Indonesia masih belum terlepas sebagai penyandang predikat negara berkembang, dalam kancah revolusi atau arus global internasional. Seperti yang sudah disepakati, negara yang tergolong negara berkembang adalah negara bekas jajahan atau negara yang rakyatnya sebagian besar bermata pencaharian disektor agraria. Indonesia nyatanya memenuhi kedua kriteria tersebut, meskipun muara dari kemunculan kategorisasi tersebut masih belum bisa diterjemahkan siapa yang memunculkan, atau mungkin adanya konsepsi negara maju dan negara berkembang memang sengaja di-dikotomikan sedemikian rupa, sebagai bentuk pagar kepentingan dikehidupan yang akan datang nanti. Bagaimana bisa. Wacana dan ilmu pengetahuan adalah kendaraan paling mutakhir melancarkan agitasi dan propaganda yang formatnya lebih halus, sehalus serat sutera. Karena dari situlah semua bermuara, pada awalnya.
Pembahasan global mengenai negara berkembang yang kaitannya nanti masuk kedalam variabel negara-negara internasional, hendaknya tidak terlalu memakan hati untuk mengulasnya, barang sedikit. Spekulasi untuk mengiyakan adanya konsepsi negara berkembang atau negara maju, mau tak mau, kita hanya bisa gigit jari menggunjingkannya. Tak hanya menginfeksi pengetahuan berbasis paham ekonomi saja, politik yang terangkum dalam bentuk ketatanegaraan rasanya tak luput dari kosepsi tadi. Hegemoni antara kubu barat dan timur terlampir dalam sebuah pengetahuan dan wacana yang menginfeksi sendi-sendi bangsa Indonesia yang masih dalam tahap menuju kemapanan.
Tidak bisa kita pungkiri berbagai lini sektor kerakyatan negeri ini, telah dikonstruk sedemikian adanya, dibuat tak berdaya dan salingmembutuhkan. Kita dibuat seakan-akan mampu mandiri dengan berdiri sendiri, tapi disisi lain ada orang yang ikut andil dalam mengayomi atau memboncengi. Segala sendi kerakyatan; mulai dari sektor pendidikan, industri, perdagangan, ekonomi dll. Dalam tatanan kapitalis global di dunia ketiga, proyek raksasa pasar bebas sepertinya menciptakan iklim baru dalam berbangsa dan bernegara, khususnya ekonomi. Kini, segala bentuk mekanisme pasar dibuat transparan, tanpatembok, dan tanpa hambatan. Tidak lagi sibuk dan lama menunggu kepastian ijin atau surat jalan lintas benua, tapi kini disibukkan menawarkan produk atau olahan barang yang bisa bersaing di pasar internasional.
Itu di eropa. Entah, di Asean.
Baru-baru ini santer diperdebatkan pasar bebas asean sudah tak menunggu hitungan jaman atau tahunan lagi. Pasar bebas di Asean, nampaknya tinggal menunggu hitungan jari. Beberapa bulan lagi kita akan hadapi, sebuah era yang sama seperti era yang terjadi di eropa, era dimana kita tak disibukkan lagi akan surat jalan antar benua atau legalitas produk seperti di eropa. Ya, segalanya dipastikan akan semakin cepat, secepat kilat.
Iklim baru yang sama kapitalisnya seperti eropa. Tapi bagaimana Indonesia. Seakan kita akan berkelar hebat ketika hendak menggunjingnya. Ketika negara yang kita diami ini, ikut andil dalam proyek kapitalis tandingan menghadapi eropa. Sebuah negara yang tak mau disebut sebagai negara terbelakang dan mengklaim mampu menghidupi diri sendiri, nyatanya apa, sebuah prestasi membanggakan menempatkan Indonesia sebagai negara nomor wahid di Asean dalam distribusi produk-produk eropa. Sekarang sektor agraria yang mengidentikan Indonesia sebagai negara berkembang sepertinya tak lagi diminati. Tampak jelas dari tahun ke tahun lahan pertanian kandas diuruk beton-beton pabrik tekstil, kejelasan hak milik tanah seperti monopoli tukang sulap; saling nilep, srobot sana-sini, alih-alih tanah negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bak cowboy tukang klaim tanah.
Belum lagi kita akan dihadapkan dengan persaingan kelas antar negara sebelah rumah. Produk-produk dalam negeri siap-siap diadu bak sabung ayam antar kampung. Produk siapa yang paling unggul, dialah pemenangnya yang sekaligus jadi penguasa wilayah persebaran pasar yang dimilikinya. Kenyataan ini tergambar jelas, Asean Free Trade Area (AFTA) 2015 hanya 2 negara yang dianggap siap bersaing, dan Indonesia bukan salah satunya, bagaimana lainnya?
Tak ada pilihan lain, hukum rimba siapdiberlakukan kembali. Siap-siap memangsa atau dimangsa, atau siap-siap menjadi pengekspor nomor wahid atau hanya menjadi distributor barang negara-negara pengekspor tadi. Kehancuran ekonomi berdikari nampaknya diramalkan benar oleh Tan Malaka, bukan berarti pemikiran Sukarno salah atau tak cocok sesuai kehendak logikanya, melainkan keadaan yang memaksa ekonomi berdikari berat sebelah jika dipikul sesuai kondisi rezim yang pernah berkuasa di negeri ini.
Sebuah langkah bijaksana, yang diambil oleh the founding father untuk menentukan kemana kapal baru ini berlabuh, sebuah manuver politik yang disusul kebijakan sepihak menentang liberalisme dalam bentuk apapun. Ekonomi berdikari sekaligus sebagai kebijakan tegas untuk tidak terikat dengan bangsa lain, dimaksudkan untuk kemajuan dan kemapanan ekonomi secara komunal. Rakyat dibiarkan bebas menentukan nasibnya sendiri dalam berekonomi, dengan memanfaatkan fasilitas, keamanan, dan prasarana yang disediakan oleh negara, atas pertimbangan, tidak meratanya persebaran kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) di Hindia Belanda yang ketika itu merdeka bernama Indonesia.
Ini yang akhirnya diragukan dan ditentangoleh Tan Malaka hingga diakhir hayatnya secara berkala melalui tulisan-tulisannya dimedia cetak ataupun yang telah dibukukan. Indonesia yang dalam arah pandangannya masih belum stabil paska merdeka, sungguh disayangkan jika harus melepaskan diri dari keterikatan dengan bangsa lain, dalam hal ekonomi sebagai negara yang baru lahir.
Kelemahan ekonomi berdikari ala Soekarno tak lebih dari sebuah ramalan yang terbukti benar adanya. Indonesia tak memiliki arah dan pandangan yang jelas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa yang akan datang nantinya. Dan Tan Malaka si peramalnya. Indonesia terlalu gandrung akan kebesaran di masa lampaunya, hipokrisi yang dimunculkan para arkeolog menghantarkan kapal besar yang baru saja merdeka ini menuju kesebuah tirai besar berisikan fakta kekayaan yang telah terjarah.
Tak bisa disalahkan juga, Soekarno memutuskan tidak bertendensi ke blok manapun, bukan berarti tanpa alasan. Gejolak perang dunia ke-2 menimbulkan stigma untuk tak harus ikut-ikutan bermain di lumpur yang becek. Kegagalan perang dan kehancuran sektor perekonomian memberi dampak yang luar biasa kepada negara-negara yang ikut berpartisipasi dalam perang tersebut. Momentum gencatan senjata atas kekalahan jerman, memperkuat kehati-hatian Soekarno terhadap negara-negara yang berpartisipasi dalam Perang Dunia 2, karena mereka dalam masa penataan ulang sektor perekonomian dan ketatanegaraan paska perang.
Dan keputusan itu dianggap salah oleh Tan Malaka karena, kondisi Indonesia yang ketika itu baru merdeka, masih belum mapan secara sektoral akan kesulitan memanfaatkan sumber daya yang ada, penguasaan di berbagai wilayah teritori kedaulatan negara belum menyeluruh, diperparah gagalnya perjanjian-perjanjian dengan pihak Belanda atas sengketa batas wilayah yang dimiliki Indonesia. Universialisme yang menjadi jawaban Tan Malaka, universal yang berarti bebas ke arah manapun, namun tidak terikat. Disatu sisi membutuhkan, tapi disisi lain kita berupaya sendiri untuk membangun dan mengupayakan kemajukan bersama. Tidak harus kaku, namun bersifat fleksibel, itu yang diinginkan Tan Malaka. Untuk itu Madilog dibuat, sebagai kristalisasi atas pengejawantahan universalisme.
Apa daya nasi sudah terlanjur menjadi bubur, mau diapakan lagi jika tak ada kudapan lain, selain merelakan diri untuk menikmati bubur. Sama halnya Soekarno, Tan malaka juga bukan apa-apa. Teori sama halnya sebuah skoci yang menggantung di kapal pesiar yang terkadang tak berguna. Hingga sampai pada tragedi kapal pesiar tersebut mengalami kebocoran dan terancam karam. Disitu skoci bak jimat penyelamat orang-orang seisi kapal.
Konsepsi untuk tidak bergantung oleh bangsa lain, akhirnya melunak seiring rezim baru yang menggantikan demokrasi terpimpin. Arah ekonomi dan politik berbelok kearah yang sebaliknya, membuka lebar-lebar hubungan dengan bangsa asing yang akhirnya menciptakan iklim dan masyarakat baru yang lebih pragmatis dan memiliki sifat ketergantungan. Kini seksama kita lihat masyarakat moderat, masyarakat dengan keterkungkungan nafsu dan kebutuhan, kebingungan antara mana yang harus dipenuhi terlebih dulu, sebuah imbas dari kecerobohan memilih konsep awal dalam hal berbangsa dan bernegara, paska merdeka.
Ekonomi sebagai corong utamanya. Kemajuan dalam sebuah negara tidak lain dan tidak bukan, merupakan akumulasi dari penataan dan kemajemukan perekonomian rakyatnya. Alih-alih pembangunan, melalui sektor pendidikan atau sektor kelautan, atau sektor industri, hasil akhirnya nanti dilihat dari pencapaian dalam hal ekonomi; seputar, pendapatan dan kesejahterahan. Bagaimana seorang warga negara mapan secara ekonomi karena kemapanan dalam hal pendidikannya dan kelayakan secara kesehatan.
Maka pertanyaan yang muncul dari proyeksi Tan Malaka mengenai materi dasar adalah hal yang paling penting dan utama. Jika unsur materi itu sendiri sudah terpenuhi dan ada, maka komponen-komponen lain penunjang unsur materi tersebut akan mengikutinya. Dalam konsepsi pendidikan yang cocok untuk Indonesia yang baru merdeka seperti yang diulasnya di Madilog, karakter seorang siswa yang menjadi perhatian utama dalam proses pendidikan, karena karakter; etika dan moral yang paling penting, dan yang lainnya akan mengikuti setelah karater itu terbentuk.
Namun logika mengenai materi yang menjadi unsur utama, seakan terbantahkan dengan seorang penjual tahu tek yang memutuskan berjualan tahu tek bukan karena ia bisa memasak atau pandai meracik olahan bumbu masakan, melainkan karena terdesak dengan keadaan. Entahlah keadaan ekonomi atau keadaan sosial. Yang kita pahami fakta sosial ini menghinggapi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat modern Indonesia.
Terdesak disini bisa diartikan lain. Bukan dalam pertimbangan aspek ilmiah, melainkan pertimbangan aspek geografis, hanya di Indonesia yang seperti ini, mungkin. Terdesak, ketika segala sesuatunya menuntut kemungkinan. Kemungkinan akan berdampak baik atau sebaliknya. Yang nantinya membuat orang-orang akan secepat mungkin merubah keadaan dirinya atau penampilan luar tubuhnya merupakan kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul tadi. Orang-orang cenderung mengidentikkan sebagai peluang, dari kelebihan atas apa yang ada dalam dirinya.
Anehnya. Mereka tak pernah mendeteksi peluang tersebut sebagai peluang yang berekspektasi sebaliknya dari apa yang diharapkannya. Seorang anggota DPR terpilih secara demokratis dengan perolehan suara telak atas kandidat lawannya, dikarena ia berprofesi sebagai publik figur, seorang musisi dan bintang film, yang sering nongol di acara-acara infotainment di televisi. Dalam hal ekonomi seperti keadaan yang dialami penjual tahu tek tadi, resiko yang akan dihadai cukup sederhana, jika tidak berjualan malam ini, bagaimana besok pagi nanti. Tanpa ada pertimbangan aspek lain, yang sifatnya lebih ribet; nama baik, harga diri, income-kongkalikong.
Dibandingkan dengan anggota DPR eks artis papan atas, nema baik, harga diri, dan pengaruh sudah tertempa sedari menjadi publik figur. Tidak jadi masalah, menjadi pejabat di tatanan pemerintahan tak harus sibuk-sibuk konsolidasi sana-sini, sebenarnya. Cukup diketahui saja, seseorang yang menjadi pusat perhatian tidak menutup kemungkinan akan menjadi sebuah petasan penarik perhatian. Seorang publik figur adalah petasannya, dan orientasi meraup dukungan adalah tujuannya.
Disini kita ketahui, Tan Malaka bermaksud mengelabuhi pemikiran kita yang tak terbiasa diajak bersusah payah merangkak kesana kemari. Konsepsi materinya yang dianggap paling penting dan paling utama cukup membuat kita bergeming melayangkan semacam gugatan atas penolakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H