Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ranjau Berkarat

31 Agustus 2014   18:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:00 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Periuk masih mendesing, tetesan air dari mulut keran tak bosan menelurkan tiap bulir-bulir beningnya. Hingga penuh, hingga tumpah, tak sejengkalpun tangan kan menjamah sekedar memindahkan periuk penuh itu, atau menutup keran air rapat-rapat. Matahari baru saja bertengger mantab di sudut pelipis, tak lama lagi bakal tergantung diatas ubun-ubun. Weda, masih saja berkutat dengan lembaran kain katun dan mesin jahitnya yang menghadap ke jalan. Seorang veteran tua yang hanya bisa menghabiskan sisa keberuntungan umurnya dengan membuka usaha jahit pakaian, tak ada lagi yang bisa ia lakukan dengan kaki kiri yang buntung. Veteran tua itu nampaknya begitu tenang dengan rutinitas barunya yang ia tekuni 2 dekade ini. Dan aku bersumpah Pak Weda masih begitu terbayang-bayang akan kekejaman perang yang pernah ia lalui dengan teman-teman seangkatannya ketika muda dulu.

“Lihat saja tangan kanan dan kaki kanannya masih saja gemetaran seperti itu, pasti tak singkat pengalaman perangnya dulu.”

“Sih! tau apa kau tentang Pak Weda. Dia itu gag punya kaki gara-gara terlindas kereta tau!”

“Aku tak percaya, kalau Pak Weda seperti itu karena kecelakaan. Bagaimana kau menjelaskan, luka bekas jahitan dilehernya?”

“Kau tak percaya rupanya. Kecelakaan yang pernah dialami Pak Weda begitu tragis. Ketika itu ia mengantarkan istrinya ke sebuah acara resepsi pernikahan saudaranya, mobil yang Pak Weda dan istrinya naiki mogok begitu saja ditengah perlintasan kereta api. Terlambat, mobil terhempas begitu cepat dan kuat, terpental hingga puluhan meter. Akhirnya isterinya tewas seketika dan Pak Weda koma hingga sebulan lamanya.”

Langit kemerah-merahan dan tiang lampu depan rumah Pak Weda saksi bisu, tentang ulah kami menggunjing orang tua itu. Dan, namaku Bonsai, pertanyaan kami selalu bermacam-macam rupa dan tak ada habisnya. Ketika kami melintas di depan rumah seorang yang katanya mantan veteran perang. Rumah yang begitu sederhana, hanya dilengkapi sebuah jendela berkusen jaman kolonial, dengan pintu yang tak kalah sederhana, ditambah pula pintu kecil separuh berbahan seng dan separuh lagi berbahan papan kayu bekas bangunan. Kami kerap bergumam, sembari menenteng bola belang. Melintasi rumah Pak Weda yang tak pernah terlihat sumringah wajahnya. Setiap hari begitu saja pertanyaan bermunculan, tentang siapakah Pak Weda orang tua tukang jahit itu? Namun tetap saja tak pernah ditemukan jawaban yang pasti akan kebenarannya.

“Kau dapat cerita itu dari siapa?”

“Dari bapak ku.”

“Bapakmu dapat cerita itu dari siapa?

Gag tau? Gag sempat tanya.”

“Lantas bagaimana kau menjelaskan tentang badan tegap Pak Weda. Jelas sudah, dia itu bekas tentara.”

Pertanyaan kami begitu rupa, tetap saja tak menemukan kejelasan akan jawabannya. Mitos baru yang berkembang di pemukiman padat penduduk yang ku tinggali kini. Pak Weda adalah seorang dukun, yang tengah menyamar sebagai penduduk biasa. Kami menganggap Pak Weda dengan beraneka ragam sebutan, karena dengan sikap dinginnya selama ini kepada semua orang. Kami hanya bisa berprasangka negatif padanya. Sesekali aku melihat Pak Weda membuang sampah ketika malam hari dan tak jarang pagi-pagi buta sebelum subuh berkumandang memecah kesunyian malam dengan lantang lampu-lampu dari dalam rumah Pak Weda ternyata sudah menyala mendahului kehendak mayoritas penduduk. Pertanda dia begitu dini untuk bangun dari jam istirahat, untuk memulai aktivitasnya. Meskipun tak ada yang tau kesibukan macam apa selain menjahit pesanan pakaian, yang masih saja sama dinginnya dengan sikap pembawaannya.

“Kau tak harus memandanginya seperti itu!” kata Dori.

“Aku tak pernah bisa berhenti untuk berfikir tentang kehidupan Pak Weda. Bagaimana dengan sikap dinginnya itu bisa hidup dengan mengandalkan usaha jahit pakaiannya?”

“Aku juga demikian. Mungkin orang-orang yang usianya tak terlampau jauh dengan Pak Weda sudah terbiasa dengan sikap-sikap dingin seperti itu. Atau lebih pada toleransi untuk saling memahami sifat & watak tiap orang.”

“Karena?”

“Ya, karena tak mungkin mereka sama dengan kita, anak-anak ingusan yang rentan bertengkar dan saling umpat hanya perkara gundu dan bola belang.”

“Hmm, terserah kau mau jawab apa. Tapi Pak Weda lama-kelamaan nampak begitu menyeramkan. Tak mau aku nanti menjahitkan pakaian seragam sekolahku ke tempat itu. Seram pokoknya.”

Sebatas itu, pikiranku melayang tentang orang tua penjahit itu. Sehari pun tak pernah luput pikiranku diganggu oleh rasa penasaran tentang Pak Weda yang katanya mantan veteran atau dukun santet dan semacamnya, seperti yang digunjing kawan-kawan. Bagaimana manusia bisa sediam itu menyusuri tiap bait nafasnya. Atau benar katanya, kalau orang dewasa atau orang yang terlampau tua tak akan sibuk-sibuk memikirkan kemelut rasa penasaran seperti yang dirasakan anak-anak kecil macam aku ini. Tapi rasanya mustahil orang-orang begitu lugas menerima kehadiran Pak Weda di tengah lingkungan padat penduduk disini. Sedepapun tak sampai membatasi rumah-rumah yang saling berdempetan tanpa dipisahkan pagar atau tembok tinggi tebal. Cuma selapis tembok untuk bersandar sekaligus sekat pembatas ceruk kehidupan 2 buah kepala keluarga. Kabar berbau macam apa, yang tak lekas diendus oleh para tetangga disamping kanan kiri rumah-rumah berhimpitan itu. Hingga fluktuasi perasaan kerap bersandar ditiap petaknya yang dihuni manusia-manusia. Rentan bahagia dan rentan menderita, meluncur menarik-turunkan kurva taraf hidup mereka. Lalu bagaimana dengan kehidupan yang dijalani Pak Weda dengan trek lintasan dan arus kehidupan ala warga pemukim padat ini. Pola hidup macam apa yang diterapkan Pak Weda untuk mampu survive dalam kemelut lingkaran hidup manusia-manusia yang tak pernah peka dengan siang dan malam; pagi tidur, malam berdagang. Kalau untuk kami yang masih ingusan, tak ada yang namanya kata susah dalam menjalani hidup ditengah hiruk-pikuk gerak ekonomi masyarakat setempat; pagi sekolah, siang tidur, sore main bola dijalanan aspal. Tak lebih, dan cukup menyenangkan.

Sore yang kesekian pemandangan tak lazim bagi kami mengenai Pak Weda, cukup membuat kami geger. Seperti biasa kami mengamati, tapi kini Pohon Lamtoro yang meranggas pendek berada disisi kanan rumah Pak Weda menjadi saksi bisu kami mengunjing orang tua itu. Kali ini, kekagetan kami bukan kepalang kalutnya, semua rasa penasaran kami serasa dikutuk sepihak oleh Tuhan. Spekulasi awal kami tentang sosok Pak Weda yang tak pernah terlihat melepaskan air muka masamnya, mendadak tertawa lepas sambil berbincang ringan dengan Pak RT, seakan air muka menyeramkan yang menjadi landasan kami menfitnah Pak Weda dihepaskan ketanah begitu keras, sekeras nada bicara dan lengkingan tawanya ketika itu.

