Agama Hindu di Bali memiliki sejumlah hari raya besar keagamaan yang selalu dirayakan oleh umatnya, salah satunya adalah hari raya Galungan dan Kuningan. Hal ini tentunya memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka yang belum terlalu mengenal Agama Hindu. Pulau Bali sendiri merupakan salah satu tujuan wisata yang kaya akan keindahan alam serta tradisi yang masih sangat kental dan terjaga hingga saat ini. Selain hari raya Galungan dan Kuningan terdapat banyak hari raya besar lainnya yang dianggap suci dan disakralkan oleh umat Hindu diantaranya adalah hari raya Nyepi, Sivalatri, dan Pagerwesi. Dimana setiap pelaksanaan dari hari raya tersebut didasarkan pada ajaran suci weda dan juga ditentukan oleh desa (tempat), kala (waktu), serta patra (keadaan). Hal ini lah yang menyebabkan adanya beberapa perbedaan dalam pelaksanaan yadnya disuatu daerah dengan daerah lainnya, namun hal ini tidak menjadi suatu pertentangan dalam kehidupan beragama. Setiap upacara keagamaan tentunya memiliki makna filosofis yang ada di dalamnya. Tidak hanya hari raya besar saja, namun setiap harinya selalu ada ritual maupun persembahan yang dilakukan oleh umat hindu.
      Hari raya Galungan merupakan hari raya umat Hindu yang datang setiap 6 bulan sekali dalam perhitungan Bali (210 hari) yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan. Hari ini juga diperingati sebagai kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan), secara rohani manusia mengendalikan hawa nafsu yang sifatnya mengganggu ketentraman batin yang nantinya berekspresi dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu pada hari raya Galungan ini diharapkan setiap umat Hindu memiliki pikiran yang suci dan bersih sehingga dapat menghilangkan semua pengaruh yang dapat membawa dampak negatif. Hari raya Galungan sangat identik dengan keberadaan penjor yang dipasang di tepi jalan. Pemasangan penjor sendiri merupakan salah satu bentuk persembahan ke hadapan Bhatara Mahadewa.
      Rangkaian dari pelaksanaan hari raya Galungan sudah dilaksanakan 25 hari sebelum hari raya Galungan berlangsung yakni pada hari Tumpek Wariga. Pada hari Tumpek Wariga umat Hindu menyajikan bubuh/bubur sumsum yang terdiri dari lima macam yakni bubuh beras putih yang dihaturkan kepada tumbuhan penghasil umbi-umbian, bubur beras merah dihaturkan kepada tumbuhan penghasil biji-bijian, bubur sumsum hijau dihaturkan kepada tumbuhan yang berbuah melalui penyerbukan putik, bubur ketan dihaturkan kepada tumbuhan yang berbuah pada batang, dan bubur beras injin dihaturkan kepada tumbuhan yang menghasilkan bunga dan minyak harum. Tumpek Wariga merupakan hari dimana umat Hindu memohon keselamatan untuk tumbuhan yang mereka miliki, dimana perayaan Tumpek ini ditujukan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Sangkara penguasa segala tumbuh-tumbuhan. Rangkaian hari raya Galungan selanjutnya yakni Sugihan Jawa yang dilaksanakan pada Kamis Wage Wuku Sumsang, dimana pada hari ini umat Hindu melaksanakan upacara yang disebut Mererebu. Rangkaian selanjutnya yaitu Sugihan Bali yang dirayakan pada Jumat Kliwon Wuku Sumsang yang memiliki makna sebagai penyucian diri sendiri. Rangkain selanjutnya dari hari raya Galungan yaitu hari Penyekeban yang memiliki makna filosofis untuk mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama. Dua hari sebelum Galungan disebut sebagai hari Penyajan yang dirayakan setiap Senin Pon Wuku Dungulan. Pada hari Penyajan dipercayai bahwa umat manusia akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu untuk melangkah lebih dekat menuju hari raya Galungan. Sehari sebelum hari raya Galungan disebut Penampahan, pada hari ini masyarakat Bali disibukan dengan pembuatan penjor sebagai rasa syukur kepada Tuhan, pemotongan hewan seperti ayam dan babi, serta pembuatan Banten Galungan. Hari selanjutnya yakni hari raya Galungan atau peringatan Dharma melawan Adharma. Pada hari raya Galungan umat Hindu disibukkan dengan kegiatan persembahyangan dirumah masing-masing hingga ke Pura yang terdapat pada wilayah mereka tinggal. Tradisi yang sering dijumpai pada hari raya Galungan salah satunya adalah tradisi pulang kampung, dimana umat yang berasal dari daerah lain atau dalam perantauan akan menyempatkan diri untuk pulang ke daerah asalnya masing-masing untuk melaksanakan persembahyangan. Sehari setelah Galungan adalah hari Umanis Galungan yang dimana umat Hindu biasanya akan melaksanakan persembahyangan dan dilanjutkan dengan Dharma Santi dan saling mengunjungi sanak saudara ataupun tempat rekreasi untuk mempererat tali persaudaraan.
