Berguru Pada 63 Juta Anak Muda
Remaja merupakan kelompok masyarakat usia produktif yang paling sedikit mendapatkan perhatian dari masyarakat dan program kebijakan dari pemerintah. Mereka bahkan tidak hanya tidak didengarkan "suaranya" tetapi juga tidak dirangkul dan dilibatkan dalam proses pembangunan.
Remaja dan anak muda usia 16-30 tahun tidak menjadi subyek melainkan hanya obyek berbagai program. Padahal periode tahun 2010-2035 Indonesia memperoleh bonus demografi dengan populasi usia produktif terbesar sepanjang sejarah. Jika perhatian masyarakat dan pemerintah tidak segera tertuju pada kelompok usia produktif ini, bukan bonus yang akan diperoleh melainkan bencana demografi.
Hal ini mengemuka dalam diskusi dan pameran "63 Juta Anak Muda, Guru Kita" yang diselenggarakan Yayasan Kampung Halaman bersama Kementerian Pemuda dan Olah Raga RI, serta Ford Foundation, Sabtu (23/2), di Jakarta.
Dalam diskusi, Miss Deaf Indonesia 2012 dan pengajar bahasa isyarat di Solo, Oktaviani Wulansari (21), menyayangkan guru yang tidak bisa memahami kebutuhan dan apa yang dirasakan siswa. Padahal jika saja guru mau mengerti, potensi siswa akan berkembang dan bisa melakukan banyak hal positif. "Selalu berpikir positif dan bekerja keras. Kami pasti bisa," kata Ovek, panggilan akrab Oktaviani, menggunakan bahasa lisan.
Menanggapi Ovek, pengamat pendidikan dari Perguruan Kanisius Romo Baskoro membenarkan banyaknya guru yang tidak mampu mengenali kebutuhan siswa karena kualitas guru yang rendah. Akibatnya, kesempatan belajar menjadi terbatas terutama bagi anak berkebutuhan khusus seperti Ovek. "Remaja harus bersemangat memberdayakan dirinya sendiri. Harus ada kemauan untuk maju. Tentu dengan advokasi pihak-pihak lain," ujarnya.
Diah Ayu (14), pelajar dari Bondowoso, di sesi itu juga menceritakan pengalamannya. Menurutnya, remaja sulit berkembang jika orang tua atau masyarakat masih memiliki pola pikir tradisional. Banyak orang tua di Bondowoso yang memaksa anaknya untuk menikah di usia belia dan tidak mementingkan sekolah. Akibatnya, banyak kasus pernikahan dini di Bondowoso.
"Banyak teman saya sudah dinikahkan. Padahal masih kelas 1 SMP. Orangtuanya pikir yang penting cepat nikah dan kerja di sawah. Tolong orang tua jangan memikirkan egonya sendiri," kata Diah.
Kepala Pusat Kajian Disabilitas Universitas Indonesia Irwanto menilai selama ini remaja dianggap tidak memiliki masalah dan tidak membutuhkan bantuan lagi karena sudah berhasil melewati usia anak-anak. Padahal persoalan remaja justru lebih berat terutama yang terkait dengan kesehatan reproduksi dan gaya hidup.
"Ini tidak dianggap sebagai masalah. Kita harus jujur pada masalah remaja. Mereka ini kelompok masyarakat yang paling sedikit mendapat program dari pemerintah. Pengangguran anak muda sangat banyak dan akan jadi bom waktu," kata Irwanto.
Pekerja anak
Selain pengangguran usia produktif, masalah lain adalah pekerja anak. Banyak remaja terpaksa putus sekolah dan masuk ke lapangan pekerjaan informal karena alasan finansial. Seperti yang dialami Ima, pekerja rumah tangga anak di Kranji, Bekasi. Setelah lulus SMP di Purworejo ia disuruh bekerja menjadi pekerja rumah tangga. Di sela-sela waktu liburnya, Ima melanjutkan sekolah dengan mengikuti paket C. "Saya tetap ingin kuliah dan jadi guru," ujarnya.
Survei BPS tahun 2009 menunjukkan ada sekitar empat juta anak yang bekerja. Sekitar 1,7 juta diantaranya adalah pekerja anak. Dua istilah itu, menurut Staf Nasional untuk Perlindungan Anak dan Pendidikan Organisasi Buruh Internasional (ILO) Dede Shinta, berbeda. Anak yang bekerja sifatnya membantu orang tua dengan tetap bersekolah dan tidak bekerja pada kondisi yang berbahaya.
Adapun untuk pekerja anak, mereka bekerja di kondisi atau lingkungan yang berbahaya dan berusia muda. Untuk mengumpulkan data jumlah pekerja rumah tangga anak, kata Dede, agak susah karena berada di wilayah domestik. Dari data BPS tahun 2009 diperkirakan ada sekitar 216.000 pekerja anak berusia di bawah 18 tahun. "Permintaan akan pekerja rumah tangga anak dari masyarakat rata-rata 16-17 tahun," kata Dede.
Kekuatan
Saat ini Indonesia memiliki 63,2 juta anak muda berusia produktif berusia 16-30 tahun (26,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta jiwa) yang angkanya akan terus bertambah. Proporsi penduduk usia muda produktif diperkirakan pada satu atau dua dekade mendatang akan mencapai 69 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Direktur Kampung Halaman Cicilia Maharani Tunggadewi mengatakan potensi ini seharusnya bisa menjadi kekuatan yang luar biasa. Di beberapa negara yang sudah pernah melewati siklus ini, tingkat ekonomi dan pendapatan perkapitanya meningkat tajam. Hal ini tidak akan terjadi jika Indonesia gagal merangkul anak muda. Pendidikan dan lapangan pekerjaan adalah hal mendasar yang perlu diperbaiki agar anak muda dapat meraih peluang besar itu.
"Apakah mereka sudah dilibatkan? Sudahkah diberi kesempatan dan kepercayaan untuk mengeksplorasi potensi diri?" kata Cicillia.
Ketua Yayasan Kampung Halaman Dian Herdiany menjelaskan sejak tahun 2006, pihaknya bersama beragam rekan mendampingi anak muda Indonesia melalui berbagai program berbasis media komunitas secara partisipatif. Banyak potensi anak muda yang belum mendapat kesempatan untuk "keluar". Mereka lebih sering menjadi obyek daripada subyek kritis yang aktif mencari tahu atau mengeksplorasi suatu hal. Padahal merekalah yang akan berperan aktif mengisi bonus demografi Indonesia.
"Jika tidak dimulai sekarang, akan jadi bencana demografi. Kami mempercayai remaja adalah anggota terpenting yang dapat menjamin keberhasilan proses regenerasi pengetahuan dan transformasi sosial di masyarakat," kata Dian. (LUK)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H