Menurut Floyd L. Ruch (1967) ada tiga bentuk berfikir realistik meliputi deduktif, induktif dan evaluatif. 1) Berfikir Deduktif, berlangsung dari berfikir tentang realitas umum menuju realitas khusus. Cara berfikir demikian  berangkat dari fenomena dan peristiwa yang dianggap umum dan dipahami oleh banyak orang, kemudian direduksi hingga sampai menemukan titik temu pada fenomena atau peristiwa yang spesifik atau khusus. 2) Berfikir Induktif, merupakan pola berfikir yang bertolak dari sebuah fenomena dan peristiwa yang spesifik untuk ditarik hingga menghasilkan sebuah konklusi atau kesimpulan yang bersifat umum, dipahami banyak orang. 3) Berfikir Evaluatif, merupakan pola berfikir yang menempatkan pertimbangan segala aspek terhadap objek atau fenomena yang dihadapi. Pola berfikir evaluatif ini tidak bermaksud untuk merumuskan sebuah konklusi yang nantinya menjadi bahan dasar generalisasi.
Namun mencari celah dan kemungkinan-kemungkinan yang sifatnya preventif terhadap konklusi dari fenomena yang menjadi objeknya. Manusia sebagai subjek dalam memahami realitas dunia yang menjadi objek, dapat berangkat dari ketiga macam pola berfikir tersebut. Ketiga pola tersebut memiliki kelemahan juga kelebihan, namun pertimbangan yang demikian bukan berarti meletakkan ketiga pilihan berfikir tersebut pada derajat perbandingan "mana yang lebih efektif?"
ketika diimplementasikan lebih dari itu, ketiga pilihan berfikir tersebut bisa menjadi siasat cara untuk menguliti realitas kehidupan yang sifatnya kompleks. Berfikir telah menjadi pertaruhan paling fundamental bagi manusia. Karenanya, realitas kehidupan yang begitu luas tak terbatas dapat diterjemahkan secara sistematis dan konkret dalam koridor pemahaman manusia yang sifatnya terbatas.
Mengapa kita harus berfikir?
 Merupakan pertanyaan susulan yang terakhir menggiring tanda tanya kita menganai aktivitas berfikir yang hampir saja kita sepakat bahwa tidak lebih penting dari sekedar menghela nafas. Namun urgensi dari berfikir sebenarnya telah jauh diawali oleh beberapa manusia pendahulu kita pada masa para filsuf alam dari Elea. Salah seorangnya bernama Thales (625-545 SM) dengan produk pemikirannya, bahwa segala sesuatu di dunia ini berasal dari air, ia berangkat memahami realitas tidak menggunakan anggapan umum (common sense), namun dengan induktif yang bersifat rasional-logis. Namun kita tidak hendak memahami atau mengkritisi produk pemikirannya, lebih dari itu kita hendak melihat sebenarnya bagaimana seorang Thales berani memulai berfikir mengenai air sebagai sumber dari keberadan dan pembentukkan bumi disaat segala sesuatunya di zaman ketika Thales hidup, kerapkali disandarkan pada yang namanya cara berfikir mitologi atau kepercayaan pada mitos. Keberanian Thales dan buah hasil produk pemikirannya bisa kita proyeksikan sebagai stereotip dari seorang manusia yang memanfaatkan otaknya untuk meneguhkan dirinya (manusia) sebagai subjek, bukan objek sebagaimana paradigma mitos berkehendak.
Jauh setelah zaman Thales ditinggalkan yang mewarisi produk pemikiran yang begitu berharga dan begitu nikmatnya hingga di zaman milenium ketiga kini. Beberapa abad setelah Thales, abad ke-17 cara berfikir Thales dilanjutkan oleh seorang filsuf bernama Rene Descartes dengan diktumnya "Cogito Ergo Sum" artinya aku berfikir maka aku ada. Diktum tersebut meletakkan dasar pengertian bahwa realitas yang abstrak harus dipikirkan agar fungsi subjektifitas manusia menjadi adaptif dalam hidup ini. Rene Descartes merupakan filsuf yang mulai menata dan membukakan pintu yang lengang untuk ruang dialog manusia-manusia setelahnya, dengan produk kerangka berfikir yang metodis sistematis, dengan maksud menciptakan pondasi bangunan ilmu pengetahuan agar realitas yang sifatnya metafisik mampu diterjemahkan dalam kerangka bangunan ilmu pengetahuan yang sistematis, objektif, universal dan empiris.
Cogitu Ergo Sum secara bahasa "Cogito" berarti kepala atau pikiran. "Sum" diartikan hidup. Dan, "Ergo" diartikan aktivitas berfikir atau ilmu pengetahuan. Berangkat dari terjemahkan secara bahasa, dapat disandarkan pada bentuk analogi yang artinya manifestasi manusia yang berpikir dan memiliki produk dari pemanfaatan akal bernama ilmu pengetahuan akan digunakan sebagai pengejawantah realitas kehidupan, yang mana manusia berada didalamnya sebagai subjek. Cukup sederhana memahaminya; dunia kalau tidak terpikirkan olehku (manusia), maka dunia tidak ada.
Jika berangkat menggunakan perangkat berfikir studi tentang perilaku manusia dengan psikologi yang meletakkan pemahaman bahwa jiwa dan tubuh adalah terpisah. Maka proses berfikir yang terjadi pada manusia terletak pada jiwanya. Menurut Rene Descartes, jiwa adalah unsur "aku" dalam diri manusia yang memiliki kesadaran, dinamai olehnya dengan substansi berfikir yang berdiri sendiri dan ditopang oleh kuasa Tuhan. Dan tubuh adalah sebuah perangkat alat atau mesin yang berbeda dari jiwa.
Maka sudah cukup jelas jika aktivitas berpikir manusia menjadi sangat mendasar dari konsep yang telah disepakati diawal bahwa manusia sebagai subjek. Subjek yang meletakkan realitas kehidupan di luar dirinya sebagai objek, yang artinya segala bentuk aktivitas manusia yang sifatnya tampak atau tidak tampak, langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak merupakan hasil dari proses berpikir. Apa yang membuat kita harus berfikir merupakan pertanyaan yang tak kalah fundamentalnya. Ketika kita telah diberi perangkat lunak yang bernama otak dengan segala bentuk kelebihan dan kedahsyatannya, memungkinkan kita untuk memasukkan realitas dunia yang begitu luas tak terbatas untuk dikunyah menjadi enkripsi yang dapat dipahami oleh manusia, atau memerintah tubuh jasadiah kita untuk bertingkah laku sekehendaknya. Adakah pertanyaan lain tentang mengapa manusia harus berfikir jika sebenarnya jawaban dari pertanyaan tersebut sebenarnya telah termaktub dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab, 33: 72 (Bakran, 2012). Karena manusia itu bodoh dan bersikap aniaya. Lantas membuatnya takut untuk terbebani tugas yang berat memanfaatkan seisi alam semesta untuk kemaslahatan. Jika memang Allah SWT telah mengetahui bahwa manusia adalah salah satu mahkluk yang akan menerima beban paling berat yaitu memanfaatkan seisi alam ciptaan-Nya untuk kesejahteraan dan kebaikan sesama mahluk Allah SWT. Sedangkan pada saat yang bersamaan Dia tahu bahwa manusia adalah makhluk paling bodoh dan aniaya. Lantas apakah Allah SWT pada saat yang sama telah keliru untuk menyuruh kita berfikir, setelah memberi kita perangkat lunak paling canggih bernama otak.
Berfikir Dialogis Memulai Berfikir Kritis
Proses berfikir mendapat perhatian yang lebih serius setelah tokoh Psikologi strukturalis bermadzab behavioris mendapat kritik tajam dari madzab ketiga psikologi yang mengatasnamakan diri mereka madzab kognitif. Madzab kognitif menolak mentah-mentah madzab behavioris karena berubah menjadi sangat kolot dengan meniadakan aspek memori, atensi, afeksi, dan berfikir pada manusia. Madzab kognitif menyadari bahwa perilaku manusia tidak hanya sebagai hasil dari pembentukkan atau determinasi dari lingkungan yang mengkonstruk jenis dan bentuk perilaku manusia tertentu (Solso, Maclin & Kimberly, 2007).