai single ratio yang lebih optimal di kondisi jalan yang datar. Perhitungan kami, untuk kecepatan rendah bisa pakai single ratio. Ternyata kami salah. Bisa menanjak tapi berat sekali. Padahal kami sudah pakai dua busi dan mesin injeksi," kata Ketua tim Sadewa Fitra Didik Nugroho yang juga mahasiswa semester delapan jurusan Teknik Mesin UI itu.
Pengalaman mesin mati juga dialami tim-tim lain termasuk tim ITS kategori prototipe bensin dengan nama mobil Sapu Angin 6. Mobil bermesin "Paijo 3" itu juga sempat mati mesin saat berada di tanjakan yang sama. Tidak bisa menyelesaikan empat putaran selama 28 menit dengan sempurna, mesin 65 cc itu segera diutak-atik lagi oleh tujuh anggota tim yang mayoritas semester delapan di Teknik Mesin dan Desain Produksi itu.
"Ada masalah pada ketahanan mesin terutama di track Sepang ini ada tanjakan yang cukup tinggi dan panjang," kata Wawan Aries Widodo, dosen pembimbing Sapu Angin 6 dari jurusan Mekanika Fluida itu.
Mobil yang mulai dibangun sejak tahun lalu itu merupakan pengembangan model tahun lalu yang berat tanpa pengemudi masih 50-52 kilogram. Kini beratnya tinggal 42 kilogram karena menggunakan bahan serat karbon dan aluminium honeycomb yang digunakan untuk bodi pesawat sehingga harganya mencapai Rp 300 juta. Desainnya aerodinamis tanpa lekukan yang bisa menambah daya hambat dari angin.
Selain modifikasi mesin, tim juga memakai sistem injeksi bahan bakar produksi ITS bernama "iQutech-e". "Kalau dalam bahasa Surabaya artinya iki utek-e (ini otaknya). Nama mesinnya juga Paijo Evolution PEX-03," kata Ketua tim ITS untuk Sapu Angin 6 Hudha Rencana.
Lupa waktu
Merancangbangun mobil paling irit membuat para peserta penasaran. Proses pengerjaan di bengkel kampus sering membuat mereka lupa waktu. Seperti diceritakan Ketua tim Nakoela Fariz Muriyadi saat ia dan timnya membangun prototipe bensin bernama Keris V.3. Proses yang memakan waktu lama justru di bagian bodi dan roda. Urusan mesin lebih mudah karena dimodifikasi dari mesin 110 cc. "Kami sudah habis tiga mesin untuk dimodifikasi," cerita Fariz sambil tertawa ketika sedang mengantrikan mobil untuk turun di sirkuit.
Bagian mengasyikkan yang juga membuat lupa waktu adalah mencari sponsor untuk membiayai proyek. Ini menjadi tugas tim nonteknis. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang menjadi anggota nonteknis tim Semar (prototipe gas) Bagus Luthfi dan teman-temannya harus mendapat sponsor untuk membiayai pembuatan mobil sekitar Rp 45-50 juta, di luar biaya riset.
"Setelah kuliah, teman-teman langsung kerja di bengkel dan kami mencari dananya. Semua calon sponsor kami datangi dan presentasi tentang proyek ini. Kami selalu optimis dapat. Universitas juga membantu," kata Bagus.
Bagi Colin selama tiga tahun penyelenggaraan di Asia, kualitas desain, bodi, dan mesin meningkat. Para peserta juga makin kreatif dan tertantang untuk berpindah jenis bahan bakar, dari yang semula bensin ke biodiesel atau tadinya memakai karburator kini memakai sistem injeksi. Fenomena ini terjadi bukan hanya di Asia melainkan juga di SEM Amerika (sejak 2007) dan Eropa sejak 1985. "Kita optimis. Mereka bisa diajak untuk ikut memikirkan bagaimana cara berhemat dan ramah lingkungan. Ini tujuan utama kami," ujarnya.
Dosenk Teknik Mekanik ITB ahli Structural Dynamic & Vibration Sangriyadi Setio menilai kompetisi ini mengajarkan mahasiswa tentang efisiensi energi. Selama proses pengerjaannya, mahasiswa juga menemukan inovasi efisiensi yang mereka pelajari dan kembangkan sendiri. Yang barangkali tidak semuanya diperoleh di bangku kuliah. Â "Mereka juga belajar disiplin karena persyaratan yang ketat dari Shell," ujarnya.
Setiap kendaraan harus lolos pemeriksaan fisik kendaraan yang ketat sesuai standar Shell yang menyangkut segi keamanan dan teknis kendaraan. Faktor keamanan ditekankan pada sistem rem dan keamanan pengemudi. Karena faktor keamanan ini pula yang membuat mobil prototipe hidrogen "Antasena 1" milik ITS sama sekali tidak turun ke sirkuit karena kontrol fuel-cell yang overheat.
"Fuel-cell produksi Swiss ini kurang bagus. Padahal harganya mahal, 3.500 euro. Â Pengontrolnya terlalu cepat panas. Kami belum menemukan penyebabnya. Jika dipaksakan keluar, bisa meledak. Apalagi cuacanya sedang sangat terik seperti ini. Tidak apa-apa. Kita akan coba lagi tahun depan," kata Ketua Jurusan Teknik Material ITS Sungging Pinto Wantoro.
Rasa kecewa juga tidak hanya dirasakan tim Antasena 1. Tim Horas dari Universitas Sumatera Utara yang baru pertama kali ikut event ini juga kecewa karena harus pulang dengan tangan hampa. Meski begitu, kata Ketua tim Horas Rio Sembiring, mereka akan coba lagi tahun depan dengan kategori atau jenis bahan bakar yang berbeda. "Kami lolos uji teknis saja sudah senang sekali karena kami baru pertama kali ini ikut. Mungkin tahun depan kita coba bahan bakar diesel. Pesaingnya bukan teman sendiri," ujarnya.
Semangat para pelajar dan mahasiswa untuk berkarya dan berinovasi seperti mereka jangan sampai pudar. Semangat sudah ada. Tinggal kepedulian dan dukungan serius pemerintah dan industri untuk melanjutkan dan mewujudkan inovasi dan impian mereka akan dunia yang lebih baik dengan efisiensi energi dan energi ramah lingkungan. #
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H