Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fitnah & Sisa-sisa Tanda Tanya

16 Desember 2014   06:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:13 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keteraturan dalam hidup berdampingan tak ubahnya sebuah kolaborasi cara pandang untuk menemukan mufakat. Diharapkan manusia-manusia yang mendiami suatu tempat yang lapang untuk tidak terlampau parah bersenggolan kanan-kiri dengan cara pandang yang mungkin beraroma nafsu, kebutuhan, atau keterpaksaan dari orang lain yang sedang berikhtiar mencari celah yang sama untuk bernafas. Celah itulah yang dinamakan kesepakatan.

Sejak kapan demokrasi yang utuh diruang-ruang terbuka ini menyentuh kesepakatan untuk sebuah konklusi kata merdeka. Merdeka untuk mengacungkan tangan, merdeka menyuarakan keluh kesah dan pendapat, terlebih lebih merdeka dalam mentabulasi fitnah dan sisa-sisa tanda tanya. Yang ada hanyalah sekepal tangan besi belaka, kata Sokrates. Toh kalau memang ada? Tak perlu repot-repot untuk dibuktikan. Seyogyanya kita buka taruhan berapa lembar uang 50 ribuan yang berani anda pasang untuk memastikan, kalau tak banyak bahkan sedikit, tak sampai separuh dari kumparan pendapat yang kita lontarkan itu dipakai ketika berhadapan dengan manusia-manusia yang memiliki nafsu dan kepentingan dibalik batik safarinya. Bukan karena apa-apa. Melainkan karena mufakat atau kesepakatan. Yang nantinya digunakan bukan untuk sebagian atau secuil kelompok, meliankan lapisan besar tatanan kehidupan manusia. Harus segera ada sebuah palu khusus yang berukuran besar untuk mengantisipasi paku-paku bandel yang tak betah di liang pijakannya. Karena kita sedang menggunjing sebuah hirarki kebutuhan dasar manusia untuk hidup dan menyemai di kehidupan ini. Dan manusia adalah pakunya.

Sebilah kata mufakat itu adalah aturan hukum atau nilai-norma sekalipun sifatnya tak tertulis. Kita butuh itu, dan itulah palunya. Untuk tatanan masyarakat mungkin tak terlampau penting hukum secara tertulis. Mitos-mitos mengenai keberagaman adat dan cara hidup di belantara negeri ini sudah cukup menegaskan nilai-nilai mitafisis hasil persetubuhan antar peradaban lebih memiliki karakter untuk menciptakan keteraturan dalam hidup. Sebaliknya, untuk hukum tertulis, sebuah cetusan baru karangan akal manusia, enggan untuk dijadikan patokan pasti untuk berijtihad menghadapai goncangan dan gelombang pasang kehidupan yang mengombang-ambing tak jarang memporak-porandakan.

Cerita mengenai keteraturan akibat dari mufakat muncul dari negara yang memutuskan untuk menganut paham komunis sebagai bumbu utama ideologi mereka. Tiongkok, beberapa waktu yang lalu membuktikan kembali betapa seriusnya bentuk mufakat yang mereka tulis sebagai pagar sekaligus alur berbangsa dan bernegara. Mengeksekusi mati menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Zhang Xinhua karena terlibat suap dan gratifikasi atas perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan pemerintah Tiongkok. Ini menegaskan untuk yang kesekian kali, Xi Jinping tak sedang bergurau mengenai 100 peti mati yang sengaja disediakannya untuk para pejabat sekaligus dirinya jikalau terbukti korupsi ketika menjalankan kepemimpinan, yang sekarang sudah menginjak tahun keduanya.

Hukum tertulis yang mereka sepakati tak hanya menjelma bak palu besar nan dingin, melainkan menjelma lebih dari sekedar palu yang besar dan bergerigi, melainkan diikuti pula mimpi buruk pesakitan yang tak bisa dipungkiri jika terkena ketokannya. Eksekusi mati yang mereka sepakati dalam hukum tertulis negara, cukup memperkuat kembali hipotesa bahwa hukum tertulis bisa menyaingi, hukum yang tidak tertulis semacam nilai dan norma adat. Sepintas tak masuk akal, dan tak urung juga dijadikan perbincangan hangat di sela-sela hiruk pikuk penghilangan nyawa antar anak manusia yang kian marak di negeri kita. Mengenai hukum penghilangan nyawa yang sedikit banyak kontradiktif dengan visi menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia masih kukuh pada pendiriannya untuk menerapkan hukuman mati bagi tindak kejahatan yang terindikasi. Badan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak untuk segera mempertimbangakan kembali kebjikasanaan pemberlakuan hukum tersebut, ditolak mentah-mentah oleh bapak negara kita yang baru. Putusan akhir vonis mati bandar narkoba yang masih berupaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) disidang terakhirnya beberapa waktu yang lalu, menandaskan jelas Indonesia sudah menentukan bentuk palu yang akan digunakannya.

