”Kau pingsan saat kalah dalam bermain pedang kemarin. Syukurlah, kini kau kembali terjaga.”
”Begitukah yang terjadi? Mesti kupanjatkan terima kasihku pada Tuhan yang masih memperkenanku membuka mataku lagi hari ini. Tapi Ibu, kenapa aku merasa sungguh tak nyaman di hati? Apakah Ibu tahu kabar Di-mifa?”
”Ibu dengar dari kakakmu, Pangeran Di-mifa terluka parah dan belum sadar hingga kini. Devito berencana mengajakmu ke Bifet jika kondisimu sudah lebih baik.”
”Aku ingin segera bertemu dengan Di-mifa, Ibu. Aku mau segera melihatnya!”
”Sabarlah, Nak. Kau mesti lebih dulu memulihkan kondisimu sendiri bukan? Berdoalah, semoga kondisi Pangeran Di-mifa segera menjadi baik.”
Pevita bisa memahami kehendak ibunya dan ia bersedia menahan hasratnya yang ingin segera menjumpai kekasihnya. Tiga hari kemudian terdengar berita gembira dari istana kerajaan Bifet. Pangeran Di-mifa telah terjaga dari tidur panjangnya. Pevita buru-buru meminta Devito menemaninya menuju tempat tinggal Di-mifa. Ada sebuah kenyataan pahit yang dialami oleh sang pangeran. Tangan kanannya tinggal sebatas siku saking parahnya luka yang dideritanya dalam pertempuran terakhirnya. Pevita segera memeluk kekasihnya begitu menemuinya sedang berada di serambi kamarnya. Ada perasaan yang beragam, ada tangis keharuan dan senyum kegembiraan di antara mereka berdua.
Di-mifa merasa sedih tak bisa menyentuh wajah kekasihnya dengan tangan kanannya lagi.
”Yang penting kau masih bisa membelai wajahku,” ujar Pevita berusaha tetap tersenyum, biarpun hatinya sangat trenyuh.
”Hai, kenapa wajahmu Pevita?” kata Di-mifa heran melihat seberkas luka di wajah orang yang dicintainya. Pevita pun mengisahkan peristiwa yang terjadi pada dirinya, yang bersamaan dengan saat Di-mifa terjungkal di ajang peperangan.
”Tapi kau masih mencintaiku bukan?” tanya Pevita.
”Kau masih tetap putri perkasaku yang tercantik di dunia. Lantas bagaimana cintamu padaku? Aku bukan lagi seorang lelaki yang sempurna kini.”