      Setelah hari raya Galungan berlalu maka umat Hindu akan melewati beberapa hari keagaman serangkaian dari hari raya Galungan menuju hari raya Kuningan. Setelah hari Umanis Galungan yang jatuh pada Kamis Umanis Wuku Dungulan maka hari keagamaan selanjutnya adalah hari Pemaridan Guru yang jatuh pada Sabtu Pon Wuku Dungulan, dimana pada hari ini umat Hindu nyurud/ngelungsur waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Guru. Pada Minggu Wage Wuku Kuningan dirayakan sebagai hari Ulihan yang bermakna bahwa pada hari itu para dewata dewati serta leluhur kembali ke kahyangan dengan meninggalkan berkat dan anugrah kepada kita. Hari selanjutnya yakni Pemacekan Agung yang merupakan simbol dari keteguhan iman umat manusia atas segala godaan selama perayaan hari raya Galungan. Kemudian 10 hari dari hari raya Galungan diperingatai sebagai hari raya Kuningan.
      Hari raya Kuningan adalah hari raya umat Hindu yang jatuh setiap 6 bulan sekali menurut perhitungan Bali pada hari Saniscara Kliwon Wuku Kuningan. Hari raya Kuningan berasal dari kata Kuningan yang bermakna Kauning yang berarti mencapai peningkatan spiritual diri yang dilakukan dengan cara intropeksi diri agar terhindar dari marabahaya. Hari raya Kuningan dirayakan oleh umat Hindu dengan cara memasang tamiang, kole, dan endong. Tamiang sendiri merupakan simbol dari senjata Dewa Wisnu karena menyerupai Cakra, Kolem merupakan simbol dari senjata yang dimiliki Dewa Mahadewa, sedangkan Endong merupakan simbol kantong perbekalan yang dipakai oleh para Dewata dan para Leluhur saat perang melawan Adharma. Pada hari raya Kuningan nasi atau tumpeng yang digunakan tidak berwarna putih seperti biasanya, mereka akan menggunakan tumpeng dan nasi berwarna kuning pada hari raya Kuningan. Warna kuning sendiri memiliki makna yaitu kebahagiaan, keberhasilan, dan kesejahteraan. Hal lain yang harus diperhatikan pada hari raya Kuningan adalah persembahyangan sudahlah harus selesai pada jam 12 siang. Hal ini disebabkan karena persembahyangan yang dilakukan setelah jam 12 siang hanya akan diterima oleh Bhuta Kala, sebab para Dewata semuanya telah kembali ke Kahyangan.
      Hari terakhir dari serangkaian perayaan Galungan dan Kuningan adalah hari Pegatwakan. Hari Pegatwakan dilaksanakan dengan cara umat Hindu melakukan persembahyangan dan mencabut penjor yang telah dibuat dan didirikan. Penjor tersebut nantinya akan dibakar, serta abunya akan ditanam di pearangan rumah. Hari Pegatwakan ini jatuh pada Rabu Kliwon Wuku Pahang atau sebulan setelah hari raya Galungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H