“Ah, tak percaya lagi aku jika Pak Weda tak pernah tertawa sepanjang hidupnya,” celetuk salah satu dari kami. Dari sisi kanan tembok pembatas rumah Pak Weda, sedikit celah retakan dinding menyajikan sudut ternyaman untuk pandangan kami memperbaharui pikiran sadis menghabisi orang tua beruban cepak itu. Waktu berolahraga rutin kami di jalan aspal depan dusun akhirnya terpangkas paksa oleh penemuan mencengangkan ini, bahwa Pak Weda tidak lagi seburuk hipotesa awal kami.

“Boleh saja Pak Weda sesekali tertawa, bukan?” sambar yang lainnya.

“Barang kali masih manusia.”

“Kau kira apa!”

“Tapi yang menjadi pertanyaan kita tak berhenti sampai dimana Pak Weda akan kukuh dengan raut wajah seramnya itu. Tapi….”

“Tapi kita masih ada pertanyaan lagi. Siapakah sebenarnya orang tua itu?” potong yang lainnya lagi. Mengkerucut pada tujuan asli kami untuk menelusuri tanda tanya atas efek urat nadi sumber ketegangan ini.

Kamis malam, rasa penasaran atas penemuan sore tadi masih saja membekas dalam, mungkin kalau berbicara seni melukis tubuh (tato) yang belum jadi jelas nampak bentuknya bisa dikatakan bercak kehitaman (borok). Ini kemelut rasa penasaran yang tak sesekali saja kurasakan begini rupa. Ingin rasanya tanyakan langsung pada ayah atau ibu yang tak sempat menemani tidur siangku atau mengelus rambut membangunkanku di pagi hari. Aku rasai gejolak keinginanku bertanya menggebu begitu sangat, ketika malam tiba. Saat sayup-sayup motor berisik ber-plat merah ayahku perlahan mendarat di depan pintu rumah dan suara mendesing perkakas masak dari arah dapur tempat ibu berjibaku mengejar waktu makan malam yang tak sempat ia siapkan karena tugas kantor yang sama-sama mengganggu, aku rasai itu.

Ku taruh pensil dan ku kacangi LKS matematika di meja belajar kamar, menuju ruang tengah yang masih sepi. Ketika Isya baru saja lewat setengah jam.

“Kau sudah ambil jahitan kakakmu di Pak Weda?” tanya ibu dengan nada meninggi mengagetkanku.

“Hah! apanya yang harus kuambil?”

“Kau lupa perintah kakakmu sebelum berangkat studi tur kemarin.”

Mencoba mengingat kembali.

“Lupa?”

“Ah! Ya Tuhan lupa sekali aku, bu? Aku tak ingat sebelumnya hingga malam ini?”

“Tuh, kan?”

“Ah, memangnya kakak pulang kapan, bu?”

“Lusa malam, mungkin? Ibu juga tak terlalu ingat, coba kau SMS dulu kapan dia pulang, sekalian tanyakan jangan lupa titipan daster batik pesanan ibu dan kemeja batik cap pesanan ayahmu,” masih saja dengan nada tinggi dari dalam dapur.

“Ya ya, sebentar! Kakak jahitnya dimana, bu? Jangan bilang kalau di Pak Weda,” tanyaku penasaran.

“Memang!”

“Aduh?”

“Kenapa?”

“Ibu gag ngerti sih.”

“Terus, kemana lagi kalau mau jahit pakaian yang efisien. Jaraknya plus harganya miring lagi! Memangnya kenapa?” sembari menenteng piring-piring berisikan lauk pauk dan sayur mayur menu makan malam kali ini.

“Ini yang menjadi bahan gunjingan ku dengan teman-teman akhir-akhir ini.”

“Hah! gunjing siapa?”

“Pak Weda.”

“Hush, orang tau kok dibuat rasan-rasan, tidak sopan,” sambar cepat ayah dari dalam kamar menuju ruang tengah untuk santap malam.

“Memang kenyataan begitu kok!” sanggahku.

“Kenyataan apa yang kamu hadirkan tentang Pak Weda?” lanjut ayah.

“Itu tu, Pak Weda orangnya yang kita semua tau…”

“Tau apa? Pendiam,” sambar ayah lagi.

“Nah, itu! Selain itu juga….”

“Juga apa? terlihat garang dan menyeramkan!”

“Nah itu juga? Ditambah….”

“Ditambah apa? Penuh bekas luka dan tangan yang gemetaran!”

“Nah itu dia, sempurna. Ngomong-ngomong ayah kok tau apa yang menjadi bahan perbincangan kami?” tanyaku terkesan.

“Mudah sekali ditembak, bukan? Tak ada yang bisa dibenarkan dari semua fitnah kalian….”

“Aih! Itu bukan fitnah, Yah!”

“Kalau bukan fitnah, lantas apa? Angan-angan atau tuduhan maling ayam. Tak ada yang bisa dibenarkan dari pikiran-pikiran dangkal kalian itu. Kalian tak seharusnnya berfikir sedalam itu ketika objek yang kalian bicarakan adalah orang yang lebih tua. Sebaiknya menghormati, hormati dengan sewajar-wajarnya saja, jangan menampakkan kegusaran hasil fitnah-fitnah kalian itu.”

“Sudah jelas! Bagaimana Pak Weda bisa hidup dengan gaya seperti itu. Memantik pertikaian saja.”

“Hmm. Pertikaian apa maksudnya?”

“Ya itu tu?”

“Ya itu tu apa? Kalian geram dengan apa yang nampak dan menjadi bawaan Pak Weda!”

“Ya! Seperti itu mungkin,” jawabku dengan lunglai atas pernyataan yang telah diketahui jawabannya oleh Ayah. Dan Ayah hanya tertawa lepas, lebar pula. Disusul Ibu yang membawa bakul nasi dan lalapan dari dapur menuju ruang tengah.

“Itu wajar Ayah dan Ibu rasa. Sebagai orang tua yang mengetahui perkembangan pola pikir anaknya. Walaupun fitnah yang kali ini harus kau ingat-ingat sebagai sikap dan perilaku yang tak dihalalkan. Tapi rasanya pasti dimaafkan kok? Hahahaha,” tambah ayah, dengan gelak tawanya yang menjadi-jadi, kali ini cukup keras, nampaknya puas, sembari mencelupkan tangan kebaskom air kobokan.

“Itu pemikiran khas anak ingusan ala gangster kecil-kecilan kalian. Dan pemikiran orang dewasa mengapa sangat beseberangan dan seakan-akan tau segalanya dan berupaya merangkum semuanya termasuk pemikiran ala anak-anak ingusan macam kalian. Itu karena kami cukup tau dan toleran untuk menentukan sikap maklum kami terhadap watak Pak Weda. Apalagi Pak Weda orang terbalang berumur di dusun kita, penghormatan adalah yang paling pertama ditunjukan,” kata ibu menambahi jawaban ayah yang sudah bergumul asyik dengan nasi panas yang berasap di atas piring yang sedang disangganya.

“Tapi? sebentar-sebentar, tadi ayah bilang apa? Dimaafkan, siapa yang harus memaafkan?”

Sembari menunggu gumpalan nasi yang kesekian melorot menuruni kerongkongannya.

“Ya Pak Weda lah? Siapa lagi yang bakal memaafkan perbuatan keji kalian ini!” menyambar segelas air putih dengan nada agak meninggi.

