Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia pada Februari 2024 menandai babak baru dalam politik luar negeri Indonesia. Sejak kemenangannya, Prabowo telah menunjukkan fokus yang kuat pada kebijakan luar negeri, mengindikasikan pergeseran signifikan dari pendekatan pendahulunya, Joko Widodo.Â
Artikel dari The Straits Times menggarisbawahi bagaimana Prabowo, dalam tujuh bulan sejak terpilih, telah mengunjungi lebih dari 10 negara termasuk Singapura, Cina, Jepang, Rusia, dan Australia, meskipun masih dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan.
Pendekatan proaktif Prabowo dalam diplomasi internasional mencerminkan visinya untuk meningkatkan peran global Indonesia. Kepresidenan Prabowo akan melihatnya memainkan peran yang lebih langsung dalam kebijakan luar negeri dibandingkan dengan pendahulunya.Â
Hal ini didukung oleh latar belakang Prabowo yang memiliki pengalaman internasional yang luas dan kenyamanannya dalam berinteraksi dengan pemimpin asing.
Salah satu aspek penting dari pendekatan Prabowo adalah keinginannya untuk memposisikan Indonesia sebagai pemain kunci di panggung global. Visi Prabowo sebagai upaya untuk menciptakan "bangsa yang kuat dan dihormati secara internasional."
Pendekatan ini mengingatkan pada gaya kepemimpinan Sukarno, presiden pertama Indonesia, yang dikenal dengan perannya yang kuat dalam politik internasional.
Prabowo telah menunjukkan kesiapannya untuk mengambil sikap tegas dalam isu-isu global. Dalam sebuah artikel di The Economist pada April 2024, Prabowo mengkritik Barat atas standar ganda dalam penanganan konflik Israel-Hamas, menunjukkan kesiapannya untuk menantang status quo internasional.
Sikap ini menandai pergeseran dari kebijakan luar negeri bebas-aktif Indonesia yang tradisional, di mana negara biasanya menghindari berpihak pada blok kekuatan global tertentu.
Upaya Prabowo untuk bertemu dengan pemimpin dunia lainnya menandakan bahwa Indonesia akan lebih berorientasi keluar (outward looking) di bawah kepemimpinannya. Ini tercermin dalam kunjungan Prabowo ke berbagai negara Eropa, Turki, dan Rusia pada Juli dan Agustus 2024, yang membahas kerja sama bilateral dengan pemimpin negara-negara tersebut.