Mohon tunggu...
Lukas SungkowoJoko Utomo
Lukas SungkowoJoko Utomo Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis buku

Katekis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Katolik, Akankah Bangkit bersama Yesus?

30 Maret 2024   22:15 Diperbarui: 30 Maret 2024   22:20 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tulisan ini adalah sekedar sebuah refleksi sebagai guru yang telah dua puluh delapan tahun mengabdi pada sebuah institusi Katolik.

Yesus bangkit dari alam maut setelah melakukan pergumulan sebagai manusia.  Perjalanan hidup yang dialami tidak ubahnya seperti halnya manusia biasa, karena pada hakikatnya, Dia adalah 100% manusia namun juga 100% Allah.  Allah yang merasakan sukaduka sebagai manusia dengan cara manusia sampai pada puncak keselamatan-Nya dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.  Di sini saya tertarik dengan hidup sekolah Katolik terutama yang ada di Jakarta, yang saat ini masuk dalam fase "sengsara", bahkan ada yang sudah masuk dalam situasi "kritis dan nyaris meninggal".  Apakah Sekolah yang menyandang status sebagai sekolah katolik ini akan mampu mengikuti Jejak Kristus, Sang Guru, yang setelah sengsara, wafat kemudian Bangkit?

A. Derita Sekolah Katolik.

Sekolah Katolik, pada era 80 an mengalami kejayaan.  Kepercayaan masyarakat pada sekolah katolik sangat besar.  Banyak orang tua yang bukan Kristiani menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Katolik.  Mereka memandang bahwa sekolah katolik memiliki kualitas yang baik, yang akan mengantar anak-anak mereka menjadi pribadi yang purnawan.  Namun, saat ini kejayaan itu telah pudar seiring berjalannya waktu. Sebagai pendidik di sebuah sekolah Katolik, saya merasa sedih mengalami hal ini namun tidak bisa berbuat banyak selain melakukan tupoksi sebaik-baiknya sebagai guru.  Ada beberapa hal yang menurut pandangan pribadi saya membuat sekolah katolik saat ini masuk dalam fase "sengsara"

1. Kita terlena.

Banyak para pemangku kepentingan di sekolah Katolik yang masih merasa bahwa Sekolah Katolik masih dalam masa kejayaan seperti di era 80 an.  Hal ini terlihat dengan tidak adanya perubahan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan dan pengajaran meskipun kurikulum dan berbagai kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan sudah berganti beberapa kali.  Bahkan Bapak Antonius Sinaga selaku Pembimas Katolik Kemenag Provinsi DKI (atau DKJ?) Jakarta dalam sebuah pembinaan Kompetensi Guru Agama Katolik wilayah Jakarta Timur mengungkapkan: Apapun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro, Apapun kurikulumnya, cara mengajar para guru ya begitu-begitu saja, apapun kebijakan pemerintah terhadap dunia pendidikan, tidak mampu menggerakkan para guru untuk secara signifikan berubah (Jakarta, 22 maret 2024).

Saya secara pribadi tidak memungkiri kenyataan ini.  Banyak sekolah Katolik (dibaca: pemangku kepentingan di sekolah Katolik) yang tidak menyadari bahwa zaman telah berubah.  Era kejayaan sekolah Katolik sudah mulai memudar, bahkan kepercayaan umat katolik sendiri mulai menipis.  Hal ini dapat dibuktikan dengan menurunnya animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Katolik, dan kita masih "begitu-begitu saja".  Tidak salah kita mengenang dan mengagumi kejayaan yang pernah kita rasakan, namun menjadi salah jika kemudian kita menjadi kurang terlibat mempertahankan yang pernah dicapai, dan jika mungkin memajukannya.

2. SDM baik, tetapi Belum yang Terbaik.

Yang membuat sekolah katolik semakin sengsara adalah karena perubahan pola pikir para pendidik Katolik yang kurang mampu diikuti oleh institusi pendidikan Katolik.  Saya masih ingat ketika orang tua dan kakak-kakak saya yang adalah juga guru di sekolah Katolik berkata kepada saya, bahwa menjadi guru di sekolah Katolik itu sekedar cukup, jangan mengharap menjadi kaya.  Saya massih ingat ketika dosen saya di FKIP Theologi mengatakan, "Lukas, jika nanti kamu sudah bekerja, kamu bisa membayar kontrakan secara rutin, itu sudah sangat bagus",  kata kata ini menyadarkan saya bahwa bekerja di lingkungan Katolik, terutama yang menengah, tidak akan mendapatkan gaji besar seperti jika bekerja di bidang lainnya.  Waktu itu saya tidak terlalu peduli, tetapi ternyata tidak untuk saat ini.  Kita memang membutuhkan gaji yang cukup untuk hidup layak di kota seperti jakarta ini.

Dan tidak bisa dipungkiri, bahwa lulusan keguruan yang memiliki kualitas "istimewa", akan cenderung memilih sekolah "istimewa" yang bisa menunjang mereka untuk hidup dengan layak.  Dampaknya, seringkali sekolah sekolah dalam level menengah ini kurang diminati oleh mereka.  Saya menekankan kata "kurang" karena sejatinya masih ada lulusan keguruan yang hebat, masih mau melayani di sekolah level menengah ini.  Namun sepertinya tidak banyak.  Maka tidak heran jika banyak sekolah katolik yang kesulitan mencari SDM untuk mengisi kekosongan tenaga pendidik dan kependidikan.  SDM yang diterima pada akhirnya memang baik, tetapi mungkin belum yang terbaik, karena yang terbaik terbang ke tempat lain, yang lebih menjanjikan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun