Kunjungan pertama Presiden Prabowo Subianto ke Beijing pada November 2024 untuk bertemu Presiden Xi Jinping menandai babak baru dalam dinamika hubungan Indonesia-China, khususnya terkait isu Laut China Selatan. Pertemuan ini menggarisbawahi kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengelola hubungan dengan Beijing, terutama menyangkut tumpang tindih klaim maritim di perairan Natuna Utara.
Dalam pertemuan tersebut, Prabowo menegaskan pentingnya stabilitas kawasan dan penyelesaian sengketa secara damai, sambil tetap membuka peluang kerja sama ekonomi yang lebih luas dengan China. Pendekatan ini mencerminkan dilema klasik yang dihadapi Indonesia: bagaimana menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan kedaulatan maritim.
Warisan Kompleks
Prabowo mewarisi situasi yang kompleks di Laut China Selatan. Selama kepemimpinan Jokowi, Indonesia menghadapi serangkaian insiden dengan kapal-kapal China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dekat Kepulauan Natuna. Jakarta merespons dengan mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur, serta membangun infrastruktur pertahanan di kawasan tersebut.Â
Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya menghentikan aktivitas kapal China. Sebaliknya, nine-dash line China yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Natuna Utara tetap menjadi tantangan pemerintahan Prabowo.Â
Meskipun Indonesia bukan claimant state dalam sengketa Laut China Selatan, kehadiran nine-dash line selalu berpotensi menciptakan ketegangan tersendiri dalam hubungan bilateral.Â
Indonesia konsisten menolak klaim tersebut melalui penegasan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum internasional sesuai putusan Permanent Court of Arbitration 2016.
Pendekatan Realpolitik
Berbeda dengan Jokowi yang cenderung mengambil pendekatan konfrontatif dalam isu Natuna, Prabowo tampaknya mengedepankan realpolitik yang lebih pragmatis.Â
Pendekatan itu terlihat dari pernyataannya yang menekankan pentingnya dialog dan kerja sama, tanpa mengorbankan prinsip kedaulatan. Ada beberapa pertimbangan strategis yang mendasari pendekatan itu.
Pertama, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China yang signifikan. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan bilateral mencapai USD 133,6 miliar pada 2023.Â
Investasi China juga crucial bagi proyek-proyek infrastruktur Indonesia, termasuk jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. Satu catatan menarik adalah investor asing terbesar di Indonesia sebenarnya adalah Singapura.
Meski begitu, investasi China cenderung mendatangkan resistensi masyarakat Indonesia. Konon, salah satu penyebabnya adalah karakteristik investasi China di sektor-sektor industri besar ekstraktif dan strategis, seperti nikel dan kinerja lainnya.
Sedangkan, investasi Singapura tampaknya lebih banyak di sektor keuangan (finansial), misalnya perbankan.
Kedua, posisi Indonesia sebagai middle power yang membutuhkan fleksibilitas diplomatik. Prabowo menyadari pentingnya menjaga hubungan konstruktif dengan China tanpa terlihat terlalu condong ke Beijing atau Washington.Â
Ini tercermin dari kunjungannya ke kedua negara dalam masa awal kepemimpinannya. Menariknya kunjungan ke China dan AS ditempatkan dalam rangkaian kunjungan ke KTT G20 dan APEC, termasuk MIKTA.
Ketiga, keterbatasan kapabilitas militer Indonesia untuk menghadapi proyeksi kekuatan China di Laut China Selatan. Meskipun Prabowo berencana memodernisasi TNI, kesenjangan kekuatan masih sangat besar.Â
Mengunjungi AS setelah China bisa memberikan pandangan baru bagi kedua negara mengenai posisi strategis yang dimainkan Indonesia dalam diplomasinya.
Strategi Multi-dimensi
Untuk mengatasi dilema ini, Prabowo mengembangkan strategi multi-dimensi. Di level bilateral, pemerintah Indonesia mengedepankan dialog strategis dengan China sambil tetap mempertahankan posisi tegas soal kedaulatan.Â
Pendekatan ini disertai upaya memperkuat pertahanan di Natuna melalui modernisasi alutsista dan pembangunan infrastruktur.
Di level regional, Indonesia di bawah Prabowo berupaya memperkuat kerja sama maritim dengan negara-negara ASEAN dan mendorong finalisasi Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan. Ini penting untuk menciptakan mekanisme pengelolaan konflik yang efektif.
Di level global, Jakarta aktif membangun kemitraan strategis dengan berbagai negara, termasuk AS, Jepang, dan India, untuk mengimbangi pengaruh China.Â
Namun, pendekatan itu tentu saja dilakukan secara hati-hati untuk menghindari persepsi Indonesia mengambil posisi berpihak dalam persaingan AS-China.
Tantangan ke Depan
Efektivitas pendekatan Prabowo akan diuji oleh beberapa faktor. Pertama, sejauh mana China menghormati kepentingan maritim Indonesia di Natuna. Insiden-insiden baru bisa memaksa Jakarta mengambil sikap lebih tegas.Â
Meski perjanjian bilateral Indonesia-China sempat menciptakan kontroversi tentang posisi dan kedaulatan Indonesia, Menteri Luar Negeri Sugiono tampaknya harus bekerja keras mengawal prinsip-prinsip dasar diplomasi maritim Indonesia dengan China.
Kedua, dinamika persaingan AS-China yang semakin intens di Indo-Pasifik. Indonesia harus cermat mengelola hubungan dengan kedua negara untuk menghindari jebakan polarisasi. Tingginya manfaat ekonomi dari kedekatan Indonesia terhadap China tidak harus dilakukan dengan mengorbankan kedaulatan nasional.
Ketiga, ekspektasi domestik terhadap ketegasan pemerintah dalam isu kedaulatan. Prabowo harus menyeimbangkan pragmatisme diplomatik dengan tuntutan nasionalisme.Â
Meningkatnya literasi masyarakaylt dalam isu-isu internasional dan kemudahan akses informasi menuntut pemerintah bersikap bijaksana dan cermat dalam mengelola diplomasinya dengan China.
Manajemen hubungan Indonesia-China di wilayah maritim akan menjadi test case penting bagi diplomasi Prabowo. Keberhasilannya akan ditentukan oleh kemampuan menyeimbangkan berbagai kepentingan strategis sambil mempertahankan kedaulatan nasional.
Pendekatan realpolitik Prabowo mungkin tidak menyelesaikan dilema maritim Indonesia sepenuhnya, tapi berpotensi memberikan ruang manuver yang lebih luas untuk mengelola tantangan ini. Yang penting adalah konsistensi dalam implementasi dan kesiapan menghadapi berbagai skenario.Â
Dalam jangka panjang, penguatan kapabilitas pertahanan maritim dan diversifikasi kerja sama ekonomi akan menjadi kunci untuk mengurangi dilema ini. Di saat yang sama, Indonesia harus tetap aktif mendorong arsitektur keamanan regional yang inklusif dan berbasis hukum internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H