Di suatu pagi yang dingin di bulan Januari 2002, Mas Dab menginjakkan kaki di Kota Melbourne untuk pertama kalinya. Udara dingin menyelimuti tubuhnya, menusuk hingga ke tulang.Â
Sebagai seorang pemuda dari Indonesia, ini adalah pengalaman pertamanya merasakan dinginnya cuaca luar negeri. Jaket tebal yang dikenakannya terasa kurang memadai untuk melawan suhu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Dini hari tiba di Bandara Tullamarine, lalu naik taksi bersama 3 teman lain menuju apartemen sementara di Grattan Street. Jalan itu berada di kawasan kampus Universitas Melbourne yang megah terhampar di depan mata. Dia berharap bisa menyesuaikan diri dengan cepat.Â
Lokasi tempat tinggalnya di Grattan Street itu sangat strategis, dekat dengan berbagai toko kopi, pizzeria, dan restoran. Setiap pagi, aroma kopi yang segar menyambutnya begitu ia keluar dari apartemen kecilnya.
Pada pagi itu, mas Dab memutuskan untuk mampir ke sebuah kafe kecil yang tampak hangat dan mengundang. Nama kafe itu "Little Collins", terkenal di kalangan mahasiswa dan penduduk lokal sebagai tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu. Dengan tangan yang masih menggigil, ia mendorong pintu kafe dan disambut oleh aroma kopi yang kuat dan hangat.
Di sudut ruangan, Mas Dab memilih meja dekat jendela yang menghadap jalan. Dari tempat itu, dia bisa melihat kehidupan kota yang sibuk di luar, sambil menikmati suasana kafe yang tenang.Â
Seorang barista muda dengan senyum ramah mendekat untuk mengambil pesanan. "Secangkir flat white, ya?" tanya barista dengan logat Australia yang kental.
"Ya, tolong," jawab mas Dab dengan sedikit ragu. Ia baru belajar istilah-istilah dalam dunia perkopian dan flat white terdengar menarik baginya.
Sambil menunggu pesanannya datang, Mas Dab memandang sekeliling. Dinding kafe dipenuhi dengan foto-foto lama Melbourne, memberi nuansa sejarah dan nostalgia. Di setiap meja, pengunjung asyik berbincang atau tenggelam dalam pekerjaan mereka. Tak lama kemudian, barista kembali dengan secangkir flat white yang mengepul hangat.
Begitu mas Dab merasakan tegukan pertama, kehangatan kopi mengalir melalui tubuhnya, mengusir dingin yang menusuk. Rasa kopi yang kaya dan lembut membawa perasaan nyaman yang tak terduga. Sejenak dia menutup mata, menikmati momen tersebut.
Di tengah keasyikan menikmati kopi, seorang pria tua dengan rambut beruban duduk di meja sebelahnya. Pria itu tampak ramah dan memperkenalkan dirinya sebagai Mr. John, seorang pensiunan dosen sejarah di Universitas Melbourne. Percakapan ringan pun terjadi, dimulai dari cuaca dingin hingga keindahan kota Melbourne.
"Pertama kali di Melbourne?" tanya Mr. John membuka percakapan.
"Ya, saya baru tiba beberapa hari yang lalu. Cuaca dinginnya sungguh mengejutkan," jawab Mas Dab dengan tawa kecil.
Mr. John tersenyum hangat. "Melbourne memang memiliki pesona yang unik. Apalagi di musim dingin. Kamu akan segera terbiasa," katanya. "Dan bagaimana kamu menemukan kafe ini?"
"Sebenarnya, saya sedang mencari tempat untuk menghangatkan diri dan menikmati secangkir kopi. Aroma kopinya sangat menggoda," jelas mas Dab.
Mr. John mengangguk setuju. "Kafe ini punya sejarah panjang. Sudah berdiri sejak tahun 1960-an. Dulu tempat ini menjadi saksi banyak peristiwa penting."
Mas Dab tertarik. "Peristiwa seperti apa ya?" tanyanya dengan antusias dalam bahasa Inggris yang masih belepotan.
Mr. John memandang sekeliling, seolah mengingat masa lalu. "Pada tahun 1970-an, mahasiswa sering berkumpul di sini untuk berdiskusi dan mengorganisir protes menentang Perang Vietnam. Di sini, mereka membentuk gerakan besar yang memperjuangkan perdamaian."
Mas Dab membayangkan suasana kafe itu puluhan tahun lalu. "Pasti sangat menginspirasi berada di tengah-tengah mereka."
Mr. John tersenyum. "Benar. Dan tak hanya itu. Di tahun 1980-an, tempat ini juga menjadi pusat para seniman dan musisi. Banyak yang memulai karier mereka dari pertunjukan kecil di sudut ruangan ini."
Setiap kata yang diucapkan Mr. John semakin menghidupkan kafe ini di benak Mas Dab. Ia bisa membayangkan suasana saat itu, ketika semangat perjuangan menggelora di setiap sudut kafe. "Dan sekarang, kafe ini masih tetap menjadi tempat yang hangat dan penuh kenangan," kata Mas Dab dengan penuh kekaguman.
Mr. John mengangguk. "Betul sekali. Melbourne memang kota yang kaya sejarah. Dari peristiwa besar hingga momen kecil seperti percakapan kita ini, semuanya adalah bagian dari kisah panjang kota ini."
Mas Dab merasa beruntung bisa mendengar cerita langsung dari seseorang yang telah mengalami banyak hal. "Saya sangat berterima kasih atas cerita-ceritanya, Mr. John. Ini membuat saya semakin mencintai kota ini."
Mr. John tersenyum hangat. "Sama-sama. Dan jika kau butuh saran atau ingin tahu lebih banyak tentang Melbourne, jangan ragu untuk bertanya. Kota ini penuh dengan kejutan yang menyenangkan."
Ketika hari mulai beranjak siang, mas Dab merasa waktunya untuk berpamitan. Dia mengucapkan terima kasih kepada Mr. John dan barista yang melayani dengan senyum ramah. Sebelum pergi, dia memandang sekali lagi ke dalam kafe, merasa seperti telah menemukan tempat yang istimewa di kota baru ini.
Sekembalinya ke apartemen, mas Dab merasa hangat, bukan hanya karena efek kopi, tetapi juga karena kenangan berharga yang baru saja dia dapatkan dari kopi pertama itu.
Kafe Little Collins akan selalu menjadi tempat yang spesial baginya, tempat di mana ia tidak hanya menikmati secangkir kopi, tetapi juga merasakan kehangatan persahabatan dan sejarah yang mengalir di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H