“Hah! Tapi, bukan maksud kita untuk….”

“Untuk apa? Menggunjing? Sudah jelas kalian menggunjing dan menebar fitnah dikalangan para pasukan-pasukan ingusan kau itu. Ayo buktikan kalau itu bukan sebuah bentuk fitnah.”

“Iya sih? tadi sebelum magrib kita juga lihat Pak Weda tertawa-tawa lepas dengan Pak RT. Kami merasa apa yang kami pikirkan melenceng jauh dari anggapan itu, tapi kami cukup menampung itu sebagai penemuan kami untuk……”

“Untuk apa? Menyusun kembali fitnah-fitnah berkelanjutan kalian!” celetuk ayah menyambar kembali dengan senyum sedikit menyentuh raum sinis yang menggelikan dengan mulut penuh tempe goreng.

“Huft, apakah sampai sebegitunya? maksud kami kan tak seburuk itu,” dengan nada merendah.

Ayah dan ibu malah melanjutkan tawa ringan mereka karena mendengar alasan-alasanku merangkum motif kawan-kawan memata-matai Pak Weda selama ini. Layar HP yang kuletakan di tepi meja makan kucuri kesempatan melirik perlahan, pesan singkat dari kakak bersarang 10 menit yang lalu. Ia bakal pulang besok sore. Lebih cepat dari dugaan awal kami. Memaksa aku harus menghilangkan semua prasangka yang telah dihakimi secara sepihak oleh kedua orang tua dan divonis salah kaprah atas dalih-dalihnya, untuk memupuk keberanian mengambil jahitan kakak.

“Kalau buat kami tak mempermasalahkan itu. Wajar saja dan malah bersyukur punya anak yang mulai peka dan mencoba kritis dengan situasi yang ada disektar. Tak masalah?” terang Ayah membuyarkan rasa bersalahku yang perlahan terpupuk sedikit demi sedikit ketika percakapan mesra ini bermula.

“Tapi bagaimana perasaan Pak Weda, seumpama mendengar pokok percakapan kita diatas meja makan ini dengan formasi sambel teri, sayur asam dan Ikan Tenggiri yang menghiasi penuh meja makan sempit kita. Hayo? Tak kau pikirkan bagaimana perasaan Pak Weda yang menurut kami selaku orang-orang yang lebih tua dari kalian sebagai orang yang sangat baik, ramah dan cuma wataknya yang pendiam saja. Hayo?” ibu menggoda.

“Aah? Ibuuuuuu?”

Dan ayah lagi-lagi tertawa labih keras terakhir ini menyusul tawa sebelum-sebelumnya. Dengan rokok yang menyala-nyala puntungnya menderu asap. Pertanda kemelut rasa bersalahku mengudara perlahan sembarang arah bak asap rokok Ayah.

“Lalu bagaimana lagi?” tanyaku menyeloroh.

Masih saja teratawa Ibu dan Ayah

“Apanya!”

“Nasib ku ini.”

Tawa mereka berkolaborasi makin pecah.

“Ya minta maaf! Dan lekas ambil jahitan kakakmu!” jawab mereka berdua bersahutan.

Aku harus membayar ini semua sendirian meski yang bergumam dengan nada yang sama tak sedapnya bukan hanya aku seorang. Pikirku, mungkin yang mengajak sekaligus menyeret mereka mengikuti alurnya, semua ini aku. Dan aku yang memang patut disalahkan. Mereka berfikir begitu karena aku. Tak ada yang salahku rasa. Di sekolah aku diajarkan pelajran Matematika, lengkap dengan aritmatikanya pula. Bu guru kerap kali memberikan contoh soal yang salah setiap menerangkannya. Mula aku bingung, bu guru yang tak bisa mengajarkannya atau sengaja dibuat begitu rupa dengan kesalahan-kesalahan perhitungan supaya aku dan murid-murid lainnya bisa interopeksi setiap bait angka yang tak tepat atau tak pas hitungannya. Hal ini memaksaku menelusuri tiap jengkal papan tulis hitam kusam dengan noda keputihan serpihan kapur tulis, setiap pagi hari senin dan rabu. Pergemuluanku dengan angka dan mekanisme pengolahannya, kerapkali memaksa pula naluri interopeksi dan evaluasi, mengular sedari Adzan Subuh yang berkumandang di Mushola depan rumah, sampai agenda kasur empuk mengisi daftar hadir penghujung hariku. Membuat sekumpulan anak ingusan, kebablasan, alhasil tersungkur pada lubang comberan kekurangajaran.

Sekarang aku takut lewat depan rumah Pak Weda ketika hendak sepak bola sore dengan gerombolan seperti biasa di jalan aspal akses dusun. Tak lebih dari sebuah rasa bersalah yang terpaksa kubuat-buat. Percakapan panjang tadi malam, seakan-akan Pak Weda hadir disitu, menyimak dan menyimpulkan maksud penceritaannya. Bahwa, segerombolan anak ingusan dari gang pete cina, secara terang-terangan menggunjingnya tiap sore, ketika langit temaram menjulur jilatan cahaya kemerahan. Sudah pukul 11 malam, rasa kantukku disalip dan dikalahkan rasa bersalahaku yang merongrong. Terdengar, “lekas kau luruskan semua ini,” celetuk lancang kegundahanku.

Apa yang salah dengan bayi ingusan kelas 5 SD semacam aku ini. Baru memahami kalau apa yang dipikirkan orang-orang yang lebih tua dibandingkan kita tak lebih dalam dari cara anak-anak SD berfikir keras menyelesikan satu buah soal logaritma hingga 1 bulan lamanya. Ah, ini hari baru. Sepreti biasa senyap kembali, hanya di malam selepas Isya’ aku rasai keramaian dan kehangatan keluarga, kakak nanti malam pulangnya. Hanya bulir-bulir air berukuran mikro berterbangan lalu lalang merangkap kabut dan sepiring nasi goreng hangat yang masih berasap buatan ibu sebelum berangkat kembali ketempat yang bukan seharusnya berada, yang terlihat begitu hidup, menghidupi sepetak rumah sempit ini.

“Kau tak takut jika nanti tiba-tiba diterkam oleh rumah menyeramkan itu, seperti monster house. Jangan lagi orangnya, rumahnya pun begitu menyeramkan jika kau berani memastikan dari depannya langsung, dengan jarak sekitar….”

“Sejengkal, mungkin!” sahut salah satu dari mereka. Para gerombolan tengik yang menyebabkan ku jatuh tersungkur dijurang rasa bersalah. Selepas Dhuhur aku kumpulkan mereka di depan masjid pertigaan gang utama, bermaksud meminta petunjuk atau mengatur strategi biar gag kalap nantinya.

“Nah itu tuh? Sejengkal mungkin. Bagaimana kusen jendela bernuansa jadul jaman kolonial itu bisa berdiam diri seenaknya. Tak mungkin? Tak mungkin! pasti ada apa-apanya dibalik raut wajah Pak Weda yang kita semua tau seperti apa.”

“Atau lu coba suruh orang, gih! Siapa kek yang bisa lu bayar untuk ngambil jahitan kakak lu. Daripada lu ngejer kayak begitu. Belum juga lu berhadapan langsung dengan orang tua itu, salah-salah pingsan jadinya,” salah satu dari mereka dengan nada sedikit angkuh tapi solutif.

“Pak Weda akan mengucapkan mantra-mantra aneh yang bakal menghidupkan setiap hiasan patung wajah Suku Dayak yang bertebaran di tembok-tembok retak nan kusam rumahnya. Hayo! Dan membuat kau, Si Bonsai jarang mandi, tak akan pernah bisa tidur nyenyak. Aku sendiri juga takut kok!” tambah seseorang.

