Mohon tunggu...
Luh Gede Wulan Kurnia Dewi
Luh Gede Wulan Kurnia Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Makna Hari Raya Kuningan serta Tradisi dalam Memaknainya

20 November 2021   09:13 Diperbarui: 20 November 2021   09:25 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Raya Kuningan adalah hari raya bagi umat Hindu yang jatuh pada Saniscara Kliwon, wuku Kuningan dan dirayakan setiap 6 bulan sekali. Tujuan hari Raya Kuningan adalah peningkatan spiritual dengan cara mengintrospeksi diri sehingga menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya, serta memohon kesehatan dan keselamatan agar terhindar dari segala mara bahaya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Berbeda dengan hari Raya Galungan yang dapat dilakukan upacaranya seharian full, hari raya Kuningan hanya dilaksanakan setengah hari karena seluruh energi yang ada pada alam semesta (Panca Mahabhuta) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaks pada bajeg surya (tengah hari). Apabila lewat dari tengah hari, upacara yang dilaksanakan akan kehilangan makna. Perayaan Hari Raya Kuningan juga ditujukan kehadapan para dewa dan Pitara untuk memohon tuntunan dan sebagai ucapan syukur atas anugerah yang telah diberikan. Ini mengapa hari Raya Kuningan hanya dilaksanakan setengah hari, dikarenakan para dewata dipercayai kembali ke kahyangan jika melewati jam 12 siang dan yang tersisa hanyalah para bhutakala.

Ciri khas dari Hari Raya Kuningan adalah dihaturkannya nasi kuning sebagai persembahan, nasi kuning mempunyai simbol kemakmuran sehingga diharapkan semua umat hindu merasakan kemakmuran dan kesejahteraan atas segala anugerah dan berkat yang dilimpahkan oleh Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain nasi kuning, terdapat sarana upakara yang identik dengan hari Raya Kuningan yaitu Tamiang. Tamiang memiliki bentuk bulat yang dirajut seindah mungkin dengan bahan dasarnya adalah janur dan tamiang dipasang dengan cara digantung di depan pintu rumah dan beberapa tempat. Nah apa filosofi dari Tamiang? Tamiang memiliki makna sebagai tameng atau pelindung, dimana disimbolkan bahwa tamiang menjadi perisai diri agar umat Hindu dapat mengendalikan diri dan nafsu yang bersifat buruk. Bentuknya yang bulat melambangkan sembilan penjuru mata angin (dewata Nawasanga), bermakna agar mendapat segala perlindungan dari berbagai arah.

Tamiang (dok. pribadi)
Tamiang (dok. pribadi)

TRADISI YANG DILAKSANAKAN PADA HARI RAYA KUNINGAN 

Terdapat beberapa tradisi yang dilakukan untuk memaknai Hari Raya Kuningan ini, Salah satu tradisi tersebut adalah "Mesuryak". Tradisi ini dilakukan secara turun temuran oleh masyarakat di desa Pakraman Bongan Gede, Kabupaten Tabanan tepat pada Hari Raya Kuningan setelah melakukan persembahyangan di pura Kahyangan Tiga. Tidak jelas kapan dimulainya, namun tradisi ini sudah dipercayai ada pada zaman nenek moyang sehingga tidak heran tradisi Mesuryak ini sudah mandarah daging. Diberikan nama tradisi Mesuryak karena pada saat dilakukannya tradisi ini yaitu dengan melemparkan sejumlah uang ke atas dan semua orang, baik itu tua muda, dewasa, anak-anak, perempuan ataupun laki-laki berbaur dan berdesakan untuk memperebutkan uang tersebut sambil berteriak (Mesuryak).

Mesuryak ini menciptakan suasana bahagia dan suka cita, dengan tradisi ini juga menjalin keakraban antar warga. Tujuan dari tradisi ini adalah menghantarkan roh leluhur yang turun pada saat hari Raya Galungan dan kembali ke surga saat hari raya Kuningan.Tradisi ini bukan hanya dilakukan dengan melempar uang secara asal-asalan, melainkan ada beberapa tahap dan sarana yang digunakan pada Tradisi Mesuryak. Tahap persiapannya yaitu dengan sarana yang lengkap (tamas atau daun kelapa yang dibentuk bundar dan dianyam sebagai alas banten, yang dihiasi kain dan bunga dan dilainkan antara simbol purusa dan pradana (laki-laki dan perempuan).

Tamas yang dipergunakan berbentuk besar atau biasa disebut dengan wakul yang berisi beras, jagung dan buah jali-jali. Setelah sarana dan prasarana sudah siap, warga membawa persembahan tersebut ke depan pintu masuk rumah, kemudian dipimpin oleh pemangku untuk melantunkan doa-doa. Setelah didoakan puncaknya adalah Mesuryak. Uang yang dilemparkan ini dulu berbentuk keping, namun seiring berjalannya waktu, sudah tergantikan dengan uang lembaran. Nilai dari uang tersebut tidak kaku, dapat digunakan pecahan Rp 500, Rp 1000, Rp 2000 dan seterusnya bahkan dollar pun tidak masalah.

Luh Gede Wulan Kurnia Dewi/2113041007/Biologi dan Perikanan Kelautan/Pendidikan Biologi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun