Pada 2025, Malaysia kembali menjadi Ketua ASEAN. Posisi ini memberi Perdana Menteri Anwar Ibrahim tanggung jawab besar dalam menavigasi tantangan keamanan regional.Â
Sebagai pemimpin negara yang memiliki sejarah panjang dalam diplomasi ASEAN, Anwar dihadapkan pada berbagai isu kompleks. Beberapa di antaranya adalah konflik di Myanmar, ketegangan di Laut China Selatan, dan dinamika persaingan kekuatan besar seperti Amerika Serikat (AS), dan China.Â
Dengan latar belakang pengalaman Malaysia dalam memimpin ASEAN dan prinsip politik luar negerinya yang menekankan diplomasi dan non-intervensi, pertanyaannya adalah sejauh mana Anwar dapat membawa perubahan penting dalam menjaga stabilitas kawasan ini.
Malaysia memiliki kebijakan luar negeri yang berprinsip pada non-intervensi, netralitas, dan diplomasi damai, yang menjadi dasar bagi keterlibatannya dalam ASEAN. Sebagai salah satu pendiri ASEAN pada 1967, Malaysia konsisten dalam mempromosikan pendekatan berbasis dialog dan kerja sama regional.Â
Dalam beberapa dekade terakhir, Malaysia juga berusaha memperkuat hubungan dengan negara-negara ASEAN melalui berbagai inisiatif diplomasi bilateral maupun multilateral.
Sebagai negara dengan posisi geografis strategis di Asia Tenggara dan memiliki hubungan dekat dengan Indonesia, Singapura, dan Thailand, Malaysia sering mengambil peran sebagai mediator dalam berbagai isu regional.Â
Pendekatan ini terlihat dalam keterlibatan Malaysia dalam negosiasi damai di Mindanao (Filipina Selatan), mendorong penyelesaian krisis Myanmar, dan meredakan ketegangan Laut China Selatan melalui dialog ASEAN-China.
Optimisme
Latar belakang Anwar Ibrahim dan reputasi Malaysia sebagai pemimpin progresif di ASEAN itu menjadi optimisme sebagai Ketua ASEAN 2025.Â
Meski begitu, muncul pandangan soal adanya kesenjangan antara pernyataan dan tindakan dalam kebijakan Anwar. Pandangan ini seharusnya mendorong Malaysia menunjukkan aksi nyata dalam menyelesaikan berbagai persoalan ASEAN (The Jakarta Post, 2025).