Di pojok Kopma UGM yang kini telah berubah menjadi minimarket modern, mas Dab duduk termenung. Dua puluh lima tahun berlalu sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di Bulaksumur sebagai mahasiswa baru.
Era 90-an, konsep YONO (You Only Need One) bukan sekadar filosofi, tapi sebuah kebutuhan nyata untuk bertahan hidup dengan uang saku pas-pasan.
"Dulu itu satu kaos bisa untuk seminggu," kenangnya sambil tertawa. "Dicuci malam, dipakai pagi. Yang penting bersih."
Prinsip YONO sepertinya mengajarkan ke mahasiswa untuk fokus pada yang esensial. Satu celana jeans dipaksa bertahan hingga semester berakhir. Satu buku notes yang diisi sampai halaman terakhir dan satu buku teks yang dipakai bergilir se-angkatan.
Di kos-kosan sederhana di daerah pinggiran Selokan Mataram, mas Dab berbagi kamar dengan dua temannya. "Satu rice cooker untuk satu lantai," ceritanya.
"Jadwal masak diatur ketat. Yang telat ya tunggu besok." Tapi justru keterbatasan ini yang menciptakan ruang-ruang solidaritas. Berbagi nasi, berbagi lauk, bahkan berbagi buku fotokopian menjadi hal lumrah.
Namun di tengah kesederhanaan itu, ada juga momen-momen YOLO (You Only Live Once) yang membuat hidup lebih berwarna. "Kalau mendapat kiriman dari orangtua, kami langsung bikin meeting di angkringan Pak Tego depan Fakultas Teknik," kenangnya. "Makan mi rebus telur dua, minum teh panas, sambil diskusi hingga subuh."
YOLO versi 90-an tentulah berbeda dengan yang sekarang. Bukan tentang mengunggah foto makanan mahal atau liburan ke luar negeri, tapi tentang mengumpulkan uang sebulan untuk nonton band indie di Societet Militair, atau patungan satu kos untuk beli gitar yang bisa dimainkan bergantian.
"Yang bikin special, karena semua serba terbatas, kita jadi lebih menghargai momen," kata mas Dab.
Seperti ketika mengantri berjam-jam di warung telepon (wartel) Jalan Kaliurang untuk telepon orangtua, atau mengumpulkan receh untuk fotokopi buku di Colombo. "Setiap keputusan untuk 'YOLO' benar-benar dipertimbangkan, karena dana terbatas."