Mohon tunggu...
Luqman Abdul Chalik
Luqman Abdul Chalik Mohon Tunggu... -

Saya tertarik semua yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaum Vertikalis dalam Agama

9 Mei 2011   01:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kaum Vertikalis memandang Tuhan itu sebuah “apa”, sebuah “ada”, bahkan “Ada” tertinggi. Artinya tuhan itu sudah jelas ada sejak dahulu kala, lepas dari peredaran ruang dan waktu. Tuhan itu di atas dan juga di luar manusia. Menurut Van Peursen, sikap seperti ini disebut sikap ontologis, artinya manusia mengambil jarak terhadap sesuatu yang mengitarinya. Ia bertindak sebagai penonton dan pengamat terhadap yang ada di sekitarnya, terhadap hidupnya sendiri, dan terhadap Tuhan.
Karena keberadaan “Ada” itu sempurna dan “maha”, maka mereka berusaha menyandarkan segala sesuatu kepada “Ada” tersebut. Mereka juga beranggapan bahwa “Ada” atau sebutlah Tuhan, senang dipuja-puji dan dikasih sesajen dengan dzikir dan wirid baik bersama maupun sendirian. Meskipun demikian, ada jarak antara manusia dan Tuhan. Oleh karena itu, untuk mendekati-Nya diperlukan kesucian karena Tuhan hanya menyukai yang suci. Hubungan dengan Tuhan pun harus diatur melalui tatacara religi yang ditetapkan. Maka bagi kaum vertikalis, pelatihan  manasik haji lebih diminati ketimbang mengikuti pelatihan pemberdayaan UKM misalnya. Mesjid dan gereja  mereka dipadati dengan kajian-kajian tatacara upacara  dan pemujaan.
Urusan yang menjadi perhatian kaum vertikalis adalah kebersihan jiwa. Hindari piktor (pikiran kotor). Mereka juga senang dengan candu (istilah Karl Max) yakni surga dan para bidadarinya dan menjauhi neraka beserta setan-setan penghuninya. Yang miskin dari kelompok ini akan terpuruk di sudut-sudut masjid sebagai penjaga setia rumah Tuhan (di Jawa Barat disebut marbot masjid). Sedangkan yang berduitnya bolak balik umroh atau ziarah ke Roma, mendekati rumah Tuhan. Mereka memandang orang-orang yang kurang beruntung (baca miskin) sebagai hasil dari tindakannya sendiri yang melanggar aturan Tuhan dan melaksanakan larangan-Nya. Pengertian mereka tentang arti ibadah disempitkan hanya sebatas vertikal, hubungan manusia dengan Tuhan. Hal ini berseberangan dengan kaum Horizontalis yang akan saya bahas selanjutnya.
Siapa yang memanfaatkan kaum Vertikalis?
Untuk menjawab ini kita perlu lihat sebuah istilah Karl Marx tentang Alienisasi. Alienisasi atau dalam Bahasa Indonesiabisa diartikan menjadi proses menuju keterasingan, adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marxtentang munculnya sebuah keadaan dimana buruh atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupanya. Ia percaya bahwa Alienisasi adalah hasil dari eksploitasi kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikanya sebagai modal. Jangan hanya bayangkan buruh yang bergaji UMR dan rajin berdemo saat Mayday itu. Buruh di sini termasuk yang berdasi dan bergaji tinggi yang bekerja di perusahaan tambang atau minyak asing dengan gaji relatif tinggi. Pada dasarnya mereka juga teralienisasi, terasing dari lingkungan awal yang membesarkan mereka. Di perkotaan , kaum vertikalis diwakili oleh kaum menengah atas, yang mapan dari segi ekonomi, sosial, dan finansial dari berbagai agama apapun. Bisa saja mereka itu dosen, pengusaha, atau karyawan yang sukses. Mereka menjadi terasing dibuktikan dengan ketidak-pedulian mereka terhadap lingkungan sekitarnya.
Bila mereka menjadi wakil rakyat pun mereka tidak memikirkan rakyat. Bila mereka menjadi pendidik, mereka tidak mendidik cuma mengajar. Bila mereka menjadi pengusaha mereka menghalalkan segala cara. Tapi dalam urusan ibadah rukun Islam yang lima mereka rajin dan utama. Seolah tidak ada kaitannya antara shalat dan di luar shalat. Tak ada hubunganya antara oikumene dengan kehidupan berbhineka tuggal ika. Rumah vertikalis kaya temboknya tinggi-tinggi menujukkan anti sosial mereka. Wujud keterasingan mereka adalah pelampiasan kepada will to pleasure (pencapaian kesenangan) di tempat-tempat wisata dari mulai Makao sampai Mekah. Hal tersebut akan memunculkan keadaan yang disebut Karl Marx sebagaiobyektivikasi (Vergebrtandlichung) atau bisa dibilang sasaran empuk untuk menambah modal kapitalis. Rakyat mayaotitas yang membutuhkan  keadilan dan pemerataan tidak kebagian apa-apa! Kacian dech....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun