Setiap buah hati dipetik dari pohon hati terbaik khusus demi tumbuh kembangnya dalam menapaki jalanan kemana ia akan bergulir.Â
Saking beragam pepohonan yang tumbuh, karakter buahnyapun selalu unik karenya. Maka, tiada alasan untuk mengeluh kepada siapapun pilihan alam yang menjadi perantara kelahiran diri ini. Semua ibu itu ISTIMEWA! Terlepas dari betapa kejam ocehannya terlihat, namun terasa hangat dan haru jika ditilik dari sudut pandang anak yang memang haus pendidikan informal.Â
Tunggu, siapa yang meletakkan bawang merah disini?
Tidak perlu material lain untuk dibuat menangis karena Ibu. Entah karena diri ini tak merasa bersalah ketika dimarah, rasa empati Ibu yang tiada tanding tentang kondisiku, ataupun kadar emosi yang tak terbendung atas kecerobohanku. Semua itu menyadarkanku untuk berterima kasih, bukan menyesal ataupun menolak dengan keadaan.
Ketika kita menganggap Ibu itu "X", ingatlah, tak terhitung Ibu-ibu di luar pandang kita yang lebih "X". Tiada ibu yang tidak sempurna. Kesempurnaan Ibu justru ada pada variasi seni beliau dalam menjadi kompas keturunannya. Termasuk Ibuku, aku merasa beliau telah memecahkan stereotip terkait rutinitas seorang Ibu.Â
Walau jarang mengotak-atik pekerjaan rumah, beliau termasuk aktif dan mumpuni dalam melayani kesehatan masyarakat, menilai kebersihan sekitar, menahan pengisian nutrisi selagi ada pasien yang belum tertangani, dan mendidik anak dengan intonasi yang tak mempedulikan lokasi perkaranya. Sungguh kompleks dan langka. Tak jarang, aku diminta tolong memijat kepala, rambut, punggung, tangan, dan kakinya untuk membangkitkan semangatnya beraktivitas selepas sip malam jaga UGD Puskesmas.
Semenjak aku sadar bahwa Ibu seletih itu hingga mengorbankan kondisi fisiknya untuk merawat orang lain, prinsipku saat dimarah Ibu menjadi termodifikasi. "Terima kasih, Ibu masih mempunyai waktu untuk mengingatkanku untuk menegakkan kebenaran bagaimanapun respon orang lain," renungku, atau "Haiya, entah keganjalan apa lagi yang merasuki emosional Ibu. Sudah jelas tidak ada yang perlu diperdebatkan. Namun, yasudahla. Diiyakan saja biar Ibu bisa ngontrol level emosinya. Hm, apa dibuatkan kopi putih aja ya?" Pikirku di lain edisi.
Jika aku disemangati dengan teriakan cerianya, "Ayo, adik yang semangat!" Yang dibarengi dengan untaian pesan berlipat doa terkait kegiatanku selepas pamitanku dari Ibu, Ibu memiliki senjata khas nan penuh makna.
Kopi putih, itulah asupan yang lebih disukai ibu jika sedang menjadi The Power of Kepepet mengejar waktu presensi ke tempat kerja yang radius kurang dari 400 meter dari Mess kami. Tak lupa, aku berbalas bakti dengan membantunya menyetrika pakaian tugas, menjemur handuknya, dan menggeser ponselnya setiap 2 menit alarm berbunyi sebagai teman sejati kala kepepet.
Seiring usia bertambah, raga tumbuh, dan jiwa mendewasa, tidak terbayangkan olehku masih bisa berguru pada Ibu yang hampir setengah abad mengelana bentala.Â