Mohon tunggu...
Ludovicus Mardiyono
Ludovicus Mardiyono Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis buku "Kingdom Leadership"

Kingdom citizen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dialog atau "Brain Wash"?

2 Mei 2012   03:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13359372841307329119

[caption id="attachment_185659" align="aligncenter" width="429" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Oleh: Ludovicus Mardiyono. Tulisan ini semoga diterima sebagai daya ungkit dalam mencari jawaban permasalah Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Hari Minggu lalu (29/4), Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong mengadakan dialog dengan mengundang beberapa perwakilan organisasi massa, serikat buruh, majelis Tak'lim dan kelompok budaya di Hong Kong. Selain mereka, KJRI di Hong Kong juga mengundang beberapa Media (tapi sayang Koran Indonesia tidak dapet undangan, mungkin lupa, tapi kalau lupa kog tiap hari?). Walaupun tidak hadir, namun informasi lengkap sampai kepada saya dan membuat saya gelisah dengan upaya "Dialog" yang digagas oleh KJRI di Hong Kong. Setting ruangan dialog dibuat menjadi ruang pesta dengan meja bulat yang dikerumuni oleh kursi-kursi disekitarnya. Acara diawali dengan pemaparan dari pihak Konsulat tentang keberhasilan KJRI dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada BMI di Hong Kong. Pemaparan "keberhasilan" itu sifatnya sangat kuantitatif dan normatif, seperti yang selalu dilakukan delam semua pertemuan KJRI. Sepertinya misalnya, "Jumlah BMI di Hong Kong sudah mencapai angka tertentu, KJRI sudah berhasil mengurus sekian puluh perceraian, KJRI sudah memulangkan mayat BMI ke kampung halaman dan seterusnya. Setiap kali mendengar data-data kuantitatif normatif yang selalu dibacakan oleh konsulat, dipikiran saya selalu bertanya, "Mengapa penyelenggara negara di negara perwakilan tidak mencoba memahami dialektika sosial yang bergejolak kencang sekali?" "Mengapa tidak terjadi loncatan kualitatif emipiris dalam pelayanan dan perlindungan BMI di negara perwakilan?" "Mengapa tidak dicoba untuk dibicarakan tuntas kontradiksi yang nyata-nyata ada dan jelas diteriakan oleh beberapa organisasi Maju yang tergabung dalam Aliansi Cabut UU 39?" Dalam "dialog" tersebut, yang terjadi malah sebaliknya, yaitu upaya negara (melalui kerajaan KJRI) untuk meminimalisir gerakan sosial (social movement) dalam menyampaikan aspirasi melalui semua cara yang kreatif. Sementara Konvensi ILO 87 dan 98 yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjamin kebebasan setiap orang untuk beroganisasi, berserikat dan menyampaikan pendapat dengan semua cara yang mungkin dilakukan. Namun dengan jargon "demi kesopanan" KJRI memperingatkan gerakan prodem untuk tidak melakuan hal-hal yang menurut KJRI tidak sopan. Rupanya KJRI lupa bahwa interpretasi kesopanan bukanlah domain KJRI. Untuk menilai seseorang sopan atau tidak itu haruslah diserahkan kepada dinamika sosial yang ada di masyarakat. Sesuatu hal yang dinilai "sopan" minggu lalu belum tentu "sopan" minggu depan, artinya tidak ada makna yang mutlak kecuali keberadaan sang pencipta alam semesta. Mengamati apa yang terjadi di hari Minggu (29/4) lalu di ruang Ramayana, saya melihatnya sebagai upaya brain-wash dan jauh dari nuansa dialog produktif. Saran dan usualan Bagi gerakan prodem di Hong Kong, asosiasi, serikat buruh atau (kalau ada) kelompok agama yang progresif, tetaplah bersuara di jalur massa yang sadar untuk perubahan sosial. Sekiranya lembaga negara seperti KJRI yang dijalankan oleh "subyek" yang sudah melewati rumitnya proses birokrasi bisa dijadikan partner perubahan, tidak salah kalau kita jadikan KJRI sebagai strategic partner dalam setiap langkah kualitatif. Namun, jika sebaliknya, saya mendorong setiap gerakan prodem untuk tidak berhenti bersuara bahkan harus bersuara makin keras. Buat KJRI "tidak nyaman" sehingga mereka akan terus memiliki energi untuk perubahan itu. Hal ini penting bukan saja untuk BMI di Hong Kong tetapi juga untuk kinerja KJRI di Hong Kong. Bisa jadi, jika karena dorongan gerakan prodem, KJRI Hong Kong akan menjadi konsulat yang paling maju dibanding dengan konsulat di negara lain. Untuk kawan-kawan di KJRI, saya percaya semua di KJRI memiliki hati yang besar dan sabar untuk berproses dalam perubahan ini. Terimalah kritik sebagai sanjungan dan jadikan itu energi untuk selalu lebih baik dan produktif setiap hari. Sekali lagi, bacalah tulisan diatas dengan visi perubahan, sehingga setiap yang sempat membaca akan mencintai kritikan dan senang melakukan terobosan. Terimakasih!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun