Sepanjang yang kutahu, sejumlah teman penulis sudah memiliki profesi lain yang mampu membuat hati senantiasa tenteram karena keperluan hidup sehari-harinya telah tercukupi dengan baik. Ada yang menjadi manajer di sebuah restoran cepat saji bermerek internasional. Ada yang bekerja sebagai arsitek, merancang pembangunan rumah mewah dan gedung bertingkat. Ada yang merupakan pemimpin redaksi sebuah media cetak terkemuka di kotanya. Ada pula yang masih berstatus mahasiswa dan tinggal di tempat kos, namun berasal dari keluarga kaya yang tinggal di luar Jawa sana. Menulis cerita pendek atau puisi barangkali menjadi semacam ruang katarsis di antara aneka kesibukan mereka yang membuat penat dan kadang menjemukan. Ketika karya mereka akhirnya kerap dimuat di banyak media cetak, honor
hanya menjadi sesuatu yang tidak secara signifikan menambah pendapatan, karena setiap bulannya penghasilan dari pekerjaan utama mereka sudah relatif besar. Bisa jadi jika honornya tidak ditransfer ke rekening tabungan mereka pun sama sekali tak masalah.
Tentu berbeda denganku yang belum mempunyai penghasilan yang memadai sekadar untuk kebutuhan primer. Pekerjaan tetapku ala kadarnya mendatangkan rezeki, selebihnya kadang membantu teman di sana-sini. Menulis cerpen merupakan salah satu upayaku untuk menjemput rezeki yang lebih apik. Namun tak kusesali sama sekali hal itu, toh masih banyak yang masih dapat kusyukuri dari semua yang kumiliki. Dengan baju yang tak pernah baru, telepon seluler yang sudah enam tahun belum pernah diganti, dan sepeda motor yang sudah lebih lima belas tahun mendampingi langkahku, rasa-rasanya penampilanku sudah terbilang sangat bersahaja ketimbang semua temanku yang pernah kujumpai. Apalagi jika mengingat bahwa setiap kali berinternet aku masih menggunakan jasa warung internet, sementara ada yang setiap kali ke kafe selalu membawa serta netbook-nya atau paling tidak masih bisa online ketika berada di rumah.
Maka menjadi kejutan tersendiri bagiku ketika pertama kali bertemu dengan seseorang yang karyanya pernah berkali-kali dimuat di sejumlah koran nasional itu. Bahkan salah satu cerpennya termasuk ke dalam sebuah buku cerpen pilihan koran terkemuka. Sehabis kubaca cerpen-cerpen karyanya di koran dengan bahasa langitnya yang indah, maupun komentar-komentar kritisnya atas cerpen teman-temannya di facebook, terwujudlah sebuah sosok yang baru bersemayam dalam otakku semata tentang dirinya. Seorang laki-laki yang begitu serius, angkuh, tidak peduli perasaan orang, dan tampaknya bukan tipe orang yang ingin kukenal. Apa yang ada kemudian di depan mataku ternyata sangat jauh tak sama dengan angan-anganku. Dia hanyalah pemuda yang sangat rendah hati dengan penampilan yang bersahaja sekali. Ketika kulihat dia menggunakan telepon selulernya, sepertinya sama lawasnya dengan milikku. Dan bahkan kendaraannya malah lebih sederhana ketimbang punyaku. Dia hanya naik sepeda onthel yang kuyakin tidak baru dan jika dijual lagi harganya pun pasti murah. Usianya memang jauh lebih muda dariku, namun rasanya kami masih pantas dibilang seumuran, karena dia tampak lebih dewasa ketimbang usianya. Tapi ketika kami bercakap ngalor-ngidul, memang ada hal-hal yang menunjukkan bahwa aku layak lebih dulu hadir di muka bumi ini.
”Saya menulis cerpen hanya untuk mencari uang. Itulah motivasi terbesar saya sesungguhnya. Yang jelas, tiada sama sekali niat mau jadi orang terkenal yang senang bila sering dipuji-puji orang lain,” katanya dengan percaya diri.
Mungkin karena kesederhanaan hidupnya yang luar biasa, maka layak saja jika dia mendapatkan itu semua dalam waktu singkat. Aku mungkin masih terlalu banyak merasakan kenikmatan, kurang rekasa hidupnya, dan tidak pernah merasakan penderitaan seperti halnya dia.
Yogyakarta, awal Juli 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H