Mohon tunggu...
Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono Mohon Tunggu... Swasta -

Remah-remah roti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Teman Nyopet Teman

9 Mei 2019   01:27 Diperbarui: 9 Mei 2019   01:54 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mas HP-ku mana?"


Aku yang baru saja duduk di tribun lalu berdiri biar lebih mudah mengambil HP di saku celana.
Tapi...
Tanganku kananku sontak meremasi dahi ketika tangan kiriku tak menemukan dua HP di saku celana kiriku.
Ya, dua HP. Punyaku dan adikku.
"Kecopetan!"
Suaraku bernada tinggi itu membuat penonton yang duduk di sekeliling menatapku. 
"Kok bisa mas?" tanya salah satu penonton yang duduk di belakangku.
Aku langsung permisi untuk meminjam HP penonton penanya itu untuk menghubungi nomor telepon HP-ku yang hilang. Benar saja, nomorku sudah tidak aktif lagi.
Adikku yang duduk di sampingku diam saja. Kutepuk pipinya. "HP kita hilang dicopet." Dia hanya mengangguk.
Dua HP yang tak kutemukan di saku celana membuatku tak semangat lagi menonton pertandingan sepakbola klub kota asalku. Ingin rasanya pulang saja ke rumah melepaskan semuanya. Tapi, sudah kepalang tanggung. 
Pertandingan itu sebenarnya tak begitu istimewa. Hanya pertandingan persahabatan untuk mengenalkan seragam kesebelasan yang akan dipakai klub itu untuk mengarungi kompetisi mendatang.
Sebenarnya aku sudah tidak begitu suka dengan klub itu setelah dualisme kepengurusan sembilan tahun lalu yang tak kunjung usai. Hanya aku ingin sekali-kali menyenangkan adikku. Dia yang dua belas tahun penggemar beratnya. Wajar. Hampir semua anak-anak di kotaku atau bahkan semua orang bangga dengan klub yang sudah memiliki nama besar itu.
Kebetulan aku sudah mengatur libur di kantorku beberapa hari sebelumnya. Biar bisa pulang ke kotaku untuk menonton sepakbola. Setidaknya untuk menyenangkan adikku. Pertandingan sebulan lalu lawan klub rival aku tidak bisa mengajaknya menonton karena tidak mendapat izin libur dari bos.
Aku kini mungkin menjadi satu-satunya orang yang berminat mengajak adikku nonton bola. Dia kesepian dan jarang ada yang mengajaknya jalan-jalan untuk sekedar menghiburnya semenjak bapak kami mati enam bulan lalu. 
Adikku senang sekali ketika aku pulang dari kota tetangga ketika libur sepekan sekali. Aku ajak dia jalan-jalan, nonton bioskop, belanja, ke tempat-tempat rekreasi dan yang paling buat dia senanng nonton pertandingan klub kotaku.
***
Sembari menatap sekeliling dengan pikiran yang sudah suram, kuingat peristiwa beberapa menit sebelumnya. Kami berdua masuk ke dalam stadion tiga puluh menit sebelum pertandingan dimulai. Setelah kami yang datang sejak sore puas berbelanja di stan-stan, foto-foto dan makan sore di luar stadion.
Ya, aku cukup senang sore itu. Bonus sebesar satu kali gaji yang masuk kemarin hari di rekening kubuat menyenangkan kami berdua. Kami beli sejumlah atribut asli dari stan resmi klub yang berdiri di halaman luar stadion. Harganya memang lebih mahal. Tapi keren sekali bisa pakai atribut asli. 
"Bagus-bagus atributnya. Tapi mahal gak apa-apa tah?" tanya adikku yang kuatir uangku habis.
"Gak apa-apa. Uangku masih banyak kok. Hahaha."
"Seenggaknya kalau kita beli atribut asli bisa buat bantu-bantu klub gaji pemain biar mainnya semangat terus menangan. Meskipun kita cuma beberapa ratus ribu sih," ucapku sembari tersenyum.
Setelah makan ayam bakar di pinggir parkiran stadion, kami masuk ke dalam stadion. "Mas, aku titip HP ya," kata adikku di depan toilet setelah aku kencing.
"Ya, mana sini."