Hukum dan alat pukulnya telah dipilih, Indonesia tak lagi ragu menegakkan setinggi-tingginya apa yang menjadi konsensus bersama. Namun nggedabrus beraroma propagandis itupun, secepatnya berubah menjadi anekdot. Ingatan kita tengah disegarkan kembali oleh polemik baru kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, paska pembebasan tersangka setelah menjalani beberapa tahun masa hukuman. Apa yang disegarkan kembali. Adalah konsepsi HAM dan hipokrisi atas harapan hukum yang tegak, tengah diragukan keberadaanya. Kasus belum menemui pasti siapa sebenarnya batang hidung di balik kebingungan ini. Meskipun pelaku telah divonis bahkan telah enjalani masa hukuman. Pembunuhan Munir, mungkin secuil kiasan permasalahan HAM dan hukum di negeri ini yang tak pernah bersinergis. Adanya dikotomi antara moral dan kepentingan dalam HAM. Mungkin itu penyebabnya. Hukum milik negara kurang diminati untuk menebus harga diri atau tempat terakhir mengadili perkara.

Dikotomi tersebut merecoki definisi asali HAM yang tengah disepakati sedari dasar negara masih tengah diramu. Falsafah sila kedua dan sila kelima, tak bisa dibiarkan berdiri sendiri menganga begitu saja. Menandakan HAM telah dijunjung tinggi sedari bangsa ini secara de jure resmi terbentuk. HAM yang sebenarnya telah dirumuskan sila kedua dan sila kelima dalam sekup moral, sudah disalahartikan untuk tidak berbicara moral. Kasus dan perkara penghilangan orang-orang yang dianggap berbahaya, dan pemenjaraan tanpa pengadilan di zaman orde baru, masih saja meminta diperjelas duduk perkaranya. Entahlah? Mungkin saja diartikan lain bahwa moral menjelma sebagai kepentingan, atau kepentingan pure menggantikan moral. Yang berarti bukan lagi mencapai kebijaksanaan bersama melainkan kepentingan sekelompok kecil golongan saja yang mewakili. Lantas buat apa segala konsepsi untuk menemukan kesepakatan ini. Ataukah memang kebenaran atas dasar moral tak lagi dibutuhkan. Tak lagi diperlukan selagi ada roti dan kudapan kepentingan yang masih hangat. Tiongkok sudah tidak berbicara moral dalam belas kasihan. Logika hukuman mati di Tiongkok, cukup sederhana, korupsi jelas sebuah tindakan kriminal yang merugikan dan berdampak luas. Jika koruptor tidak mempertimbangkan lagi dampak-dampak buruk yang muncul ketika perbuatan korupsi itu dilakukan. Maka pertimbangan atas hukuman mati bagi seorang yang merugikan orang lain itu, tak lagi harus didasarkan atas belas kasihan. Aspek moral dan kemanusiaan sebagai self regulation sudah tak berfungsi, malah berubah menjadi sadistik, pantas jika hukuman mati harus diberlakukan kepada pelaku korupsi di Tiongkok.

Segera saja kita dibingungkan. Jika sifat hukum didunia ini berbicara mengenai kebenaran moral. Maka hukum yang ada di negeri ini hanya dongeng belaka. Mengandai-andai dengan segala pretensi yang ada. Bukannya hukum seperti nafas manusia yang selalu bersirkulasi tanpa henti, selalu mengiringi kesegala arah, sekaligus menuntun kearah mana tubuh ini berlabuh. Namun ketika hukum yang disepakati sebatas simbolis supremasi menara gading, hadir disaat momentum genting tengah terjadi. Tidak menutup kemungkinan inisiatif pribadi untuk menyeleseikan sengketa harga diri atas keadilan adalah jalan alternatif pengurai benang kusut polemik dan keputusasaan.

Negeri ini tak pantas lagi berkeluh kesah, jika setiap pagi harus mendapati cerita-cerita tentang anak manusia yang lebih memilih sebilah parang dan celurit untuk menyeleseikan perkara yang mereka hadapi, bukannya hukum yang diklaim lebih beradab. Antitesanya, kepercayaan pada hukum telah hilang dibenak masyarakat yang terkonstruk dari perkembangan kebudayaan. Hukum-hukum adat atau hukum atas dasar nilai-nilai yang disepakati sekalipun sifatnya kekerasan dan membabi buta, lebih pantas dan bermartabat.

Ataukah palu hukum negeri ini lebih unik lagi, memiliki 2 buah bola mata yang mampu membedakan mana yang menguntungkan mana yang tidak.

Moral bukan barang yang sifatnya menguntungkan dan tak menjanjikan apa-apa. Karena sifat keadilan hukum atau mufakat tidak berat sebelah. Maka konsep kecemburuan karena dilain sisi lebih menguntungkan tidak akan pernah ada. Dan itu adalah sifat-sifat moral. Perdebatan soal moral pernah terjadi antara seorang sastrawan nyentrik, dengan salah seorang eksponen (FPI) Front Pembela Islam disalah satu acara talkshow atau diskusi terbuka yang dimoderatori Karni Ilyas. Perdebatan antara lebih buruk mana kapabilitas moral seorang pelaku korupsi dan pelacur yang menjajakan libido. Perdebatan terpantik saat sastrawan yang mengklaim dirinya sebagai Presiden Republik Jancukers itupun menerangkan konsepsi bahwa perbuatan pelacur tidak lebih buruk dari perbuatan koruptor. Yang ini ditolak mentah-mentah oleh eksponen FPI tersebut, yang menerangkan tidak ada yang bisa dibenarkan dari tindakan keduanya. Sekalipun memiliki dalih dalam aspek dorongan dari dalam atau dorongan dari luar diri pelaku.

Saya pribadi sepakat dengan benturan itu. Jika sekupnya moral atau dorongan yang mendasari perilaku tersebut muncul, maka spekulasi atas dalih yang dimunculkan kedua pelaku tindakan-tindakan tersebut patut ditunggu sebagai koreksi. Dan sebaiknya perdebatan itu harus diperjelas tata letaknya agar dimungkinkan dialektika muncul sebagai solusi diakhirnya, namun sepertinya tidak, penggalan video acara tersebut yang saya lihat disitus youtube terkesan seperti dialog kolot, antara orang yang mencoba berpikiran terbuka tanpa terkotak-kotak atau berangkat dari sebuah pradigma. Dengan orang yang telah terkonstruk oleh paradigma yang sifatnya dogmatis. Yang dimana realitas moral yang ada harus disandingkan dengan dimensi moral bentukan agama, jadinya saling membungkam dalam kekolotannya. Seharusnya perdebatan itu adalah pangkal untuk menyeleseikan persoalan-persoalan yang dirasa belum juga ditemukan jalan keluarnya. Karena selalu berbenturan dengan dinding-dinding pembatas yang sifatnya mendikte dan usang. Padahal sebuah pembaharuan itu muncul karena keberanian menabarak batasan-batasan yang ada. Sekalipun itu batasan hasil sintesa dogma atau ajaran transendental yang secara kuantitas keabsahannya bisa dikatakan benar karena jumlah pendukungnya. Maka mengesampingkan dogma untuk mencapai kemurnian pemikiran dan buah kebijaksanaan sebuah keharusan yang nyatanya sulit diterima para penganut dogma kebanyakan. Agar terhindar dari dekadensi yang Nithzche konsepsikan dalam menghadapai nihilisme yang sudah pasti terjadi.

Tak ada aturan yang jelas apakah kita diperbolehkan bermain spekulasi disini. Mengenai motif dari keduanya. Antara seorang pelacur yang menjajakan kehormatan sebagai sumber kenikmatan, dan koruptor yang menyalahgunakan tampuk kekuasaan untuk memupuk kenikmatan. Siapa sekarang yang lebih keji berbicara soal dalih moral, ketika kesepakatan diharuskan ada karena konsekuensi hidup berdampingan. Pembicaraan di tengah kemelut tanda tanya dan pertengkaran ini tak pernah berhujung pada sebuah keputusan untuk mengakhirnya. Semua mengalir seperti biasa senantiasa. Sadar, sampai hari ini kita hidup pada demensi keterasingan, dimana semua yang ada dan tetap, terkadang melenceng dan memungkiri kehendak logikanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun