Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) telah lama dianggap sebagai badan paling berpengaruh dalam tata kelola global. Banyak konflik global berkepanjangan menjadi isu strategis di DK PBB. Namun, laporan terbaru dari Oxfam International berjudul "Vetoing Humanity" mengungkap fakta mengenaskan soal peran DK PBB.Â
Laporan itu membuka paradoks soal bagaimana lima anggota tetap Dewan Keamanan (Power 5 atau P5) - Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis - seringkali menggunakan hak veto mereka untuk menghalangi resolusi perdamaian dan keamanan, demi melindungi kepentingan nasional mereka sendiri.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas dan legitimasi DK PBB dalam menjalankan mandatnya untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Resolusi Sidang Umum PBB tentang ultimatum kepada Israel ternyata menyimpan persoalan mendasar, yaitu ketimpangan kekuasaan.
Laporan Oxfam mengungkapkan bahwa dalam satu dekade terakhir, kebutuhan bantuan kemanusiaan global meningkat 150%, namun P5 justru sering memveto resolusi yang bertujuan mengatasi krisis kemanusiaan (Oxfam International, 2024). Dari 454 resolusi yang diajukan untuk 23 konflik berkepanjangan sejak 2014, 30 di antaranya diveto oleh P5.
Data itu secara terang benderang mempertontonkan bahwa struktur kekuasaan di DK PBB sering kali bertentangan dengan tujuan utamanya. Kekuatan veto P5 seringkali meminggirkan komitmen kemanusiaan dan perdamaian global sebagai alasan utama pembentukan PBB.
Kritik terhadap struktur dan fungsi DK PBB bukanlah hal baru. Thomas G. Weiss (2003), misalnya, menyoal bahwa DK PBB, meskipun lebih aktif pasca-Perang Dingin, masih belum mampu mengatasi banyak ancaman keamanan kontemporer.Â
Penyebab utamanya adalah ketidaksesuaian antara komposisi keanggotaannya dan realitas geopolitik saat ini. Â Penegasan itu memberikan indikasi kuat bahwa komposisi P5 yang tidak berubah sejak 1945 itu sebenarnya tidak lagi mencerminkan dinamika kekuatan global kontemporer.Â
Penggunaan hak veto oleh P5 sering kali mencerminkan kepentingan geopolitik mereka daripada kebutuhan kemanusiaan global. Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) telah berulang kali memveto resolusi terkait konflik Israel-Palestina, sementara Rusia memveto resolusi mengenai Suriah dan Ukraina.Â
Menurut Ian Hurd (2021), penggunaan veto oleh anggota tetap DK PBB sering kali mencerminkan logika 'realpolitik' daripada prinsip-prinsip hukum internasional atau kemanusiaan. Pandangan itu memperkuat kenyataan bahwa struktur DK PBB pada saat ini cenderung melanggengkan ketimpangan kekuasaan global daripada mengatasi konflik dan krisis kemanusiaan.Â
Apalagi, laporan Oxfam itu menemukan bahwa negara-negara P5 justru lebih banyak memberikan bantuan militer daripada bantuan kemanusiaan ke negara-negara yang sedang berkonflik. Fenomena ini sejalan dengan argumen Mary Kaldor (2012) bahwa "perang baru" di era globalisasi sering kali diperparah oleh campur tangan kekuatan global yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik di wilayah konflik.Â