Aku masukkan HP-nya di saku celana kiriku. Jadi satu dengan HP-ku. Dari toilet, kami naik tangga menuju tribun di belakang gawang. Di tribun itu masih lengang. Belum banyak penonton yang mendudukinya. Kami lihat di tribun timur, sudah banyak penonton tapi masih banyak kosong. Biar lebih jelas saja menontonnya dibandingkan di belakang gawang.
Kami bergeser. Kami harus melewati pagat besi pembatas dengan pintu kecil yang hanya bisa dilewati satu orang secara bergiliran. Saat semakin dekat dengan pintu besi, sekitar lima orang dari arah berlawanan berlari cepat. Satu dari mereka bergelantungan berlagak seperti orang mabuk.
Kami berdua menahan diri untuk tidak melewati pintu itu sebelum mereka lewat. Tapi, mereka seakan bertahan di tengah pintu. Sampai sekelompok lain datang dari arah kami. Di belakang kami, mereka sedikit mendorong mengarahkan kami melewati pintu sekalipun kelompok di depan kami masih bertahan di pintu. 
Sampai terjadilah desak-desakan. Kejadiannya begitu cepat. Mereka semua langsung menghilang. Sempat aku rogoh dompet di saku belakang, dan masih ada.
***
HP adikku tidaklah mahal. Tidak semahal HP-ku keluaran agak baru yang baru kubeli dua bulan lalu dari uang tabunganku selama sekian bulan.
Adikku sayang sekali dengan HP-nya. HP itu bekas almarhum bapak kami. Setelah bapak mati, HP itu dipakainya. Seperti anak-anak sebayanya, dia pakai HP itu untuk main game, main media sosial, chattingan dengan temannya atau lihat infromasi dam saling komentar seru-seruan di grup WhatsApp dengan teman-teman sekolah dasarnya.
Tidak seperti ketika masih di dalam stadion. Selepas keluar stadion seusai pertandingan, adikku banyak bercerita tentang peristiwa pencopetan tadi.
"Aku tadi sudah merasa gak enak sebelum tanya mana HP-ku. Aku tadi tanya cuma buat ngecek aja, ternyata benar memang sudah hilang,"
"Padahal baru aku isi paketan internetan lima puluh ribu."
"Hmm. Banyak uang kamu ternyata ya?" candaku.
"Nggak mas. Itu dari tabungan. Kan aku tiap hari dikasih uang jajan ibu lima ribu. Aku cuma buat jajan dua ribu, yang tiga ribu buat ditabung. Buat beli paketan internet. Itu baru tiga bulan habis paketannya"
"Sekarang gak bisa lagi lihat grup WhatsApp sekolahan. Di situ banyak infonya. Gak tahu besok jadi libur gak ya awal hari puasa. Nanti saja tanya Pieter"
"Kemarin aku belum selesai buat video perpisahan. Aku udah kumpulin lho foto-foto bareng teman-teman. Aku mau buat kumpulan foto jadi video buat bentar lagi kalau udah lulus kelas enam ini. Udah selesai sebagian sih. Tapi hilang semua hehe."
Mataku langsung berkaca mendengar cerita adikku. "Ntar ya aku ganti sama yang baru. Tapi ntar agak lama. Aku masih belum punya uang."
Aku sendiri cukup pusing dengan hilangnya HP-ku. HP yang harganya agak mahal itu kubeli bukan untuk gaya-gayaan. HP itu satu-satunya alatku bekerja. Semua tentang dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kerjaku hilang semua.
"Nggak mas. Nanti aku biar nabung saja buat beli yang baru. HP merk itu lho bagus, harganya juga gak mahal kok. Ntar kalau uangnya udah terkumpul beberapa tahun lagi, harga HP-nya juga nanti sudah turun."
***
Pembahasan mengenai hilangnya HP-ku jadi bahan pembicaraan teman-teman di kota tempatku bekerja. Kota tempatku bekerja suporter bolanya rival abadi dengan suporter klub bola kota asalku. Berpuluh tahun mereka berseteru sampai saling olok. Akupun tak luput dari olokan ketika tiba di kota tempaku bekerja. 
"Masih mending orang kita ya, maling gorengan." 
"Iya, daripada mereka nyopet. HP punya sama-sama suporter satu klub dicopet. Teman nyopet temannya. Hahaha." (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun