Seandainya saya sekarang jadi Menteri Agama (Menag), saya juga akan pusing memikirkan fenomena kabar hoaks dan ujaran kebencian di media sosial. Beberapa tahun belakangan, fenomena ini menjadi tren. Pihak yang tidak bertanggungjawab sengaja menyebarkan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk meraih kepentingan pribadinya.
Parahnya, mereka juga tidak segan menyebarkan hoaks bernada ujaran kebencian yang menyinggung suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Sebab, barangkali dari hasil riset mereka, hoaks bertema SARA banyak diminati masyarakat.
Celakanya, dampak dari hoaks SARA ini cukup besar bagi masyarakat. Hoaks semacam ini bisa berpotensi merubah pikiran orang menjadi radikal, permusuhan antara SARA dan dapat memecah belah bangsa. Nah, sebagai menteri, saya tentunya juga harus berpikir bagaimana cara mengantisipasinya. Tentunya sesuai kapasitas saya sebagai Menteri Agama. Berikut empat cara yang akan saya lakukan terlebih dahulu untuk menangkal kabar hoaks dan ujaran kebencian.
1. Mendukung Penegak Hukum Proses Penyebar Hoaks dan Pengujar Kebencian SARA
Dua terdakwa penyebar hoaks dan ujaran kebencian diadili di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya akhir ini. Terdakwa pertama Moch. Faisal Arifin alias Itong. Anggota ormas ini melalui akun Facebooknya bernama Bang Itong sebelumnya membagikan ulang postingan dari akun lain dengan kalimat yang dianggap merendahkan Ketua Umum Nahdatul Ulama (NU) Said Aqil Siradj pada pertengahan 2017 lalu.
Dua pekan lalu, majelis hakim memvonisnya tujuh bulan penjara. Postingan itu dianggap majelis dapat menimbulkan konflik suku, agama, ras (SARA). Itong dinyatakan terbukti melanggar Pasal 45A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 Undang-undang RI Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE)
Terdakwa kedua Dwi Handoko. Mirip dengan kasus Itong, mahasiswa perguruan tinggi swasta kesenian di Surabaya ini diadili karena menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Melalui akun Instagramnya, dia mengunggah gambar yang berisi tulisan menyamakan Tuhan dengan dajal. Pekan lalu, Jaksa penuntut umum (JPU) Agung Rokhaniawan menuntut terdakwa dua tahun penjara. Dia juga dianggap melanggar pasal yang sama dengan Itong.
Diadilinya dua terdakwa perkara ITE ini menunjukkan jika proses hukum terhadap penyebar hoaks dan pengujar kebencian di medsos terus berjalan. Seandainya saya jadi Menteri Agama, saya akan mendukung penuh penegak hukum dalam perkara ini. Dukungan yang bisa diberikan di antaranya dengan menyiapkan ahli agama untuk menjadi saksi dalam proses penyidikan di kepolisian sampai persidangan di pengadilan.
Penegak hukum tanpa bantuan ahli agama tentu tidak bisa menyimpulkan sendiri apakah perbuatan pelaku menyinggung SARA atau tidak. Di sini peran Kemenag sangat dibutuhkan untuk membantu menyiapkan ahli agama sebagai saksi ahli. Kemenag memiliki peran yang lebih baik karena melingkupi enam agama yang diakui negara. Karena itu dengaj kewenangannya akan lebih mudah untuk menyiapkan ahli agama dari semua agama. Sebagai Menag, saya akan mendukung penuh upaya ini.
2. Standarisasi Pemuka Agama
Tidak dipungkiri, penyebaran ujaran kebencian dan hoaks sebagian dilakukan oleh pihak-pihak yang mengklaim sebagai pemuka agama. Saat mereka mengatasnamakan dirinya sebagai pemuka agama, akan banyak pengikutnya yang percaya terhadap setiap ucapan yang keluar dari mulutnya. Entah ucapan itu benar, baik atau tidak. Apalagi kalau ujaran kebencian dan kabar hoaks itu disampaikan di tempat-tempat ibadah akan lebih banyak dipercaya meskipun kenyataannya tidak benar. Sebab, penilaian pemuka agama sebagai representasi dari agama itu terus melekat.