Suatu hari pada malam bulan purnama, sepi meramal. Kudengar tangis suara di ujung kampung. Ratapan itu semakin menderu. Ditambah lagi lolongan anjing di kejahuan malam yang mencekam. Beberapa menit kemudian seruling petanda kematian berbunyi riu menerpa pintu rumahku. Jenazah dari almahrum kakek yang tua rentah itu akan dihantar pergikan selama-lamanya besok sore pukul 15.00 WIT. Aku kaget mendengar berita duka tersebut. Lantaran yang meninggal itu saudara sepupunya  nenek saya, maka pihak keluarga kami harus menanggung hewan untuk keluarga yang berduka. Ayahku  semakin binggung. Sedangkan kambing dan babi kami belum layak untuk disembeli. Kebiasaan adat yang sudah turun-temurun mengharuskan kambing yang layak untuk dibawah saat orang meninggal adalah kambing jantan dengan harga atau nilainya berkisar Rp 4 juta hingga lebih dari itu, serta mempunyai tanduk dengan panjang minimal 25 cm. Jika membawa babi sekalipun harus dengan harga minimal Rp 5 juta. Hal ini dilakukan sebagai bentuk atau ukuran harga diri keluarga kami. Melihat keadaan seperti ini dengan terpaksa Ayahku mengambil uang kuliahku untuk membeli kambing.
    Selain kambing atau babi, di kampung kecil  ini juga ada sebuah kebiasan yang mewajibkan setiap rumah mengumpulkan uang sebesar Rp 20 ribu untuk membantu meringankan keluarga  untuk membeli segala sesuatu yang menjadi kebutuhan dalam kedukaan. Dan semua kebiasaan atau adat  yang turun-temurun itu wajib dilaksanakan, apapun yang terjadi. Karena semua itu menyangkut harga diri.
    Hidup dalam adat terkadang membuat aku sedikit mengelu, bukan mengeluh pada aktivitasnya tapi pada rupiah yag terus-menerus mencengkram leherku, namun jika untuk urusan adat, utang pun harus. Sementara untuk urusan sekolah atau urusan lain selalu ada alasan. Sampai Ayah juga mengakuinya ketika perbincangan kami di meja makan itu.
     Di pulau kecil ini adat menjadi nomor satu yang terkadang membebani secara ekonomi bagi mereka yang hidupnya serba kekurangan. Bahkan untuk melanjutkan sekolah anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi pun harus berpikir seribu kali. Tapi aku dan Ayah selalu menghargai jerih paya kami, memberikan yang terbaik untuk kampung halaman kami. Ayahku selalu pada prinsipnya bahwa "kita harus banyak memberi maka kekurangan itu akan ditambahkan dengan sendirinya. Kita harus bekerja lebih tekun lagi anakku sebab hidup ini untuk dijalani. Jangan sampai kita mengatasnamakan adat sebagai pemisah antara hasrat hidup lainnya,  dengan alasan yang tidak rasional. tidak ada yang pantas dipersalahkan anakku. Adat tidak salah, yang salah sebenarnya kita sendiri karena belum mampu menghitung hari dengan bijak", Gumam Ayah dengan nada yang sejuk, sambil memeluk aku yang terus menerus memikirkan masadepan kuliahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H