Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berfikir Kritis, Metode Menyusun Paradigma Transformatif

28 Oktober 2018   00:35 Diperbarui: 28 Oktober 2018   00:59 1856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dimulai dengan riset Edward C. Tolman (1886-1959) tentang hewan tikus yang dimasukkan dalam labirin dengan stimulus makanan, lambat laun tikus memahami ada jalan yang lebih cepat untuk menemukan makanan, hal ini menunjukkan bahwa tikus memiliki daya analisis yang cukup sederhana untuk menemukan mana yang dirasa cukup singkat untuk mencapai makanan. Tikus tidak serta merta merasakan rasa laparnya sebagai stimulus untuk segera mencari makanan dengan bergerak ke sembarang arah. Namun tikus mengalami juga proses berfikir dan memori untuk mencapai makanan.

Itu adalah tikus dan tikus adalah hewan, jika hewan saja mampu untuk memanfaatkan fungsi otaknya untuk berfikir menemukan jalan keluar dan menyelesaikan masalah laparnya bagaimana dengan kita, manusia. Tentunya lebih dari itu, karena manusia berfikir tidak hanya sebatas digunakan untuk menyelesaikan permasalahan fisiologis semata yakni rasa lapar, tapi lebih kompleks dari itu, manusia menggunakan otaknya untuk berfikir bagaimana cara untuk dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab kekhalifahan sebagaimana Al-Quran Surat Al-Baqarah 2: 30 tertulis. Bahwa, 1) Manusia mengemban tugas dan tanggung jawab uluhiyah yaitu berhubungan dengan Tuhannya. Kemudian, 2) Tugas Rububiah yakni berhubungan dengan manusia (Bakran, 2001).

Dengan pemberian berupa otak oleh Allah SWT, manusia diharap dapat memanfaatkan fungsi akalnya untuk berfikir mendayagunakan segala bentuk ilmu pengetahuan yang telah dibukakan oleh Allah SWT. Dengan tujuan dapat menjadi khalifah yang bijaksana untuk mensejahterahkan sesama umat manusia dengan cara memanfaatkan seisi alam ciptaan-Nya.

Namun manusia pada titik ini, fungsi berfikir tidak hanya sebatas untuk memahami atau menangkap realitas dalam ilmu hermeneutika, manusia disatu sisi memiliki hal untuk memaknai atau memahami, tapi diisi yang lain manusia memiliki kewajiban untuk melaksanakan. Kewajiban untuk menjelaskan inilah yang menjadi pangkal berpijak manusia untuk berfikir yang tidak serta merta untuk dirinya sendiri, sebagai "pemahaman" semata. Namun berfikir yang nantinya akan disampaikan pula pada orang lain, dalam rangka "menjelaskan". Maka cukup jelas, bahwa tujuan berfikir tidak lain hanya sebagai upaya memenuhi kebutuhan pengetahuan tentang kebijaksanaan.

Bermula dari pemahaman baru tersebut bahwa berfikir tidak sekedar berfikir. Akhir-akhir ini ada semacam kebutuhan untuk meningkatkan taraf berfikir manusia, agar segala bentuk kebaikan dari keberadaan realitas kehidupan ini benar-benar menjadi kebaikan pula setelah diinternalisasikan ke dalam dirinya. Seakan-akan manusia dalam titik tertentu merasa tidak lagi cukup melihat "semata-mata" atau dengan pengamatan secara objektif terhadap benda-benda atau materi-materi di depan kita.

Untuk menjawab keresahan manusia tentang apa yang disebut objektif. Dengan cara pandang yang cukup ekstrem, marilah kita memberanikan diri untuk berfikir dengan cara demikian. Apakah kita pernah menanyakan perihal asal-usul dari sebuah benda di depan kita secara detail. Dengan instrumen pertanyaan; terbuat dari apa benda itu? Bagaimana cara membuat benda itu? Mengapa harus dibuat benda yang seperti itu? Apa sebenarnya benda itu? Fungsinya untuk apa benda itu? jikalau benda itu tidak kita gunakan sebagaimana fungsinya, memangnya kenapa? Seandainya benda itu tidak pernah ada, memang apa ruginya? Kapan waktu yang tepat menggunakan benda itu? Apa bedanya benda yang itu dengan benda yang ini?

Bagaimana? Apakah kita berani mempertanyakan benda-benda di sekitar kita dengan instrumen pertanyaan semacam itu. Bayangkan jika yang kita pertanyakan adalah benda-benda seperti gelas, gajah, sedotan, balsam, resleting, tutup botol, paku payung dan benda-benda fisik lainnya. Sangat mungkin kita bisa menguliti dengan sangat detail dari keberadaan benda-benda tersebut karena nyata dan dapat disentuh oleh indera. Namun, apakah memungkinkan, bila kita mempertanyakan hal-hal yang bukan benda fisik seperti agama, ideologi, tradisi, atau hukum adat, nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat. Sekalipun tidak dapat dikercap oleh indera, hal-hal demikian juga sangat mungkin untuk dipertanyakan. Kesemuanya itu, mulai dari cara berfikir yang cukup ekstrem, ditambah pula dengan instrumen pertanyaan yang sangat mendetail, tak terkecuali pula dengan objek yang hendak dipertanyakan, adalah bentuk lain dari cara berfikir tingkat tinggi yang dinamakan berfikir kritis.

Kita akan memulai memasuki dikotomi baru mengenai keterampilan berfikir yang akhirnya dikelompokkan menjadi keterampilan berfikir dasar dan keterampilan berfikir tingkat tinggi. Menurut Costa (1985) yang termasuk keterampilan berfikir dasar meliputi kualifikasi, klasifikasi, hubungan variabel, transformasi, dan hubungan sebab-akibat. Sedangkan keterampilan berpikir kompleks meliputi problem solving, pengambilan keputusan, berpikir kritis dan berpikir kreatif dan keterampilan berfikir kompleks ini yang dimaksud dengan berfikir kritis.

Apa itu berfikir kritis? Kita mulai dengan bertanya seperti itu. Secara teoritik menurut Chance (1986) mendefinisikan berfikir kritis sebagai kemampuan untuk menganalisis fakta, menghasilkan dan mengatur ide-ide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah. Berfikir kritis merupakan cara berfikir yang tak hanya berhenti setelah menemukan satu buah jawaban, untuk satu buah pertanyaan yang dilontarkan diawal. Cara berfikir demikian, memiliki fungsi untuk menemukan kepastian jawaban yang benar-benar mendasar dan tak terbantahkan, meskipun harus diawali rentetan panjang pertanyaan. Karena dengan ditemukannya kepastian jawaban yang murni dan mendasar dari sebuah fenomena, realitas, fakta atau permasalahan yang menjadi objeknya. Maka akan ditemukan pula keputusan, cara, atau solusi apa yang hendak diambil menghadapi objek-objek tersebut.

Dan yang paling penting dari cara berfikir kritis adalah terhindar dari kesesatan atau kesalahan berfikir dalam upaya menemukan keputusan, cara atau solusi yang hendak diambil. Berfikir semacam ini dapat dimulai dengan prinsip-prinsip umum yaitu melihat secara terperinci obyek yang akan dikaji secara objektif dan menghindari cara pandang yang sifatnya subjektif. Hal ini mengantisipasi tertutupnya kebenaran dari objek yang akan dikaji. Jika hal itu terjadi bisa dipastikan tahap-tahap untuk mencari detail selanjutnya dari objek yang dikaji akan tetap samar dan tidak akan mencapai solusi atau tujuan mendasar, karena unsur subjektifitas dalam melihat obyek sangat rentan akan interpretasi yang bukan berasal dari obyek itu sendiri, melainkan dari "pengalaman (pernah)" melihat objek.

Kemudian jangan pernah merasa puas dengan argumen-argumen awal dari penjelasan objek, lantas berhenti setelah mendengar argumen tersebut. Tapi harus terus dikejar kembali dengan mempertanyakan jawaban yang telah muncul. Begitu juga seterusnya. Dan Begitu juga setersunya, untuk tetap mempertanyakan tanpa henti jawaban yang muncul dan tetap menekankan prinsip untuk penuh dengan rasa curiga, keragu-raguan, dan tidak mudah percaya dengan pengamatan atau jawaban awal, sebelum rasa penasaran sirna dari benak hati, dan kebenaran yang asasi atau mendasar tegak berdiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun