Minggu (13/5) sekitar 1500 BMI di Hong Kong melakukan demontrasi di depan gedung Indonesia, tempat KJRI berkantor. Dalam tulisan ini saya tidak membahas tentang demonstrasi itu tetapi selentingan dari dalam kerajaan KJRI.
Sambil memperhatikan ribuan BMI yang begitu antusias meneriakkan tuntutan penghapusan KTKLN dan pencabutan UU 39/2004, saya berdiri di pojok pintu KJRI yang biasa digunakan sebagai pintu keluar masuk staff KJRI di hari Minggu.
Disitu saya mendengar selentingan beberap staff KJRI, "Ini lagi ada ujian UT, jangan ganggu donk!" tekanan yang ingin disampaikan bukanlah berita bahwa di KJRI sedang ada ujian UT, karena informasi itu tidaklah terlalu signifikan untuk segera diberitakan. Saya meyakini, bahwa demo yang diikuti oleh 1500 BMI itu cukup menggentarkan staff tersebut sehingga dia merasa terganggu.
Selentingan kedua dari staff lain yang berbicara dengan sesama staff KJRI, "Telpon polisi, ganggu aja." Apa yang terjadi sebenarnya? Ini tanda (sign) bahwa ucapan staff KJRI itu adalah respon yang paling asli terhadap aksi demonstrai BMI di Hong Kong. Respon semacam itu adalah akumulasi internal KJRI yang dikembangkan dalam rapat-rapat internal. Ucapan mulut itu berasal dari otak, susunan kata-kata di otak terbentuk karena seringnya mendengar sesama rekannya di KJRI yang mengatakan bahwa demo BMI itu menganggu, bising dan liar. Kemungkinan mereka berpendapat para pendemo itu adalah BMI yang tidak ada kerjaan, kasar dan culas.
Seandainya dugaan saya ini benar, maka sangatlah sulit bahkan mustahil diharapkan akan ada loncatan kualitas pelayanan publik dari KJRI di Hong Kong. Mengapa demikian? Karena adanya kekeliruan berpikir yang berkepanjangan. Sebagai tawaran solusi, KJRI sebagai institusi negara, mestinya berani berdinamika di luar batas secara positif. Artinya, melihat fenomena sosial bukan secara legal formal semata tetapi berani melakukan pendekatan progresif sehingga cara pandang positivisme itu bergeser kepada cara pandang responsif.
Dengan demikian, ketika mata melihat demonstran di depan gedung tempatnya bekerja, otak akan mengolah dan berpikir bahwa ada sesuatu yang harus ditinjau ulang (review) tentang kualitas aturan dan pelayanan yang selama ini diberikan kepada publik. Cara berpikir dan jawaban seperti ini akan mengenyahkan kebiasaan buruk dengan menjawab bahwa, "Semua sudah sesuai aturan"
Kalau saja tawaran ini diterima, maka KJRI di Hong Kong tidak perlu repot-repot menugaskan Polisi Indonesia (dengan kaca mata hitam) untuk mengawasi gegap gempitanya demonstrasi BMI seperti yang terjadi hari Minggu (13/5). Dengan demikian peran konsul kepolisian di KJRI Hong Kong yang baru saja ditambahkan dalam jajaran konsul di KJRI Hong Kong bisa dimaksimalkan untuk hubungan diplomatik yang lebih strategis.
Semoga diterima atau paling tidak terbawa menjelang tidur malam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H