Mohon tunggu...
Lukas Yohan S.
Lukas Yohan S. Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya masih dan sedang berada pada pencarian makna terhadap banyak hal di dunia ini. Menarik manakala memikirkannya secara tidak biasa. Read me more : lukasyohans.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Aku Merdeka dari FB dan Twitter

14 Agustus 2015   20:05 Diperbarui: 14 Agustus 2015   23:30 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(pict taken from : http://www.hercampus.com/sites/default/files/2015/02/21/no%20social%20media.jpg)   Di suatu sore bulan Mei, tertanggal 25, aku kembali tergugah pada keinginan yang hendak aku lakukan sejak setahun yang lalu: menghapus akun Facebook dan Twitter. Sejak setahun lalu keinginan itu begitu kuat untuk tidak lagi menggunakan kedua media sosial itu karena akhir-akhir itu berpikir bahwa seringkali media sosial justru menghabiskan waktu. Itu alasan pertama. Alasan lain yang menggugah saya untuk tidak lagi menyelam ke dalam kedua situs bersosialisasi itu adalah buah pikiran dari dua penulis inspirasi saya, yakni Eka Kurniawan dan Sir Arthur Conan Doyle. Keduanya jelas berbeda jaman dan genre tulisannya, namun bukan pula saya asal mengikut apa yang mereka pikirkan, namun setelah menemukan buah pemikiran mereka lewat tulisan tertentu, justru makin mantaplah aku untuk tidak lagi menggunakan dua media sosial yang paling digandrungi banyak orang. Pertama karena Eka Kurniawan sempat menuliskan di blognya alasannya tidak memakai Facebook dan Twitter karena ada media lain untuk dapat mengungkapkan buah pikirannya. Aku berniat mencari lagi tulisannya itu, tapi tidak aku temukan lagi. Namun benar juga apa kata Eka Kurniawan, ada media lain untuk mengungkapkan opini kita kepada publik. Kedua melalui tulisan Sir Arthur Conan Doyle yang mahsyur lewat tokoh rekaannya dalam tulisan-tulisannya yang melegenda tentang dr. Watson bersama mitranya Sherlock Holmes, ia sempat menjelaskan buah pikiran seorang Sherlock Holmes yang dipandang aneh oleh dr. Watson karena propaganda dimensi pengetahuannya. Pada satu sisi pengetahuan Holmes mengenai beberapa hal begitu luas dan terinci, namun saat dr. Watson menanyakan perihal lain, Holmes sama sekali tidak mengetahuinya, padahal perihal yang ditanyakan merupakan hal umum. Holmes berpikir bahwa pengetahuannya adalah pilihannya untuk mengetahui hanya bidang-bidang atau informasi-informasi yang dia butuhkan saja. Andaikata suatu informasi itu tidak menunjang dirinya, maka ia tidak akan menguras waktunya untuk mengetahuinya. Berangkat dari pemikiran dua penulis inilah aku membulatkan tekad untuk membuka pengaturan akun Facebook-ku tiga minggu lalu; menelusuri laman-laman di Google tentang cara untuk menghapus akun Facebook. Sembari mencari panduan yang paling dapat dipercaya, aku menghapus terlebih dulu seluruh foto-foto yang pernah kuunggah di akun Facebook. Di saat kembali pada momen-momen yang terjadi lewat foto-foto itu, ada saja perasaan sayang untuk menghapus akun Facebook karena berbagai momen terbagi disitu. Jika begitu, kebulatan tekadlah yang kembali kuingat. Sampai seluruh foto dan informasi terhapus, barulah penghapusan akun itu dapat benar-benar tuntas kulakukan. Empat hari setelahnya (Jumat, 29 Mei 2015), kulanjutkan dengan menghapus akun Twitter. Tahun 2012 lalu aku memang sempat menghapusnya sama sekali, namun toh aku kembali membuat yang baru karena kadangkala informasi yang muncul di Twitter lebih berguna untuk menunjang hidupku. Tapi akhirnya, kebulatan tekad setelah akun Facebook kuhapus itulah yang menjadikanku tak lagi perlu terlalu tergantung dengan Twitter. Sekarang pun informasi yang muncul di Twitter semakin banyak dan seringkali aku kerepotan memilahnya. Lalu setelah kedua akun ini kuhapus, bagaimana dengan teman-teman yang jauh dan sangat jarang bertemu hendak menemukan saya lagi? Jujur aku tidak tahu. Aku memang sempat kuatir dengan itu. Aku juga menjalin pertemanan dengan teman-teman dari berbagai benua hasil dari kesempatan tinggal beberapa bulan di Taizé, Perancis. Barangkali tentang itu aku akan bercerita di lain kesempatan. Namun aku sempat memberikan kabar kepada mereka lewat grup yang kami bentuk di Facebook bahwa aku tak lagi akan menggunakan Facebook. Maka, kutinggalkan nomor ponsel, alamat surel, dan nama akun Instagramku di situ. Selain teman-teman dari luar negeri yang sempat kukuatirkan, bagaimana dengan teman-teman lain yang jauh? Aku hanya meyakini bahwa akan selalu ada cara dan kesempatan untuk bertemu kembali. Aku masih punya telepon genggam. Itu tidak akan jadi suatu masalah berarti, bukan? Menghubungi orang lain secara langsung seringkali lebih baik ketimbang harus lewat media sosial. Bisa jadi orang yang hendak dihubungi tidak selalu gandrung dengan akun media sosialnya. Ya, itu pengalamanku. Pesan dikirim hari ini, balasan tiba beberapa hari kemudian, hahahaha. Justru saat dihubungi melalui nomor teleponnya, jawaban langsung didapat. Selain itu, riuhnya timeline di Facebook dan Twitter seringkali membuatku malas membacanya semakin ke bawah. Banyak teman-temanku yang masuk dalam daftar pertemanan di Facebook dan Twitter memberikan informasi yang tidak harus aku tahu. Kadang isinya keluhan. Mungkin juga luapan amarah. Seringnya mengabarkan aktivitas yang sedang mereka lakukan guna memperlihatkan dengan siapa ia; di tempat macam apa ia berada; dan tujuannya yang kadang pamer. Ya biarlah, itu wajar jika hanya sekali dua, namun akhirnya aku bosan jika terus-terusan. Sialnya aku telah dikendalikan oleh dua media sosial itu. Sementara kesialanku ini ternyata dialami juga oleh kebanyakan orang juga. Aku bisa jadi berniat untuk tidak terlalu gandrung dengan segala media sosial itu. Tapi nyatanya alam bawah sadarku telah tersistem untuk setiap beberapa menit tertentu menggerakkan tanganku untuk mengambil telepon genggam yang kadang di dalam tas atau saku celana; mengaktifkannya untuk lalu menelusuri gambar dan posisi yang tak perlu lagi kuingat karena sudah lekat betul. Saat tak ada informasi menarik, segeralah telepon genggam kusimpan kembali dalam tas atau saku celana. Bayangkanlah jika dalam sehari itu terjadi tak hanya sekali dua, tapi berkali-kali hingga aku tak dapat membuat polanya. Andai setiap kali dilakukan menghabiskan waktu minimal lima menit, maka berapa waktu lamanya jika itu dilakukan berkali-kali, atau malah kebablasan berjam-jam? Ya, hitungan itu terlalu rumit. Kita tak perlu memusingkannya. Tapi maksudnya adalah kita bisa menggunakan waktu-waktu itu dengan sesuatu yang lebih berguna untuk mengembangkan diri kita. Percayalah...@Lukas_Yohan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun