Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dari Natuna ke Beijing: Dilema Maritim Indonesia di Era Prabowo

29 November 2024   18:25 Diperbarui: 29 November 2024   18:25 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kunjungan pertama Presiden Prabowo Subianto ke Beijing pada November 2024 untuk bertemu Presiden Xi Jinping menandai babak baru dalam dinamika hubungan Indonesia-China, khususnya terkait isu Laut China Selatan. Pertemuan ini menggarisbawahi kompleksitas tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengelola hubungan dengan Beijing, terutama menyangkut tumpang tindih klaim maritim di perairan Natuna Utara.

Dalam pertemuan tersebut, Prabowo menegaskan pentingnya stabilitas kawasan dan penyelesaian sengketa secara damai, sambil tetap membuka peluang kerja sama ekonomi yang lebih luas dengan China. Pendekatan ini mencerminkan dilema klasik yang dihadapi Indonesia: bagaimana menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan kedaulatan maritim.

Warisan Kompleks
Prabowo mewarisi situasi yang kompleks di Laut China Selatan. Selama kepemimpinan Jokowi, Indonesia menghadapi serangkaian insiden dengan kapal-kapal China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dekat Kepulauan Natuna. Jakarta merespons dengan mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur, serta membangun infrastruktur pertahanan di kawasan tersebut. 

Namun, pendekatan ini tidak sepenuhnya menghentikan aktivitas kapal China. Sebaliknya, nine-dash line China yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia di Natuna Utara tetap menjadi tantangan pemerintahan Prabowo. 

Meskipun Indonesia bukan claimant state dalam sengketa Laut China Selatan, kehadiran nine-dash line selalu berpotensi menciptakan ketegangan tersendiri dalam hubungan bilateral. 

Indonesia konsisten menolak klaim tersebut melalui penegasan bahwa klaim China tidak memiliki dasar hukum internasional sesuai putusan Permanent Court of Arbitration 2016.

Pendekatan Realpolitik
Berbeda dengan Jokowi yang cenderung mengambil pendekatan konfrontatif dalam isu Natuna, Prabowo tampaknya mengedepankan realpolitik yang lebih pragmatis. 

Pendekatan itu terlihat dari pernyataannya yang menekankan pentingnya dialog dan kerja sama, tanpa mengorbankan prinsip kedaulatan. Ada beberapa pertimbangan strategis yang mendasari pendekatan itu.

Pertama, ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap China yang signifikan. China adalah mitra dagang terbesar Indonesia dengan nilai perdagangan bilateral mencapai USD 133,6 miliar pada 2023. 

Investasi China juga crucial bagi proyek-proyek infrastruktur Indonesia, termasuk jalur kereta cepat Jakarta-Bandung. Satu catatan menarik adalah investor asing terbesar di Indonesia sebenarnya adalah Singapura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun