Sejak masih bocah, Pevita sudah sangat suka setiap kali melihat ayahnya mengenakan seragam prajurit kerajaan Karomit. Apalagi jika ayahnya pulang dari ajang pertempuran dan membawa kisah-kisah kepahlawanan yang dialaminya bersama rekan-rekannya. Pevita berhasrat mengikuti jejak ayahnya, melewati pengalaman hidup yang penuh sensasi di medan laga.
Ketika ayah Pevita mulai mengajari Devito, kakak lelaki Pevita berbagai ilmu keprajuritan, seperti mengendarai kuda, bermain pedang, maupun memanah, Pevita pun memaksa ayahnya untuk membagi ilmu yang sama kepadanya pula.
“Pevita, ingatlah kau ini anak perempuan! Kau pun tak mungkin bisa jadi prajurit seperti ayahmu kan?” hardik ibu Pevita yang kurang suka melihat tingkah putrinya.
“Sudahlah Ibu, biarkan saja Pevita ikut berlatih bersama kakaknya. Meski dia tidak bakal jadi prajurit seperti Ayah, setidaknya dia bisa menjadi gadis yang kuat dan tangguh. Pastinya dia pun akan menjadi pelindung yang baik bagi Ibu, jika Ayah nanti telah tiada,” sahut ayah Pevita tersenyum. Hati Pevita sempat berbunga mendapat pembelaan dari ayahnya, tapi dia merasa masygul mendengar kalimat terakhir ayahnya.
“Bukankah Ayah pasti akan pulang dengan selamat, jika nanti berangkat untuk berperang lagi?” tanya gadis muda berusia dua belas tahun itu.
“Tentu Ayah ingin selalu demikian adanya. Doakan saja Ayah senantiasa, Pevita,” ucap sang ayah seraya mengelus lembut kepala putri kecilnya.
Seluruh prajurit mesti senantiasa siap mati jika tugas negara memanggil untuk maju berperang. Ketika pasukan kerajaan Karomit memadamkan pemberontakan di sebuah daerah, sejumlah prajurit meregang nyawa di medan laga, dan salah satu di antara mereka yang tewas adalah ayah Pevita.
”Seandainya suatu ketika Ayah pulang tinggal nama, kau tak perlu bermuram durja, Pevita. Gugur saat bertempur adalah cita-cita setiap prajurit sejati. Ayah pasti akan bahagia jika dapat mengalaminya. Dan sudah selayaknya kalian bangga mengenang Ayah,” pesan Ayah terngiang-ngiang di kepala Pevita ketika menanti jenazah ayahnya tiba di rumah.
”Pastilah aku merasa bangga Ayah gugur sebagai pahlawan. Tapi tidakkah pantas jika aku pun bersedih karena tak mungkin lagi bertemu dengan Ayah?” ucap Pevita dengan air mata berderai di samping peti jenazah ayahnya.
***
Kendati paham tak bakal dapat mengikuti jejak ayahnya, Pevita tetap rajin berlatih ilmu keprajuritan dari masa ke masa. Hasratnya menjadi perempuan yang kuat, supaya sanggup melindungi ibunya -seperti keinginan mendiang ayahnya- senantiasa menjadi motivasinya. Apalagi Devito kakaknya kemudian menjadi prajurit kerajaan seperti ayahnya. Setiap pulang ke rumah, Devito tak segan membagi ilmu yang dimilikinya kepada Pevita. Gadis yang kini telah berusia delapan belas tahun itu menjadi perempuan rupawan yang tangguh dengan postur tubuh yang tegap menawan.