Sudah beberapa lama dan sampai saat ini situs penyedia ranking situs web, Alexa menempatkan Tribunnews sebagai portal berita nomor 1 di Indonesia. Salah satu pertimbangannya karena media grup Kompas Gramedia ini paling banyak diklik oleh pembaca.
Namun, meski sebagai jawara, Tribun masih belum dapat disebut sebagai media yang sempurna. Sebagai media daring yang tumbuh di tengah rendahnya minat baca masyarakat, Tribun selalu berusaha menyiasati agar beritanya dibaca pembaca. Salah satunya dengan membuat judul sensasional bombastis agar dapat menarik orang untuk mengklik situsnya.
Saya beberapa kali menjumpai berita yang mungkin karena editornya berpikir keras agar pembaca mengklik, judulnya lebih sensasional daripada isi beritanya. Ini yang belakangan dikeluhkan pembaca. Beberapa kali judul tidak sesuai dengan isi berita.
Selain itu, prinsip media daring yang mengutamakan kecepatan tidak jarang mengabaikan keakuratan. Wartawan di lapangan dituntut melaporkan berita secepatnya. Sementara editor seringkali langsung mengunggahnya. Tidak heran, apabila pembaca sering menemui salah tulis, salah tanda baca, atau bahkan yang lebih fatal, yakni salah data.
Potret semacam ini sebenarnya tidak hanya ditemukan pada diri Tribun saja, tetapi hampir seluruh media daring memiliki kecenderungan sama. Nah, namun Tribun selama ini yang lebih dikenal sebagai trendsetter media daring. Maklum, apabila Muhammad Heychael dalam tulisannya di Remotivi mengkritik Tribun. Dia dalam tulisan berjudul "Bagaimana Tribunnews Membantu Terorisme?" mengkritik pola pemberitaan Tribun soal terorisme yang belakangan terjadi.
Pada awal membaca tulisan itu saya kagum karena merasa mendapatkan pencerahan wawasan baru. Di alinea pertama sampai setidaknya alinea lima cukup informatif. Dia mengkritik pemberitaan Tribun sekaligus memaparkan bagaimana media seharusnya memberitakan terorisme.
Saya berharap akan semakin mendapatkan pencerahan ketika membaca alinea-alinea berikutnya. Namun harapan saya tidak tercapai. Alih-alih mendapatkan informasi mengenai pemberitaan terorisme yang baik dan benar, penulis justru menghakimi Tribun dengan sangat tendensius. Bagi saya ini bukan kritik lagi.
Pembahasan mulai melebar, dari awalnya mengkritik pemberitaan Tribun tentang terorisme menjadi seakan evaluasi terhadap berita Tribun secara keseluruhan dari semua tema. Saya juga mempertanyakan lead penulis yang menyatakan semua media telah berbenah kecuali Tribunnews.
Saya merasa Tribun telah berusaha berubah. Salah satunya, dulu mereka yang saya ingat suka memberitakan seks tetapi kini mulai berkurang. Mengapa seks? Karena tema itu paling banyak dibaca.
Tribun memang masih belum sempurna dalam menjalankan kerja jurnalisme, tetapi menghakimi seorang Tribun saja yang salah, tidak adil. Saya menjadi curiga, jangan-jangan penulis sebelum ini punya masalah pribadi dengan Tribun? Tapi yang jelas dari gaya tulisannya, bisa dilihat kalau penulis menulisnya lebih dominan menggunakan emosi daripada nalar.
Di sisi lain, jurnalisme tidak selalu harus seserius seperti pemahaman Heychael yang harus membuat laporan seserius Tirto junjungannya. Ada kalanya, jurnalis bisa memberitakan sisi lain dari satu peristiwa yang tentu saja memiliki nilai berita. Tentu saya tidak perlu menjelaskan apa itu nilai berita, karena Heychael lebih pandai dari saya. Ini sebagian sudah dijelaskan Pimred Tribunnews Dahlan Dahi dalam jawaban tertulisnya. Untuk ini, saya sepakat dengan Tribun.