Mohon tunggu...
Luhur Pambudi
Luhur Pambudi Mohon Tunggu... Staff Pengajar SOBAR Institute of Phylosphia -

Perut Kenyang Hatipun Senang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kulit Langsat & Jeans Ketat

25 Maret 2015   21:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:01 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu lalu salah seorang sahabat saya berkeluh kesah setelah diusir dari kantor administrasi dekanat fakultas, dikarenakan memakai celana jeans ketat. Bukan karena melanggar aturan larangan perempuan memakai celana jeans ketat yang lantas membuat ia bersedih, melainkan lebih disebabkan karena umpatan tidak sedap dari salah seorang petugas dekanat atau entahlah, mungkin dosen, yang menganggap sahabat saya yang mengenakan celana jeans ketat tadi tidak layak mendapatkan pelayanan publik yang ternyata lebih membuat ia sakit hati. Itu sepenggal kisah yang mungkin secara pribadi saya anggap sebagai anekdot belaka, dari sebuah aturan yang terlampau kaku yang diterapkan di sebuah institusi resmi pendidikan tinggi.

Bukan aspek pribadi dari teman saya itu yang menjadi sorotan penting. Melainkan kontradiksi antara hukum dan moral yang saya anggap itu adalah anekdot yang hebat.

Institusi menginginkan sebuah tatanan aturan baru yang bersifat baku dan serasi, sesuai dengan asas berpikir komunal yang sifatnya dogmatis, karena tidak lain dan tidak bukan akibat konsekuensi dari identitas yang telah disematkan para perintisnya terdahulu. Bertameng aturan yang terkonsepsi dari kitab-kitab yang turun dari langit, alih-alih bertujuan untuk memagari diri dan mengatur gerak tubuh institusi, malah menjelma bak dinding besar dihiasi lumut-lumut kolot yang tebal. Sikap reaksioner para korban dengan nada menolak adalah bentuk pembuktiannya. Karena peraturan yang dibuat secara sepihak oleh institusi secara tidak langsung memagari aspek moral secara sepihak pula, terkesan dipaksakan secara tendensius. Moral dalam diri individu-individu seperti bukan lagi sebuah satu kesatuan yang utuh, mungkin akibat beban sejarah dan beban identitas yang terlampau populer.

Parahnya, kemudian menciptakan pretensi yang bukan-bukan, perihal pembatasan diri individu dalam menempatkan dirinya sebagai salah satu komponen pranata dan struktur dalam terminologi strukturalisme fungsionalnya Emil Durkheim. Dogma Islam yang dianut para manusia-manusianya sudah jelas mengatur aspek hukum tak terkecuali aspek aturan moral di dalamnya. Mungkin itu yang menjadi dalih penguatnya. Semoga saja sementara.

Syariat Islam yang dikebiri berdasarkan asumsi orang-orang diluar lingkaran institusi dijadikan dalih mutlak untuk melegalkan segala aturan, menjadikan aturan yang bersumber dari ajaran langit itu seperti sebuah tata cara hidup yang sifatnya baku, tegak lurus dan mengikat erat, jika dilanggar bakal kena tebas. Dan diklaim menjadi solusi terakhir yang terbaik.

Mungkin ini imbas dari pemaksaan sebuah konsepsi penalaran yang semula bersifat irrasional yang semula dimaksudkan untuk mengatur sebuah mekanisme institusi pendidikan tinggi yang notabene adalah sebuah institusi yang mengedepankan rasionalitas dan kemandirian berfikir atas dasar asas obyektifitas ilmu pengetahuan, yang nantinya tidak menutup kemungkinan hadirnya asumsi-asumsi baru dari tatanan konsep lain, yang tidak berasalkan dari dogma yang bersangkutan ataupun hal-hal lain yang sifatnya irrasionalitas.

Jika ditarik ke dalam asumsi awal yaitu dalam rangka perbaikan dan prioritas kemajuan institusi, mungkin masih bisa diterima sekalipun sebatas tatanan konsep. Namun aspek lain yang penulis anggap ini patut mendapat sorotan, adalah pretensi yang tercipta akibat pemberlakuan aturan tersebut akhirnya memicu reaksi berlebihan dari individu di dalamnya untuk bersikap se-kaku aturan tadi. Umpatan yang menyudutkan teman saya diatas, atas umpatan “tidak layak” untuk mendapatkan pelayanan publik, adalah sebuah sikap konservatis yang teramat lucu.

Kita coba pisahkan pergulatan ini. Melucuti satu persatu, mana yang menjadi aspek hukum dan moral. Pemberlakuan larangan perempuan memakai celana ketat, mungkin saja dimaksudkan untuk; pertama menggaris bawahi dalam aspek moral, diharap akan terbentuk sebuah sikap baru, yang diklaim lebih baik, seiring pemberlakuan peraturan ini, karena tidak etis seorang perempuan menunjukan kemolekkan bentuk tubuhnya sekalipun disiasati oleh renda-renda atau ornamen-ornamen busana trendi masa kini, maka itulah alasan larangan itu ada. Kedua diikuti oleh bahaya laten yang muncul jika langkah preventif pertama tidak diberlakukan. Bahwa, secara tidak langsung akan memunculkan hasrat seksual negatif dari lawan jenis, jika kemolekkan tubuh yang terbalut dengan busana berornamen tidak disiasati oleh aturan yang mengikat pula. Singkatnya, untuk menanggulangi masalah etika dan moral atas tata cara berbusana kaum hawa yang terlalu vulgar karena hegemoni perubahan jaman, yang dapat menimbulkan bahaya laten hasrat seksual yang sifatnya negatif akan muncul dari kaum adam, maka aturan pelarangan celana jeans ketat diberlakukan.

Antara hukum yang diciptakan, dengan maksud untuk membentuk iklim moral yang serupa sifat-sifat hukum tadi. Dengan harapan yang sekaligus muncul untuk sebuah revolusi atau pembenahan degradasi moral. Apakah dimungkinkan bisa berkesinambungan. Padahal jika pembentukan iklim moralitas yang menjadi tujuan terpenting, menggunakan hukum sebagai legitimasi pelarangan oleh institusi yang bersangkutan, apakah bisa? Hukum hanya sebatas perangkat aturan yang secara fisik saja bisa dikatakan sah untuk mengatur sistem, mekanisme, ataupun komponen-komponen di dalamnya. Hanya perubahan atau perombakan secara fisik, bukan secara batiniah yang itu letaknya dalam hati nurani, yang jelas masuk dalam trem moralitas.

Hukum pelarangan celana jeans ketat hanya sebatas mengelabuhi aspek batiniah semata dari sebuah aturan, akan dikelompokan ke dalam daftar aturan yang sifatnya ceremony atau momentum belaka. Terbukti, mahasiswi-mahasiswi yang bersangkutan sebatas mematuhi aturan tersebut ketika berkepentingan untuk memasuki ruang administrasi dekanat, ruang dosen atau lingkungan kampus lainnya. Dengan siasat cara yang saya pribadi pikir begitu kreatif, mungkin itu cerminan sifat taktis, celana ketat tidak harus diganti atau dilepas, cukup menutupinya menggunakan rok panjang portable yang bisa dicopot dan dipasang semaunya, dimana saja, dan kapan saja. Dan rok portable itu juga boleh pinjam dari teman mahasiswi yang lain, yang bisa digunakan secara bergiliran. Tidak kurang anekdot apa lagi. Seorang mahasiswi akan mengidentikan kantor dekanat sebagai panggung pementasan, yang itu butuh persiapan kostum yang rumit sebelum memasuki ruangan. Konsepsi Dramaturgi sederhana Erwin Goffman telah menjelma dalam postulasi-postulasi tadi. Namun dengan premis yang begitu absurd saya pikir.

Jika aspek moral yang menjadi tujuan utama, tidak berarti harus melegalkan hukum yang mengikat dan kaku menjadi legitimasi yang harus dipatuhi. Dampak untuk aspek pembentukan perilaku yang diharapkan semula, jelas non-sense tidak ada apa-apa, karena hanya sebatas ceremony atau momentum semata, sementara dan tak bertahan lama, lahiriah dan bukan batiniah. Operant Conditioning hanya menempatkan reinforcement yang bersifat punishment serupa obat sakit kepala yang diminum tiga kali sehari. Ini mengidentifikasikan bahwa dari tatanan konsep saja pemberlakuan larangan celana ketat bagi kaum hawa di institusi bersangkutan sudah keliru dan salah kaprah.

Maka rujukan hukum yang semestinya adalah sebuah kesadaran atas hukum yang berkualitas dari Immanuel Kant, yang dirasa bersentuhan langsung dan mampu menanggulangi polemik moral yang dimaksudkan atas pemberlakuan larangan celana ketat tadi. Dalam bukunya Franz Magnis-Suseno, konsepsi kesadaran hukum yang berkualitas adalah kesadaran mengenai Moralitas, yaitu pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum. Sedangkan hukum itu sendiri harus tertulis dalam hati manusia. Sebuah hukum atau aturan dari luar hanya mengikat secara moral jika diyakini dalam hati. Karena moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.

Maka hukum yang ada saat ini, entahlah bersumber dari sifat-sifat dogma Islam atau dogma lain, yang dijadikan legitimasi untuk moral dalam pelarangan celana ketat, sudah terlihat jelas kontradiksinya. Bukan berarti aturan yang bermaksud mengatur moral yang sifatnya batiniah, dipaksa tekankan menggunakan sebuah konsepsi hukum yang sifatnya lahiriah semata, ditambahi dengan sekelumit ayat-ayat atau sabda-sabda yang sifatnya final dan tak bisa terbantahkan lagi, yang nantinya digunakan sebagai bumbu penyedap rasa sekaligus legitimasi yang tendensinya akan membatasi individu atas hak asasinya. Akibatnya semua komponen individu di dalam institusi yang bersangkutan seakan-akan memiliki otoritas untuk menggolongkan individu pada karung-karung jerami yang berlabelkan bersalah atau tidak bersalah. Dan, menvonis individu-individu yang berbeda dalam ceruk-ceruk berdosa atau bid’ah.

