Pulau Bali terkenal dengan kebudayaannya yang beragam dengan ciri khasnya didominasi oleh umat Hindu yang sehingga adat maupun tradisi mencolok sekaligus sebagai simbol kehidupan umat Hindu. Di tengah-tengah hari raya pun tradisi selalu menghiasi dan menyemarakkan hari raya, salah satunya adalah Hari Raya Galungan.
Hari Raya Galungan merupakan hari raya suci yang dirayakan oleh umat Hindu setiap 6 bulan Bali (210 hari) yaitu pada hari Buda Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan). Berbagai tradisi unik turut serta menghiasi serangkaian Hari Raya Galungan, mulai dari tradisi mamenjor. Mamenjor merupakan kegiatan membuat penjor. Penjor adalah bambu melengkung panjang yang dihiasi dengan rangkaian janur, penjor juga dilengkapi dengan beberapa hasil bumi seperti pala gantung, pala bungkah, pala wija . Penjor dianggap sebagai simbol dari Naga Basuki yang artinya kesejahteraan dan kemakmuran. Secara umum, penjor biasanya dipasang pada Penampahan Galungan. Hal ini bermakna ketika hari raya Penampahan Galungan kita sebagai manusia berperang melawan pikiran yang kotor maupun sifat negatif. Setelah berhasil memenangkan peperangan melawan pikiran serta sifat-sifat tersebut maka sebagai pertanda kemenangan dipasanglah penjor sebagai simbol kemenangan.
Seiring dengan tradisi mamenjor, pada hari Penampahan Galungan atau sehari sebelum Galungan juga terdapat tradisi unik yaitu mamunjung, tradisi ini biasanya dilakukan oleh beberapa umat Hindu pada wilayah-wilayah tertentu. Tradisi mamunjung merupakan tradisi mengunjungi kuburan dengan membawa sesajen berupa makanan yang telah dibuat saat Penampahan. Tradisi ini dilaksanakan apabila salah satu keluarga masih dikubur dan bwlum dilaksanakan upacara ngaben, maka keluarga wajib untuk mengunjungi makam sanak saudaranya.
Kemudian tradisi unik selanjutnya adalah tradisi ngejot tumpeng atau nekang tumpeng. Tradisi ngejot tumpeng ini biasanya dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Galungan. Tradisi ini ditujukan kepada pengantin baru yang menikah beberapa waktu menjelang Galungan dan berstatus belum memiliki anak. Seperti halnya tradisi lainnya, tentunya tradisi ini juga hanya dilaksanakan di beberapa tempat saja. Tradisi nekang atau ngejot tumpeng ini bertujuan untuk saling mengenali. Pengantin memperkenalkan diri kepada warga yang datang dan sebaliknya. Warga datang membawa tumpeng, pulangnya bawa tape. Ini merupakan suatu interaksi yang menunjukkan betapa kuatnya nilai-nilai persaudaraan dan kekerabatan.
Bertepatan dengan hari raya Galungan pula diikuti dengan tradisi melancaran, melancaran dalam artian ialah sesuhunan yang keliling desa setempat. Melancaran atau macecingak bertujuan agar masyarakat mendapatkan kesejahteraan dan keselamatan. Tradisi melancaran ini biasanya diiringi dengan iring-iringan masyarakat yang senantiasa berbahagia dan biasa disebut dengan ngiring.
Terlepas dari tradisi melancaran, ada pula tradisi ngelawang barong. Tradisi ini merupakan serangkaian tradisi unik yang dijalankan oleh pemuda-pemudi desa dimulai sejak hari raya Galungan hingga hari Pegatwakan. Tradisi ngelawang ini biasa disebut Dewan Galungan, tradisi ngelawang barong ini dipercaya dapat menolak bala serta melindungi masyarakat. Menurut kepercayaan Hindu, Barong merupakan lambang dari perwujudan Sang Banas Pati Raja yang melindungi manusia dari bahaya. Berasal dari kata 'Lawang' yang berarti pintu. Ngelawang dilakukan dengan mengarak barong bangkung dari rumah ke rumah sambil diiringi suara gamelan. Masyarakat desa setempat biasanya memberikan sesari atau uang kepada kelompok ngelawang sebagai wujud pemberian ihklas atas kreasi yang ditampilkan.
Serangkaian tradisi tersebut merupakan agenda tahunan yang lumrah dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Hindu di Bali dan tradisi tersebut berakhir sesuai dengan ketentuannya atau secara resmi berakhir pada Hari Pegatwakan, yaitu jatuh setiap enam bulan sekali tepatnya pada Rabu Kliwon wuku Pahang atau 35 hari setelah Galungan. Pegatwakan merupakan rangkaian terakhir dari Hari Raya Galungan atau menandai berakhirnya rangkaian Hari Raya Galungan. Dimana segala atribut serangkaian hari Raya Galungan dan Kuningan dilepas dan tradisi maupun rangkaian tersebut akan terus berulang setiap enam bulan sekali.
Ni Luh Listya Purnami
Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah/S1 Pendidikan Bahasa Bali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H