“Dan aku akan datang menghampiri beliau. Untuk membuktikan itu semua! Dengan atau tanpa bantuan kalian” terangku. Kalau memang kebenaran harus diterangkan dengan pembuktian. Akan kubuktikan itu.

“Serius lu! sepak bola jadi jam berapa entar sore?”

Suara bising kendaraan lalu lalang di belakang pemukiman seakan merdu terdengar. “Kalau bukan fitnah lantas apa? Angan-angan atau tuduhan maling ayam….” Sisa percakapan semalam masih terlampir halus mengganggu pikiran, dan mendesak akal sehatku untuk segera lari dari semua ini.

Aku tak bisa bayangkan seperti inikah nanti masalah-masalah yang akan kuhadapi ketika dewasa nanti. Kalau sudah tamat sekolah, lalu kerja, punya pasangan dan beranak pinak. Inikah yang nantinya bakal kualami sebagai orang dewasa nanti. Atau, ini masih secuil saja biji asam rasa garam yang pasti bakal kukecap tak lama lagi. Lebih dari 7 channel televisi swasta pukul 1 siang serentak menayangkan berita kabar terkini ibukota, kondisi wajah dan sisi gelap tembok-tembok pembatas kota terangkum rapi ditiap salurannya; yang gara-gara stres gag lulus ujian siswa SMP nekat panjat tower sutet. Cek-cok karyawan pabrik tega menikam temannya. Saling ejek puluhan siswa SMA terlibat tawuran pelajar antar sekolah. Seorang wanita dibakar suaminya sendiri, lantaran kepergok selingkuh. Sengketa tanah, rumah digusur ibu-ibu penghuni pemukiman kumuh ciliwung aksi protes telanjang dada lawan alat berat. Di sidang di ruang ber-AC, tersangka tipikor tiba-tiba sakit mendadak, sidang ditunda. Permasalahan sepertinya tak pernah mentas dari tubuh-tubuh ringkih manusia-manusia. Masyarakat tak pernah pas dengan pakaian yang dikenakannya, selalu saja kebesaran ataupun kekecilan, sungguh mengganggu gerak anggota badan mereka. Tangan-tangan cungkring mereka yang hangus karena terik matahari, harus dipaksa mengais bungkusan plastik yang berserakan. Kaki-kaki mereka yang lecet dan berlubang karena aspal, masih harus dipaksa berjalan menyusuri terotoar panas untuk menjajakan gorengan. Tak ada yang harus sedu sedan, semua manusia-manusia kita seperti ini adanya. Tak ada yang mau lagi menangis, mereka lebih memilih menghemat air mata mereka untuk mengangkat bak-bak cucian pakaian yang menggunung karena tau, keadaan yang memaksa mereka berbuat. Lampiran surat tunggakan SPP dan tagihan baju seragam menjelma obat penghilang rasa nyeri di pagi hari untuk melingkis lengan dan melucuti pangkal kancing kerah kemeja mereka.

Kilatan cahaya tiba-tiba dan gluduk yang terakhir begitu memekakan telinga. Membuatku terhuyung dan bangkit dari rasa kantuk yang luar biasa nikmatnya dengan layar televisi yang masih menyala bersamaan bunyi klakson berbalut derum kendaraan yang mengular tersendat di belakang rumah. Diluar awan temaram abu-abu begitu gelap nampak tersingkap, aku yakin hujan akan mengepung ibu meringkuk di kantornya, hingga ayah datang menjemput. “Sebaiknya menghormati, hormati dengan sewajar-wajarnya saja, jangan menampakkan kegusaran hasil fitnah-fitnah kalian itu…..” Ah, suara-suara itu mengganggu lagi, lamuannku sisa senyap barusan memanjakan nafsu kantukku, terpaksa buyar. Aku berdiri, tapi masih saja terhuyung, “secepatnya ambil jahitan kakak, entah apa yang akan terjadi kelak,” pikirku.

3 blok lagi aku sampai di depan rumah yang kami biasa sering umpat keberadaan penghuninya, melewati gang sempit dengan jalan paving berlapis lumut yang biasa kami lewati ketika hendak bermain bola di jalan raya. Geluduk makin menggelegar meski tanpa kilatan. Aku sampai di depan rumah yang tak ingin aku singgung keberadaanya seperti ketika brsama kawan-kawan. Sore ini aku datang kemari bukan untuk mengintip ataupun mengumpat lagi, tapi aku datang dengan maksud lain yang lebih terpuji.

“Assalamualikum!” suaraku tersentak tarikkan nafasku tersedak. Dari awal proyek pergunjinganku dengan kawan-kawan belum setitikpun menyentuh pertanyaan mendasar. Pak Weda itu agamanya apa?

Tanpa jawaban meski tak tau aku berkeyakinan apa Pak Weda yang menyeramkan itu. Di teras rumahnya kini aku berada, gugup dan takut. Rumah dengan gaya khas jaman kolonial, tembok-tembok yang sudah mengelupas lapisannya, ditambah hiasan tempel wajah orang suku Dayak dengan warna yang kusam. Kesan mistis memantik hasrat untuk berteriak sekeras-kerasnya urung terlaksana, ketika kuganti salamku secara serantanan tak sabar.

“Permisi!”

“Assalamualaikum!”

“Selamat sore!” masih juga tanpa jawaban. Hanya terlihat dari dekat, mesin jahit model lama engkolan yang menghadap kearah jalan, dengan selembar potong kain katun yang masih terjepit di penjepit kain mesin jahit. Seakan menjelma wajah muram rumah jaman kolonial yang menganga menampung ramah tamahku sambil cekikikan tanpa jawaban.

Sebentar-sebentar gemuruh melulu menggulung-gulung, kali ini disertai angin semilir perlahan lama-kelamaan kencang berkekuatan. Aku yakin ibu pasti malam sekali pulangnya, hujan dipastikan datang begitu lebat. Serauk sandal tiba-tiba terdengar nyaring disela-sela gemuruh geluduk yang senyap seketika. Bayangan hitam tercetak di dinding sebuah kamar dekat tempat cuci piring, menyeruak tampak sosok yang muncul dari sebilah kamar dengan langkah menyundul-nyundul pincang, dan kali ini benar-benar sesosok manusia yang tak pernah terpikirkan olehku berhadapan dengannya secepat ini diumurku yang baru, ah! sudahlah. Aku benar-benar gemetar saat ini.

Tak lama, sayup-sayup dedaunan bergesekan diterpa angin yang memunggunginya.

“Waalaikumsalam, ya silahkan masuk,” suara yang berat muncul, terdengar tua si empunya nada. Pak Weda, inilah sosoknya, semua terlihat nyata, gumamku. Dengan kaki tanggal sebelah, bekas luka jahitan samar berwarna hitam, dan bekas luka melepuh di tengkuk belakang lehernya. Semua lengkap teridentifikasi jelas, ditambah dengan tangan gemetaran yang tak biasa, tapi lihainya luar biasa hebatnya ketika memainkan ritme mesin jahit bututnya.

Mata itu membelalak dari raut wajah tua dan rambut penuh uban bertebaran sembarangan. Begitu bengis hidupnya kurasa.

“Oh! mau ambil jahitan kakakmu ya? Aku ambil dulu, masuklah,” masih tak percaya dengan pemandangan yang mencengangkan ini. Tak sepatah nada pun terucap. Kaki sebelah itu sekuat tenaga menopang seluruh berat tubuhnya meloncat-loncat hanya tangan yang menjadi alat penyeimbangannya, menggelayuti tembok lapis gisum kusam yang mulai rontok bulirannya. Bagaimana Pak Weda bisa tau kalau tujuanku kemari bermaksud mengambil jahitan kakak? Tanpa meraba-raba dengan pertanyaan ramah tamah yang memuakkan, mencari maksud kehadiran seorang anak kecil ingusan, seorang anak kecil yang kerap kali menggunjing dibalik rerumbunan lamtoro di bawah tiang lampu berkarat penerangan jalan gang atau dicelah tembok berlubang pembatas teras rumahnya. Atau, Pak Weda hanya menerka-nerka kalau jahitan kakakku adalah jahitannya yang terakhir rampung hari ini. Tapi tak mungkin pikirku, tumpukan kain seragam SMA dan SD di meja lipat mesin jahit, itu apa. Ah, sudahlah rasa peasaran ini menambah ketakutanku saja.

“Eee, semuanya berapa pak?” dengan nada yang tak karu karuan intonasinya, kupaksa diriku berucap sesuatu membalas ramah kalimat pertama yang belum terlampirkan jawaban olehku.

“Cuma bekas jahitan sebelumnya, sudah mulai usang dan tipis, benangnya tak kuat lagi menahan tebal kain ini, aku sudah perkuat dengan benang sayet. Ya, semoga tak gampang usang,” jawab Pak Weda sembari memasukkan jahitan kakak ke dalam kantong keresek.

“Jadi semuanya berapa pak?” petanyaanku belum dijawabnya.

“Tak usahlah? Kau bawa saja ini,” sambil menyodorkan bungkusan keresek berisi jahitan kakak. Dengan bingung, yang tak lagi bisa terjamah oleh rasa dongkolku.

“Loh? Saya bayar aja pak, jadi gag enak kalau……” Kilahku sambil merogoh saku celana yang terasa dalam ketika situasi yang tak diharapkan muncul mengancam.

“Sudah Sudah? Cuma sedikit kerusakan yang kubetulkan. Kau bawa saja ini jahitan kakakmu, tak usah membayar,” tambah dongkol aku, mengamatti tangan Pak Weda yang menahan tanganku sambil menyodorkan selembar 50rb.

“Wah? pak, jadi gag enak saya! apa kata Ayah Ibu saya kalau nanti gag saya bayarkan, di kira nilep,” jawabku dengan harapan Pak Weda mau menerima uang ini.

Wajah tua dengan segala atribut menyeramkan itu tersenyum menyapu lugu. Aku tiba-tiba lupa sejenak tentang anggapan buruk mengenai kehidupan Pak Weda dan segala ketidaklaziman yang ketara disosoknya.

“Sudah tak apa? kali ini tak bayar, gratis!” tambahnya dengan senyum ketiga kalinya adegan penolakan tanganku yang terselip uang 50rb itu terjadi.

Dan gemericik hujan perlahan turun, terdengar mengetuk-etuk asbes rumah Pak Weda yang tak lama meninggi gemuruhnya, dengan geluduk dan kilat yang kali ini bergantian saling menyambar-nyambar, saling mengisi ritme berjatuhan. Angin dari arah barat malang-melintang ikut campur pada pagelaran gemericik air hujan menghamburkan rintikan air yang jatuh dari atas membelot kearah sebaliknya. Adegan kami pun berlanjut, namun dengan akhiran yang sama.

“Sudah kau ambil saja uang itu? Bilang nanti ke orang tuamu sepulang dari kantor kalau aku sudah menerima itu, selesai bukan,” katanya sambil tersenyum. “Eh, hujannya begitu lebat sebaikya kau cepat masuk kedalam sebelum hempasan air yang tertiup-tiup membuat kau basah kuyup.”

Tak mampu aku berkatkata lagi, dalih apa yang ku pakai untuk membuat Pak Weda mau menerima uang titipan ini. Lagi-lagi hujan dan antek-antek cuaca buruknya hari ini mengusikku. Pikiranku masih menerawang jauh sembari memandang ke arah jalan. Tak bisa dipercaya kini aku berada di sebuah rumah yang kupikir menyeramkan dan duduk nyaman disamping sesosok orang tua yang kupikir menyerampakan pula. Hanya bisa mengedipkan mata tak percaya, hendakku menolak dan segera pulang ke rumah. Apa daya alam memaksaku mengikuti aturan mainnya. Dan aku masih diam tak percaya dengan peristiwa dan adegan-adegan yang baru beberapa detik kualami.

Semua, dan gumamku bercengkrama. Apa yang Ayah dan Ibu katakan semalam memang benar adanya. Apa yang kupikirkan tak lebih dari sebuah imajinasi dari manifestasi pola pikir tahap perkembangan seorang anak, atau lebih tepatnya anak ingusan. Sosok manusia rentan dengan kelengkapan badan yang tak bisa terbilang lagi sempurna adanya, dibingkai dengan kerangka figora berselambu debu yang terbalut menyatu bersama tembok-tembok tempat orang tua itu mengharu biru bersama sepi dan tanda tanya. Suara dodok dan putaran ongkel mesin jahit mengganggu lamunanku yang terbaring menyatu bersama irama hempasan angin yang mengalun di asbes rumah Pak Weda yang aku singgahi untuk berteduh.

Sosok tua yang telah ku fitnah secara keji seperti kata Ayahku semalam. Kini sedang duduk disamping kiriku berkutat dengan mesin jahit tua yang berisik, menyeleseikan potongan kain katun yang telah terjepit jarum mesin jahit semenjak aku datang.

“Baiknya kau masukkan kembali ke kantongmu, sebelum angin yang marah menerbangkannya sekejap mata,” celetuknya bersamaan dengan berisiknya suara mesin jahit tuanya dan gemerincik air hujan meletuk asbes. Tak sadar, uang 50.000 masih juga kugenggam erat-erat. Hujan masih juga meranggas lebat. “Hmm, tak seperti biasanya? Bukankkah sore-sore begini biasanya kau bermain bola dengan teman-teman gerombolanmu di jalan aspal depan?”

Ah, hujan menggerus terus. Bagaimana Pak Weda bisa tau kalau sore-sore begini dan kali ini hujan, aku kerap menghabiskan waktuku untuk bermain bola dengan kawan-kawan. Bagaimana bisa tau? Rasa penasaranku terpantik tapi ketakutanku atas rasa yang kubuat-buat sendiri mengenai sosok yang sedang duduk tenang di sebelahku kini, memaksaku menghilangkan kemampuan bicaraku yang telah kulatih dan fasih belasan tahun. Dan aku masih diam, lebih tapatnya tak mampu bicara.

Mesin jahit engkol itu masih menimbulkan kegaduhan. Pak Weda masih juga asik menggeser kain katun mengikuti lekuk-lekuk pola rajutan.

“Yahhhh? Aku rasa jalan aspal itu lebih baik jadi tempat sepak bola anak-anak dusun, daripada jadi jalan alternatif penembus kemacetan,” katanya, menyambung percakapan awal. Dan aku masih saja tercengang dengan apa yang barusan terucap dari mulut orang yang pernah ku telanjangi wibawanya bersama kawan-kawan setiap sore. “Entahlah? Apa yang dipikirkan orang-orang yang berpakaian safari ilalang itu. Beton dan semen disemai sana-sini, tapi lupa kalau sekepal gundukan tanah rumah semut berisikan kroto tak punya lagi tempat merayapi dedaunan rumbun. Katanya, mau dibangun stadion besar untuk kita-kita ini berolahraga dan menyalurkan bakat biar gag tercecer di jalanan, tapi mana? malah bangunan berdinding kaca-kaca tebal berhiaskan brand-brand barang impor tetangga sebelah yang tumbuh dimana-mana. Untung hujan sore-sore begini datang lumayan deras. Debu-debu sirtu proyek perumahan real estate sebelah dusun, agak mendingan tak lagi mengganggu hidung dan mata kita, karena sering terhirup dan masuk ke mata. Semoga saja hujan deras datang tiap harinya, siapa lagi yang mau menyelamatkan saluran pernafasan dan penglihatan kita, kalau bukan kuasa pemilik semesta langsung menurunkan mukjizatnya. Bukan lagi mereka yang diserahi amanat memimpin dan mandat untuk berkuasa atas bongkahan bumi yang terpecah-pecah ini.”

Aku masih takut menyambung lidahku mengikuti irama rintikan air hujan. Aku masih terlalu takut dengan semua tindakan-tindakanku yang sudah tergolong tidak terpuji. Sikapku terhadap orang yang lebih tua rasanya tak patut lagi dimaafkan, jika begini rupa ceritanya. Semua salah kaprah, semua salah, melenceng dari praduga dan perkiraan semata. Yang ingin kulakukan saat ini adalah hanya berteriak kepada kawan-kawan kalau, “kita sudah salah dan berdosa besar.” Rasa bersalahku perlahan muncul memaksa keinginan untuk bertindak menghilangkan itu, mengendap-endap mulai sampai pada ujungnya. Tak ada yang bisa aku lakukan lagi, ini titik dimna aku harus mulai. Mulai untuk belajar memaafkan diri sendiri dan belajar untuk meminta maaf pada orang lain. Nada pertama akhirnya keluar.

“Emm, Pak Weda?” pelan, sedikit agak kaku, gelagapan. Serasa baru beberapa hari belajar membaca, menulis, dan membaca.

“Oii, hujan kelihatannya masih menunggu ditumpahkan semua isinya, kau mungkin ingin agak lama berteduh disini,” jawabnya.

“Saya mau minta maaf kepada Pak Weda.”

“Hah? minta maaf untuk apa?” masih asyik dengan guratan-guratan benang.

“Mungkin saya dan kawan-kawan sudah kurang ajar pada bapak.”

“Ah! Tak ngerti aku, apa yang kau bicarakan itu!” sambil menoleh sesekali dari hadapan mesin jahitnya.

“Setiap sore, jam-jam begini. Ketika hendak main bola dijalan kami selalu menyempatkan diri untuk membicarakan bapak, dibalik semak-semak itu dan dinding berlubang itu,” sambil melirik kearah luar.

“Membicarakan diriku? Hahahahahahaha. Memang apa yang kalian bicarakan, pasti ini!” sambil mengangkat kaki kiri buntungnya dan tertawa keras sekali, tak kalah keras dengan gemericik hujan yang mulai mereda. Aku masih tertunduk lesu, sambil meneruskan cerita tentang kebiasaan buruk kami dan lagi-lagi Pak Weda tertawa begitu kerasnya, tidak menunjukan sama sekali rekasi kemarahan. Ataupun raut wajah yang gemas, sepintas terpikirkan olehku bakal terpantik setelah mendengar penuturanku.

“Kami hanya mau minta maaf atas itu semua sungguh kami hanya anak kecil yang gag tau apa-apa. Pak Weda mau memaafkan kami?” tanyaku dipenghujung penuturanku yang kupikir penuh dengan umpatan-umpatan yang kuperhalus bahasanya.

“Hahahahaaha sebetulnya kau tak harus mewakilkan temanmu begitu rupa meminta maaf untuk perbuatan yang tak kau lakukan sendiri,” jawab Pak Weda. Meski masih cekikikan terdengarnya.

“Tapi kalau bukan saya mereka gag akan ikut ikutan,” jawabku disela-sela rasa rikuh yang memenuhi benakku, degnan sedikit bingung.

“Ya? Seperti itu!” Pak Weda masih aja terkikik-kikik meneruskan sisa jahitannya. “Mereka yang seharusnya meminta maaf langsung, bukan diwakilkan meskipun bukan mereka pemantiknya, tapi itu semua tak menjadi masalah, dan mereka itu teman-teman kau seharusnya bersyukur?”

“Bersyukur untuk apa kalau boleh tau Pak Weda?”

“Bersyukur kalau mereka mempunyai teman yang memiliki sifat kebijaksana laksana seorang pemimpin.”

“Emm, maaf saya kok gag mudeng ya pak?”

Pak weda malah tertawa lagi, sedetik setelah mendengar rasa bingungku itu.

“Iya pemimpin? Maksudnya apa ya pak?”

“Ya kamu itu, hahahahaaha mereka harus bersyukur punya seorang teman berjiwa pemimpin mau menampung rasa bersalah orang banyak seperti kamu ini. Sudah! Lekas kau masukkan itu uang!” dan perintah meregohkan uang 50.000 yang seharsnya membayar jahitan kulakukan juga.

“Maksudnya saya pak? Tapi kan saya sudah melakukan perbuatan yang…….”

“Dari kemarin-kemarin aku sudah tau kalau kalian kerap kali menyeringai kecut dan berbisik gaduh dibalik semak-semak dan sesekali berteriak dibalik tembok berlubang itu.”

Mataku terbelalak, semuanya tergeletak. Gerak-gerik kami sudah tercium terlebih dulu dengan halusnya. Padahal kami lihat Pak Weda tidak pernah memperhatikan sekelilingnya pada waktu kami mengintai. Jangan-jangan Pak Weda menerapkan salah satu kemampuan dukunnya atau keterampilan militernya. Sontak, pertanyan itu mengalir muncul menyeberangi benakku. Bekas tentara atau!

“Dan aku biarkan kalian melakukan itu. Dan kalau boleh aku mau mengakui hal lain? kalau sebelumnya aku juga ingin menghampiri kalian sore itu, tapi aku pikir dengan bentuk tubuh yang seperti ini, untuk berhadapan dengan anak-anak kecil pasti mereka akan lari tunggang langgang,”

“Jadi Pak Weda sudah tau sebelumnya kalau kami…….”

“Ya kurang lebih seperti itu. Tapi tak apa, pengakuanmu cukup membuktikan perkiraanku. Dan aku pikir ini suatu permulaan yang baik untuk memulai hubungan ramah tamah kita.” Pak weda menghentikan kegiatan merajutnya dan menyilangkan jemari-jemarinya dengan kedua sikunya menempel ke jenejang meja jahit, menumpu dagunya. Tapi masih tetap menghadap ke jalan dengan senyum yang lagi-lagi menggangguku untuk tetap pada pendirianku yang pertama. Dan aku masih melongo hampir tak percaya dengan apa yang baru saja diucapnya. Nyatanya aku telah sampai dimana titik ku mulai. Aku mulai merasarasa dingin, suasana membuat kehidupan diparuh hari, begitu berjelaga. Lama-kelamaan menghitam pula. Tinggal angin yang berhembus sepoi-sepoi hujan tak lagi berlanjut babaknya.

“Tak ada yang bisa disebut biasa dikehidupan ini. Tak harus kau sesali itu semua, tak salah dengan rasa ingin tau hati kecilmu dan teman-teman sebayamu itu. Aku kehilangan kaki kiriku mungkin sebuah rasa puas yang berlebihan dari rasa bersalahku yang telah didengar Tuhan, lantas diwujudkan semuanya pengharapan atas hukuman yang pantas disarangkan oleh jasad kecil ku ini,” sambil menggeser-geser kain mengikuti pola jahitan terusannya. “Ketika perang tiba-tiba meletus, saat kami semua berbaring dengan nyamannya di barak kami. Entah ledakan dari arah mana, suasana tiba-tiba gelap ketika aku membuka mata, gemuruh disusul dentuman tak henti-hentinya saling berjatuhan. Disaat itu pula aku dapati diriku tengah berupaya berlari. Tapi seketika itu, baru sadar ternyata aku dari tadi bukan berlari namun merangkak, ku tau itu saat seseorang menyeretku dari belakang menyelamatkanku. Huft, aku rasa sedikit membuatku merinding di sore hari ini.”