Tidak menutup kemunginan, tendensi untuk mengkafir-kafirkan juga akan muncul mengiringi setelahnya. Itulah kekhawatiran sebenarnya yang mengancam kita semua.

Pembentukan perilaku yang diperuntukkan sebagai perbaikan atau perubahan sistem yang tercermin dari aturan baru mengenai pelarangan celana ketat tersebut semestinya harus digodok bergantian dari satu tungku paradigma yang satu, ke tungku paradigma yang lain. Tapi jangan lupa harus sampai matang. Bukan hanya sebatas berhenti dalam satu tungku saja, yang itu malah sifatnya akan membatasi sekaligus mempertanyakan kematangan aturan atau hukum yang sudah dimasak sebelumnya. Apalagi batasan yang tercipta hanya berasal dari hasil godokan salah satu tungku saja yaitu dogma. Bisa saja? Tapi apakah kita sebagai individu-individu yang berada dalam sistem berketeraturan ilmiah berasaskan rasionalitas dalam penerapan ilmu pengetahuannya harus merelakan diri hidup dan bergantung dalam hukum atau aturan yang menjelma mirip cowboy di Texas. Tentunya tidak.

Jika bukan lagi hukum tertulis atau hukum yang berasal dari kata mufakat masing-masing kepala di dalamnya. Maka hukum hanya sebatas melihat siapa yang muncul dan mencari-cari siapa yang terlihat tidak serupa atau yang tak patuh pada aturan, kemudian dieksekusinya ditanah lapang tanpa pertimbangan ataupun telinga yang terbuka lebar untuk mendengarkan. Lantas apa bedanya dengan orang kebanyakan yang hidup dibelantara modernitas, sebuah peradaban baru, berisikan hewan-hewan rimba baru yang nyaman akan kebuasan satu sama lainnya.

Kita semua sadar konsekuensi memilih dan meyakini sebuah dalil-dalil yang turun dari langit. Bukan berarti konservatisme ikut menyelubunginya, klaim akan kebatilan dan kebaikan bukan otoritas para penganutnya. Syariat Islam yang digunakan mengantarkan kita kepada “keseakan-akanan” atas dasar kita hidup dan berada di sebuah wilayah atau kawasan untuk mematuhi dogma dan ajaran-ajaran kebaikan yang ada, dan harus dituntut untuk tidak bersinggungan dengan konsepsi yang sudah ada dengan asumsi tidak boleh dibantah sekalipun. Yang akhirnya menjadikan kita sendiri mengalami sesak nafas karena terlalu ketatnya jaket yang bernama dogma itu kita kenakan. Alih-alih ingin jaket itu dibuat longgar, dengan maksud merubah atau menyesuaikan dibeberapa bagian sana-sini, tapi apa daya berdasarkan tafsiran-tafsiran dari pemiliknya yaitu Tuhan, sudah memagari akan hal itu, untuk tidak terlalu mengusik bentuk jaket yang sudah diberikannya.

Akhirnya. Serangan penyakit kolot siap-siap diidap para penganutnya. Padahal bukan untuk itu, Si Empunya Semesta jelas tidak menyebut untuk semata-mata memahami tekstual dalam meyakini ayat-ayatnya. Maka dari itu ijtihad ada sebagai cara untuk tetap memurnikan kembali ayat-ayat yang sudah final itu tadi. Konyolnya lagi, orang-orang yang bersikap kolot seperti itu adalah orang-orang yang secara eksistensi sangat meyakini dogma tersebut. Biasanya adalah orang-orang yang berada di dalamnya sendiri, dengan kecenderungan sangat tau betul seluk beluk perintah dan larangan ayat-ayat suci tersebut, dan orang-orang sejenis itu akan selalu bersikukuh untuk tetap konsisten dalam penerapan skema beribadah atas konsekuensi keyakinan yang dipilihnya.

Walhasil orang-orang yang mengidap penyakit semacam itu, akan lupa dengan sendirinya, jika dirinya berada dalam sebuah institusi atau kawasan dimana akal dan rasio bisa menjadi alat atau pisau pembedah dan analisa yang luar biasa canggihnya untuk menjalankan fungsi mekanisnya yaitu dialektika.

Saya takut bukan hanya celana jeans ketat saja yang dilarang, lebih jauh lagi. Sorban, kopyah, jilbab full face dan keharusan untuk memelihara jenggot menjadi legitimasi baru untuk memagari anatomi rasio dan akal para cendikiawan dan para pemikir di tataran pendidikan tinggi.

Dikarenakan dogma itulah yang kita anut, lantas kita takut menyadurnya dengan rasionalitas Ilmu Pengetahuan. Entahlah, mungkin mereka memahami akal dan rasionalitas berpotensi sebagai ancaman kemurnian dogma Islam ala pemahaman mereka. Tapi kita semestinya percaya, bukan untuk itu ilmu pengetahuan disandingkan dengan irrasionalitas ajaran agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun