Buku "Algorithmic Democracy: A Critical Perspective Based on Deliberative Democracy" karya Domingo GarcÃa-Marzá dan Patrici Calvo (lihat gambar di bawah) memberikan sudut pandang kritis terhadap peran teknologi dalam demokrasi, khususnya melalui pendekatan demokrasi deliberatif. Terbit di tahun 2024, buku ini menyajikan argumen bahwa algoritma dan kecerdasan buatan, meski menjanjikan efisiensi dan akurasi dalam pengambilan keputusan, berpotensi mengancam otonomi moral dan partisipasi publik.Â
Dengan konsep "demokrasi algoritmik", penulis mengkritik tren penggantian peran manusia dalam proses deliberasi politik dengan algoritma. Kedua penulis itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa perkembangan dan ketergantungan pada algoritma telah mempersempit ruang partisipasi masyarakat.
Refleksi terhadap demokrasi Indonesia di tahun 2023 menunjukkan relevansi mendalam dari gagasan ini. Di tengah persiapan pemilu 2024, demokrasi Indonesia menghadapi tantangan dari masifnya penggunaan teknologi digital. Sistem informasi yang digunakan untuk penghitungan suara, kampanye politik berbasis media sosial, hingga manipulasi opini publik melalui algoritma platform digital menjadi sorotan utama.Â
Transformasi ini menempatkan demokrasi Indonesia dalam persimpangan antara memanfaatkan teknologi untuk mendukung partisipasi politik atau menyerahkan pengambilan keputusan kepada logika algoritmik yang sering kali sulit dipahami oleh masyarakat awam.
Peran Algoritma dalam Politik: Demokrasi atau Oligarki Digital?
Dalam buku ini, GarcÃa-Marzá dan Calvo menjelaskan bahwa algoritma sering kali digunakan dengan justifikasi netralitas, tetapi kenyataannya mereka mencerminkan bias dari pencipta dan operatornya. Di Indonesia, hal ini terlihat dari penggunaan media sosial dalam kampanye politik yang kerap membentuk "ruang gema" (echo chamber), di mana algoritma memperkuat bias pengguna terhadap informasi tertentu. Kampanye politik yang memanfaatkan bot media sosial untuk menyebarkan narasi atau disinformasi juga mengaburkan batas antara debat publik yang sehat dan manipulasi massa.
Contohnya, selama tahun 2023, terdapat beberapa kasus di mana opini publik tentang calon pemimpin tertentu dimanipulasi melalui algoritma media sosial. Narasi yang viral bukan lagi hasil dari diskursus yang deliberatif, tetapi hasil dari amplifikasi algoritma terhadap konten yang dirancang untuk memicu emosi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah algoritma membantu menciptakan demokrasi yang lebih partisipatif, atau justru mempercepat kemunduran demokrasi menjadi oligarki digital?
Disinformasi dan Politisasi Data: Menantang Moral Demokrasi
Salah satu kritik utama buku ini terhadap demokrasi algoritmik adalah potensi algoritma untuk mengaburkan batas antara data objektif dan subjektif. Di Indonesia, manipulasi data telah menjadi isu besar, khususnya terkait dengan penyebaran disinformasi selama periode kampanye. Di tahun 2023, berbagai laporan menunjukkan bagaimana algoritma platform digunakan untuk menargetkan kelompok pemilih tertentu dengan iklan politik yang didasarkan pada data pribadi mereka. Pendekatan ini tidak hanya melanggar privasi, tetapi juga merusak moralitas demokrasi, di mana keputusan politik seharusnya berdasarkan informasi yang transparan dan etis.