“Bapak kehilangan kaki itu karena perang. Jadi Pak Weda dulu bekas tentara,” mulai ku temui jawaban atas pertanyaan tentang siapa sebenarnya Pak Weda. Perdebatan kami ternyata tak sepenuhnya sesat. Percakapan kami berdua mulai hangat.

“Rasa bersalah dan hancur. Memaksaku menitihkan air mata yang tak ku sadari membasahi leher yang kulitnya terkelupas, hanya rasa perih saja. Ketika diseret beberapa meter menjauh dari tempat dimana semula aku tersungkur menggelepar diatas tanah. Barak yang kami tempati ternyata hangus hancur, berkeping-keping, kena bom tadi. Samar-samar aku lihat tubuh-tubuh kawan-kawan tak lagi menyatu, semua terpecah dan terpental ke segala arah, kulihat kepala, kaki, tangan, jemari bahkan jeroan tubuh manusia yang tak sampai hati kuratapi lagi. Tiba-tiba teringat akan surat seorang kawan satu regu dalam misi bunuh diri tersebut, aku kenal dia ketika mendaftar angkatan darat pertama kali. Pagi harinya ku lihat dia sibuk menulis surat, ku biarkan dia sendirian di meja sebelah kasurnya sebelum kulontarakan tawaran main kartu pagi itu.”

Tercengang sedikit geli, aku mendengar kisah Pak Weda, kisah menyeramkan dari segumpal pengalannya yang terpotong oleh kemelut suara kendaraan yang menyeruak setelah hujan sama sekali reda. Bukan karena kecelakaan atau apa, tapi karena usaha pengorbanannya demi tercapainya pengakuan kedaulatan. Kumasukkan dalam-dalam uang 50.000 ke kantong celana yang sedari tadi kugenggam.

“Begitu lama kulihat dia menulis surat. Tak seperti bisa aku tidak terlalu konsen bermain kartu, mataku sedikit-sedikit melirik punggungnya. Dan, sama seperti suasana sore ini, begitu dingin, angin semilir membawa, menghempaskan tetesan air yang masih menempel di dedaunan. Dia menyodorkan sebuah surat untuk aku bawa ketika nanti sesampainya di tanah jawa dan membawa kemenangan. Semacam surat wasiat untuk keluarga katanya, aku mengerti aturan mainnya, kalau surat itu semacam simbolis menandakan jika si penulisnya tak akan pernah kembali pulang alias tewas dalam peperangan. Tanpa kujawab semua kata-katanya yang ternyata itu kata-kata terakhirnya, aku tolak dan kutepis keras-keras tangannya yang memaksa dan……”

“Lalu apa, Pak Weda?”

“Ku katakana kepadanya sore itu dengan nada tinggi sedikit membentak, bahwa aku takkan pernah mengambil surat itu atau menyampaikan pada keluarganya, malah akan memaksa dia membuang ketengah laut ketika kita semua pulang melintasi samudera dengan membawa kemenangan perang. Cuma sepenggal ingatan yang kupikir sebuah dosa yang tak pernah kuwanti-wanti datangnya, ketika aku diseret seorang prajurit lainnya, kudapat kaki kiri ini telah tertinggal sebelah. Ya, kaki kiriku putus dan tak ada lagi yang kuingat setelah itu, hanya saja rasa penyesalan yang tiba-tiba terproyeksi seketika itu dengan gambling. Andai saja aku menerima surat itu dan tak membentaknya, kupikir surat itu adalah tulisan pertamanya, yang sebelumnya dia selama aku kenal, tak pernah bilang bisa menulis. Rasa menyesal dan pengandaian saja terlintas terus-menerus hingga aku sampai di rumah sakit yang telah ku huni selama 1 bulan lamanya, tak sadarkan diri, koma panjang.”

“Dan semua luka-luka itu?” dengan pandangan yang tak sungkan lagi ku jatuhkan tepat pada setiap cacat-cacat tubuhnya.

Pak weda hanya tersenyum lebar, melanjutkan ceritanya,

“Hahahahahah, ya, kau telah lihat ini semua. Mengingatkan ku pada peristiwa itu. Peritiwa yang lebih tepatnya seperti awan mendung abu-abu itu,” sambil menunjuk ke arah awan yang ada di depannya melintasi kusen jendela, kemudian teras lalu awan lepas. “Semula menghitam pelan, sebentar menurunkan hujan, semua kehidupan dibawahnya dipaksa berhenti sejenak, mencari tempat berteduh yang aman, di halte bus, jembatan layang, atau emperan toko. Hanya sebentar, membuat kehidupan dibawahnya gelabakan, takut jas dan kemejanya kotor terkena jembrotan airnya atau takut masuk angin dibuatnya. Sebentar saja tapi merepotkan, dan tak lama juga akan terlupakan seperti itulah peristiwa yang ku alami, penyebab semua bekas-bekas ini. Mungkin hanya aku yang akan mengingatnya sebagai kisah yang paling menyesakkan. Setelah siuman dari koma selama itu, aku datang menemui keluarganya.”

“Keluarga teman Pak Weda yang menitipka surat tadi?”

“Heem.”

“Apa reaksi mereka?”

“Aku datang sendirian dengan saksi bisu bekas-bekas luka dan cacat pada sekujur tubuh ini. Mereka hanya sembab menatap sekujur tubuhku, tanpa tangis. Mungkin sudah habis air mata mereka 3 bulan yang lalu, ayahnya dan ibunya juga istrinya dan kedua anak-anaknya yang telah beranjak dewasa. Ku ceritakan segala yang indah-indah tentang persahabatan kami dan kenangan-kenangan bertugas kami berdua dalam satu regu yang mengesankan. Semua yang mendengar itu tertawa riuh, kegembiraan dan rasa haru bahagia telah bersemi kembali. Namun ayahnya tiba-tiba menangis terseduh-seduh setelah beberapa detik yang lalu tertawa begitu kencangnya mengalahkan anggota keluarga lainnya yang turut mendengarkan. Kebahagian yang bersemi kembali, dan tak lama, menghantarkan kesedihan yang tak pernah tertinggal meskipun tak pernah bermaksud dibawa kembali. Semakin dibiarkan menghilang, semakin jelas bayang-bayangnya yang memaksa kita mengingat kembali, dan ujung-ujungnya tak mau hilang. Ayahnya menangis karena melihat aku yang bercerita seru tanpa memiliki kaki kiri lagi. Dan aku menangis juga saat itu juga, aku mengangis karena,” hujan telah reda dan Pak Weda tiba-tiba tenggelam dengan kisah-kisahnya. Rumah jaman klonial itu, terlihat besar dan seram dari depan tapi begitu sempit ketika berada di dalamnya. Tak kuat dengan nuansa gelap begini, aku berdiri dan menghampiri saklar untuk menyalakan lampu yang tergantung dibelakangku dekat cucian piring.

“Karena apa, Pak Weda?” tanyaku pelan bermaksud menandai bahwa aku sang komunikan telah siap mendengarkan kelanjutan cerita.

“Karena, ketika itu aku baru tau kalau tak ada orang lain yang bakal sepeduli itu menjulurkan pertanyaan-pertanyaan remeh sekedarnya kepadaku yang tak lagi punya siapa-siapa. Kecuali sepi, ketika ada seseorang begitu peduli dengan ku yang sebatang kara sebelum akhirnya, istri dan calon anakku dalam kandungnnya tewas seketika teretabrak kereta,” Pak Weda menunduk kupikir orang tua itu menangis sedih, tak lama dia mengangkat kepalanya dan tersenyum lebar. “Tangisku tak lama setelah itu, ku pandangi anak-anaknya yang tak menangis, malah terlihat bingung menatapku, sebentar-sebentar cerita seru, lalu sebentar-sebentar menangis menderu-deru. Sejak itu, aku limpahkan semua tak tersisa, yang kuterima sebagai penghargaaan atau tunjangan dari markas besar kesatuan Angkaan Darat Divisi V Panglima Sudirman, tempat aku bertugas waktu itu, termasuk sisa gaji dan uang pensiunku untuk keluarga besarnya. Untuk menebus kebodohanku ketika tragedi serangan itu, dan rasa bersalah yang menganggu setiap akhir pekanku.”

“Tapi di buku-buku sejarah peristiwa itu telah tertulis sebagai kemenangan yang berarti bagi bangsa ini, dan……..” sambungku yang tiba-tiba terpotong oleh sambaran Pak Weda selanjutnya.

“Kemenangan yang tak pernah tau siapa yang rela berkorban memperjuangkan. Kemenangan yang hambar, kita dapati sebuah berlian yang menyilaukan mata, entah berapa miliar harganya, namun seketika kepala kita lepas dikorbankannya. Hampir setiap malam setelah berkunjung ke rumahnya aku rasai dingin, dan jantungku tak pernah terima untuk tetap tenang dengan rasa bersalah yang kerap menyeringai. Hidup ini lebih singkat dan dekat rasanya, tembok-tembok berhimpitan ini begitu hangat, aku dapati rumah dinas tua ini, tenggelam dalam semak belukar dan sepi, dengan sebuah tanda tangan pensiun sebagai harga yang pantas. Dan tingkah lucu kalian setiap sore harinya, aku rasai hidup tak lebih dari sisa-sisa yang tak terpakai lagi bak kain perca yang telah dipilah-pilah berdasarkan warnanya. Sesuai warnanya kain sisa tersebut bisa gunakan seperlunya.”

Cerita memilukan Pak Weda sedikit bergeser ke persoalan yang telah rampung kiranya, mengenai tingkah laku kami para bandit-bandit kecil ingusan yang doyan sepak bola di tengah jalan, aku hanya tersipu malu dan menunduk sekalian menyapu pandangan keseluruh sudut ruangan, ruang tamu yang menyatu dengan dapur sepintas menegaskan, hidup Pak Weda cukup sederhana pula adanya. Sebilah kerajinan tempel selongsongan peluru dalam figora persegi berkaca kusam kehitaman tertutup debu dan sawang menggelantung terselip di celah antara dinding dan badan figora, menjadi hiasan satu-satunya rumah sempit itu. Tunggu dulu, tepat di atas kusen jendela kudapati sebilah patung, atau lebih tepatnya hiasan berbentuk batang menyilang, ada hiasan patung kecil ditengahnya mengantung di dinding dan tertutup sawang. Semacam cinderamata. Salib! Aku sudah mengira, bukan cuma itu hiasan dindingnya.

Sambil menunjuk ke atas tepat diatas ubun-ubunku.

“Bukankah itu salib, Pak Weda?”

“Yah, itu cindera mata aku beli dari tempat dimana aku merasakan atmosfer peperangan untuk yang pertama kali di usiaku yang begitu belia, mungkin masih SMP kalau dibandingkan dengan jaman sekarang. Ketika itu, aku masih sangat takut, kalau musuh yang sebelumnya telah kami tangkis serangannya hanya dengan 2 peleton pasukan, bakal kembali lagi membalas ketika kami berlayar pulang ke markas, dengan jumlah pasukan serupa yang kami kalahkan dari baku tembak di ladang jagung,” masih berkutat dengan jahitannya, menunduk asyik tanpa menoleh sekalipun.

“jadi, Pak Weda beragama……” Terbata-bata suaraku masih dengan tangan menunjuk ke arah salib tersbut.

“Karena ketakutan-ketakutan itu meracau pikiranku sejak berangkat hingga hendak pulang, yang tak pernah lepas dengan angan-angan jahat bakal mati tertembak di medan perang di usia muda, aku sempatkan membeli salib besar itu ketika perjalanan menuju kapal, dan berdoa sepanjang perjalanan melintasi samudera,” sambarnya lagi meneruskan. Masih tetap menunduk asyik menatap ke arah mata jarum yang bergerak mengular mengikuti pola jahitan.

“Jadi bapak agamanya Kristen?” tanyaku spontan.

“Iya? Sedari kecil aku di asuh di lingkugna gereja milik paman. Apa ada yang salah dengan. Oh! Mungkin hiasan salibnya berdebu ya. Maaf mungkin setelah jahitan yang terakhir ini akan ku ber……….”

“Bkan masalah salibnya yang berdebu pak! tapi! tadi bapak menjawab salam saya dengan jawaban salam orang Muslim,” potongku.

“O itu?” dengan senyum ringan. “Saya pernah dengar katanya salam orang Islam itu saling memberi doa, yang mengucapkan salam juga yang menjawab salam, dan saya dengar juga kalau doanya itu doa yang baik-baik saling memberikan keselamatan. Dan saya pikir apa salahnya, kalau saya juga mengikuti aturan itu, aturan yang sama baiknya dan sama-sama menguntungkan meski kita berada di lain kaidah sekalipun.”

HP-ku tiba-tiba berdering nyaring. Ku balik layarnya yang semula tertelungkup di saku celana. Sebuah panggilan masuk dari nomor ibu. Hujan telah hilang langit mendung sirna pula, rona kemerahan kini yang menghiasi mega. Ku angkat cepat-cepat.

“Hallo?”

“Main saja kau seharian tak taukah kau rumah sudah seperti kapal perompak pecah!” suara Ibu menyembul nyaring dari speaker Hp. Ibu ternyata pulang lebih cepat dari dugaan awal.

“Ya Tuhan, bocor lagi!” gumamku. Tanpaku keraskan dekat Hp.

“Apa yang bocor?” Tanya pak weda.

“Talang, pak.”

“Talang?”

“Hujan lebat tadi mungkin penyebabnya. Mungkin ini pertanda kalau saya harus pamit ke rumah dulu Pak Weda, ibu mungkin sudah pulang dari kantor.”

“Oh ya, silahkan? Terima kasih banyak ya.”

“Sama-sama Pak Weda? Tapi ini uang sebesar ini mau saya apakan? Saya takut dimarahi ibu nanti,” tanyaku balik sambil merogoh saku dan menarik lembar 50.000 itu.

“Sudah kau bawa saja.”

“Tapi pak!”

“Atau kau belikan saja bola sepak buat teman-teman kau, pakai uang itu.”

“Bola pak!” tanyaku bingung.

“Iya, bola sepak. Beli buat teman-teman kau nanti yang suka sepak bola di jalan raya sana. Beli yang baru, yang bagus, yang awet pokoknya ya. Biar jalan aspal depan itu tak dipakai jalan pintas motor dan mobil, menghindari kemacetan.” Sambil menepis tanganku yang masih sempat menyodorkan selembar 50.000 itu. Dan aku terpaksa memendamnya lagi dalam-dalam ke saku celana. “Lekaslah! Kau tak mau membuat Ibumu marah-marah sepulang kerja kan?”

Sejarah yang berirama dengan nada satire menjelma di rumah sempit tua ini. Kusen nuansa kolonial jaman pendudukan Belanda menyampaikan salam hangatku pada orang tua itu. Pak Weda masih saja asik dengan jarum dan kain-kain katunnya ketika bayanganku belum juga sirna di muka terasnya. Tak ada kemenangan atas rasa-rasa bersalah yang kulawan dengan sikap besar untuk mengharap belas kasihan dan pengampunan. Semua menjelma dalam ingatan orang tua penuh uban dan kaki buntungnya itu.

“Sering-seringlah main kemari. Ajak juga kawan-kawan kau?”

“Boleh?”

“Siapa yang hendak melarang.”

“Tapi kan? Tidak untuk mengambil jahitan.”

“Penjahit mana yang punya banyak teman! Kalau bukan teman yang punya kepentingan soal jahitan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun