Bullying di sekolah dan bagaimana mengatasinya
Beberapa tahun terakhir ini, kita seakan tiada hentinya disuguhi  kasus kekerasan yang dilakukan anak-anak kita terhadap teman-temannya. Dan akhir-akhir sudah dilakukan oleh anak-anak sekolah dasar, dimana anak-anak bangsa tersebut masih berusia dini. Kisah yang baru saja terjadi adalah kasus kekerasan fisik (physically bullying) terhadap salah seorang siswi di kelas V di SDS Trisula Perwari Bukittinggi, Sumatera Barat dan kekerasan seksual dan fisik (sexual and physically bullying) di SDN Percobaan Medan. Kedua kejadian tersebut diyakini sudah terjadi lama. Siswi SDS Trisula Perwari tersebut diduga telah mengalami penganiayaan terus-menerus oleh kawan-kawan sekelasnya selama satu tahun terakhir ini. Dan anehnya orangtua dan guru tidak tahu (atau tidak mau mencegahnya?).  Maraknya kasus-kasus kekerasan tersebut sudah seharusnya membuat para orangtua harus secara serentak dan bersama-sama bertindak mengawasi secara ketat anak-anak mereka baik di rumah maupun di sekolah dan mengkampanyekan anti bully di sekolah.
Anak laki-laki saya juga pernah mengalami verbal bullying di sekolah, di sebuah SD di kota Yogyakarta. Tubuh anak saya termasuk bongsor dan besar, terutama karena faktor keturunan keluarga, karena sayapun sebagai ibunya juga bertubuh relative besar jika dibandingkan dengan ukuran rata-rata perempuan Indonesia.  Tubuh yang besar tersebut ternyata menjadikan anak saya sasaran bully dari seorang temannya di kelas, hingga suatu saat ada kata-kata ‘kamu gendut seperti babi’. Sementara, semester ini adalah semester pertama bagi anak saya untuk bersekolah dasar di Indonesia, sehingga tentu saja anak saya tidak siap dengan kondisi pertemanan di Indonesia yang banyak diwarnai bullying antar anak-anak seperti itu, entah verbal bullying (seperti yang diterima anak saya tersebut) maupun physically bullying. Anak saya yang marah tidak sanggup membalas dengan makian atau hinaan pula, karena tidak terbiasa dengan hal tersebut. Biasanya dia hanya membeladiri, hingga eyel-eyelan dengan temannya hingga menangis. Sayangnya anak saya bukan anak yang mudah mengadu atau menceritakan hal yang tidak menyenangkan yang dia terima. Sehingga seringkali saya tahu kisah-kisahnya di sekolah yang tidak menyenangkan setelah beberapa waktu terjadi atau dari kejadian-kejadian tidak sengaja. Sehingga saya baru melakukan protes kepada guru kelas dan menuntut orangtua si anak dipanggil guru ke sekolah atas kata-kata ‘kamu gendut seperti babi’, setelah kejadian kurang lebih satu bulan berlalu.
Anak saya sebelum di Yogyakarta, dia sempat belajar di sebuah sekolah dasar di Australia, di sebuah negara dimana kurikulum sekolahnya sangat menekankan pendidikan budi pekerti bagi siswa-siswinya. Disini diyakini bahwa mengajarkan materi persekolahan formal sangat mudah dicapai, bahkan mereka berpendapat dalam waktu sehari saja anak-anak akan bisa menguasai suatu ilmu; tetapi mengajarkan budi pekerti dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Sehingga anak-anak menjadi terbiasa dan menjalankannya budi pekerti yang luhur tersebut secara otomatis dalam kehidupan sehari-harinya.
Sekolah di Australia dimulai pukul 9.00, akan tetapi pada pukul 8.45 sudah ada bel sekolah yang berbunyi yang menandakan anak-anak sudah harus masuk kelas masing-masing. Anak-anak yang tadinya masih bermain-main di luar kelas akan secara serentak masuk ke kelas masing-masing dan mempersiapkan diri untuk menerima pelajaran. Halaman sekolah yang tadinya riuh oleh anak-anak menjadi sangat sepi tanpa satu orang siswapun di luar kelas. Anak-anak akan duduk mengelilingi guru kelas untuk menerima penjelasan dari guru kelas apa yang akan mereka lakukan dan pelajari hari itu (buku-buku dan peralatan sekolah di tinggal di sekolah sehingga anak-anak tidak perlu membawa-bawa dari rumah ke sekolah). Pukul 9.00, aka nada bel lagi yang menandakan belajar mengajar sudah dapat dimulai. Pada pukul 11.00 anak-anak akan keluar main selama kurang lebih 15 menit dan kemudian pada pukul 13.00 anak-anak akan istirahat selama  30 untuk makan siang dan bermain. Selama istirahat tersebut, anak-anak secara bersama-sama makan bekal masing-masing dengan ditungguin guru kelas masing-masing, dan harus menunjukkan kepada guru kalau sudah dimakan bekalnya. Setelah menunjukkan bekalnya yang sudah habis dimakan, anak-anak baru boleh keluar kelas untuk bermain. Selama jam istirahat tersebut, kelas dikunci dan anak-anak tidak diperkenankan untuk masuk kelas. Sementara di area bermain anak, ada banyak guru-guru piket dengan dibantu oleh beberapa orangtua pengurus ikatan para orangtua murid, untuk mengawasi anak-anak yang sedang bermain. Mereka mengenakan rompi orange sehingga anak-anak mudah untuk mengenalinya. Ketika ada anak yang ketahuan mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan atau menghina temannya atau merendahkan temannya atau bahkan memukul temannya, maka anak tersebut akan dihukum untuk duduk di kursi berwarna merah selama jam istirahat tersebut, dan dilarang bermain. Dengan kondisi seperti ini maka pengawasan melekat dapat dilakukan oleh guru kelas dibantu oleh orangtua, dan meminimalkan tindakan kekerasan anak satu sama lain. Setelah jam istirahat selesai anak-anak akan masuk kelas lagi dan belajar hingga pukul 15.00. Semuanya berjalan dan berlangsung tertib dan teratur dan tidak ada satupun anak yang masih berkeliaran di luar kelas saat jam pelajaran sedang berlangsung, kecuali si anak pergi ke toilet atau disuruh guru sesuatu, atau saat anak-anak saling bergandengan tangan dua anak-dua anak berbaris menuju ruang perpustakaan/ruang computer/ruang music untuk menjalankan pelajaran pula disana.
Tetapi untuk menjalankan semua hal tersebut sebenarnya tidak mudah dan membutuhkan disiplin yang tinggi terutama dari guru dan kepala sekolah. Saya sering melihat di SD anak saya di Yogyakarta tersebut, anak-anak berada di luar kelas pada jam-jam pelajaran, sehingga selain menganggu kelas yang lainnya yang sedang belajar juga membuat anak-anak tidak disiplin pada jam-jam belajarnya. Bahkan waktu pulang sekolah yang tidak sama antar satu kelas dengan kelas satunya, sehingga kondisi tidak teratur dan tidak rapi sangat terasa di sekolah, karena banyak anak-anak berkeliaran di luar kelas di jam-jam pelajaran. Selain itu anak-anak tidak terbiasa untuk menjaga kondisi tertib dan menghargai teman-temannya yang masih belajar.
Selain tindakan preventif harian tersebut, anak-anak secara berkala diberikan kampanye tentang ‘never put down people’, jangan merendahkan orang lain serta sikap sopan terhadap orang lain. Sehingga anak saya sudah bisa mengingatkan saya, saat saya sedikit mencela oranglain maka dia akan mengatakan ‘mama, please don’t put down anyone’. Dan saya bisa menuntut dia untuk selalu bersikap sopan, hormat dan halus kepada semua orang. Hal inilah yang membuat anak saya juga kaget ketika kemudian bersekolah di Indonesia, karena dia melihat beberapa teman-temannya yang bertingkahlaku ‘kurang halus’ sehingga anak saya merasa dibentak-bentak atau dikasari, dan membuat anak saya menjadi marah dan biasanya anak saya jadi eyel-eyelan dan adu mulut dengan anak tersebut. Jadi sebenarnya saya agak khawatir anak saya suatu saat jadi bersikap sama seperti temannya tersebut J.
Oleh karena itu, saya sangat menyarankan agar orangtua mengamati dan mengawasi secara melekat tingkahlaku anak-anak masing-masing agar terhindar dari kemungkinan melakukan bully atau sebagai korban bully. Mungkin penting agar anak diminta menceritakan secara rutin kejadi-kejadian di sekolah baik hal-hal yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H