Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Dilema Demokrasi: Menyeimbangkan Keamanan Siber dan Kebebasan Berekspresi di Era Digital

18 Juli 2024   11:18 Diperbarui: 18 Juli 2024   11:25 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQRZZ4jALTlGua8Nov0ioxTPQv_epA50v7Nvw&usqp=CAU

Situasi ini menciptakan apa yang disebut oleh Tapsell (2020) sebagai efek menakutkan pada kebebasan berekspresi online. Maksudnya, warga negara menjadi ragu untuk mengekspresikan pendapat mereka karena takut akan konsekuensi hukum.

Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa regulasi seperti UU ITE diperlukan untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah penyebaran informasi yang salah atau berbahaya. Menteri Komunikasi dan Informatika Indonesia, Johnny G. Plate, menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk tidak menyebarkan informasi yang dapat membahayakan kepentingan publik atau keamanan nasional (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2022).

Namun, kritikus berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu luas dan berpotensi disalahgunakan. Penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik politik merupakan indikator kemunduran demokrasi di Indonesia. Keseimbangan antara keamanan dan kebebasan telah bergeser terlalu jauh ke arah kontrol pemerintah.

Dilema ini semakin diperumit oleh munculnya teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI) dan big data. Teknologi ini menawarkan potensi besar untuk meningkatkan keamanan siber, mereka juga membawa risiko baru terkait privasi dan kebebasan individu. 

Penggunaan AI untuk pengawasan dan moderasi konten online dapat mengancam anonimitas dan kebebasan berekspresi jika tidak diatur dengan hati-hati.

Indonesia juga menghadapi tantangan dalam menangani disinformasi dan propaganda online, yang telah terbukti mampu mempengaruhi opini publik dan bahkan hasil pemilihan. Kasus-kasus seperti kampanye #2019GantiPresiden menjelang pemilihan presiden 2019 menunjukkan bagaimana media sosial dapat dimanipulasi untuk tujuan politik (Tapsell, 2020). 

Meski begitu, upaya untuk mengatasi disinformasi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak membatasi kebebasan berekspresi yang sah.

Sokusi 

Menghadapi dilema ini, beberapa pendekatan yang lebih nuansa dan berfokus pada literasi digital tampaknya masih relevan. Peningkatan literasi digital masyarakat adalah kunci untuk menciptakan ruang online yang aman dan bebas tanpa harus bergantung pada regulasi yang berlebihan.

Ini melibatkan pendidikan publik tentang keamanan online, pemikiran kritis terhadap informasi digital, dan pemahaman tentang hak dan tanggung jawab digital.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil dianggap penting dalam mencari solusi yang seimbang. Dialog multi-pemangku kepentingan dapat membantu mengembangkan pendekatan yang melindungi keamanan nasional sambil menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan berekspresi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun